Gaya hidup kita tampaknya
semakin modern, tetapi cara hidup kita sehari- hari sering bertolak
belakang dengan gaya hidup tersebut.
Fenomena ini,
misalnya tampak dalam perilaku kita yang masih dihinggapi sindrom nimby-
sebuah singkatan dari Not In My Back Yard atau asal tidak di halaman
belakang rumahku - sebuah sindrom yang bisa kita temukan terutama dalam
soal sampah. Sindrom tersebut membuat kita cenderung menggampangkan
masalah sampah. Kita berpikir dan bertindak asalkan sampah sudah hilang
dari pandangan mata, maka usai pula urusan kita. Banyak contoh yang
memperlihatkan sindrom ini.
Kita mudah
menemukan orang yang membuang sampah di sungai atau di sembarang tempat
tanpa merasa bersalah. Sindrom nimby yang menjangkiti kita sesungguhnya
adalah sikap egois, semena-mena pada alam, sesama, dan generasi yang akan
datang. Susahnya, kita sering lupa bahwa perilaku nimby bisa menjebak
diri kita sendiri. Ambil contoh, sungai dan selokan yang menjadi dangkal
dan tersumbat karena jadi tempat pembuangan sampah. Ketika terjadi hujan
terus menerus, air akan meluap menjadi banjir dan semua menerima resiko
tanpa kecuali akibat perilaku nimby ini.
Volume sampah
yang terus bertambah menjadi persoalan lingkungan yang pelik dan
kompleks. Tampaknya kita belum peduli dengan sampah yang kita hasilkan
sendiri. Sindrom nimby ini menyulitkan upaya pengelolaan sampah. Bahkan
cara membuang sampah dari seluruh penjuru kota ke sebuah titik yang
bernama TPA (tempat pembuangan akhir) adalah juga akibat sindrom tadi.
Menangani sampah dengan cara angkut dan buang bisa dikategorikan sebagai
nimby aktif yang institusional karena dilakukan oleh lembaga pemerintah.
Kebalikan
dari nimby aktif adalah nimby pasif seperti terlihat pada berbagai sarana
tempat sampah di ruang publik yang rusak akibat perilaku tidak hirau oleh
individu masyarakat kita. Tempat duduk di taman kota yang penuh coretan
juga coretan grafiti di tembok kota atau halte bis adalah perilaku nimby
personal dari anggota masyarakat kita.
Mindset Baru
Mengapa
sindrom ini menghinggapi kita? Salah satu sebab adalah karena pengetahuan
kita mengenai sampah yang tidak tepat. Sebagian dari kita melihat sampah
sebagai barang sisa yang tidak berguna lagi sehingga perilaku kita
cenderung abai setelah sampah dihasilkan. Kita membutuhkan sebuah
mindsetatau cara pandang yang benar tentang sampah sehingga kita juga
bisa sembuh dari sindrom nimby tersebut.
Kalau cara
pandang kita berubah, maka berubah pula perilaku kita sehingga
kepentingan kita terhadap sampah menjadi ikut berubah. Mindset apakah
yang perlu kita miliki dalam pengelolaan sampah? Pertama, sampah harus
dikelola, bukan dibuang.Bila sebelumnya, sampah diperlakukan dengan cara
diangkut lalu dibuang, sekarang harus diolah langsung dari sumbernya
terutama di setiap rumah tangga dengan memilah menurut jenisnya yaitu
sampah organik dan anorganik. Kedua, sampah adalah sumber daya, bukan
sumber masalah.
Sampah
organik bisa menjadi sumber daya karena bisa menjadi kompos, biogas,
sumber energi alternatif dalam bentuk briket arang, dan lain-lain. Sampah
anorganik menjadi bahan baku industri daur ulang plastik atau bahan baku
kerajinan seperti tas, topi, bunga, taplak meja, dan aneka kreasi
kerajinan yang eksotis. Mereka yang melihat sampah sebagai sumber daya
telah mampu membangun kegiatan ekonomi yang penting artinya dalam
penyerapan tenaga kerja. Ketiga, sampah dijadikan kawan, bukan lawan.
Kita perlu menyadari bahwa sampah adalah sesuatu yang kita hasilkan sendiri
dari aktivitas kita sehari-hari.
Kita perlu
bijak memandang sampah sebagai bagian dari diri kita. Sampah bukanlah
lawan yang dibuang, tetapi dijadikan teman dengan mengelolanya secara
pantas sebagai bagian dari gaya hidup kita. Keempat, sampah memberikan
keuntungan (benefit) bukan
biaya (cost). Mengurus sampah
membutuhkan sarana dan prasarana sehingga memerlukan biaya yang besar.
Setiap warga harus membayar iuran kebersihan untuk upah tenaga pengangkut
sampah. Bila kita mengubah cara pandang bahwa sampah bisa memberikan
keuntungan, maka kita akan tergerak melihat benefit yang terkandung pada
sampah yang kita hasilkan.
Pemulung menggantungkan
hidupnya dari sampah. Begitu juga dengan industri daur ulang dan industri
kreatif yang memanfaatkan sampah sebagai basis produksinya. Bagi kelompok
ini sampah memberikan keuntungan, kesempatan kerja, dan akhirnya ikut
serta menyehatkan lingkungan. Kita pun bisa melakukan hal itu di rumah
dengan memanfaatkan sampah kita sendiri.
Langsung dari Sumbernya
Sampah masih
menjadi masalah yang serius karena upaya menangani sampah yang lebih
banyak dilakukan di hilir yaitu TPA. Pada hal bila sampah ditangani di
hulu yaitu langsung pada sumbernya maka, maka sampah yang sampai di TPA
hanya sampah-sampah berbahaya (B3). Data Biro Pusat Statistik (2000)
mencatat dari 384 kota di Indonesia, total memproduksi sampah 80.235 ton
per hari.
Dari jumlah
ini 4,2% dibuang ke TPA; 37,6% dibakar; 4,9% dibuang ke sungai dan 53,3%
tidak tertangani. Terlihat betapa TPA hampir tidak berarti apa-apa karena
hanya menangani tidak sampai 5% dari total sampah kota. Dari data yang
dirilis BPS tersebut, sekitar 75% dari total sampah merupakan sampah
rumah tangga, dan 25% merupakan sampah industri, perkantoran, dan tempat
umum.
Sementara itu
70% dari volume sampah tersebut merupakan sampah organik, dan 30% lainnya
merupakan sampah anorganik. Dengan demikian, rumah tangga merupakan
penghasil sampah terbesar, di mana sebagian besar merupakan sampah
organik. Menangani sampah langsung pada sumbernya seperti rumah tangga
bila berhasil dilakukan, maka sudah 75% masalah sampah terselesaikan.
Bagaimana caranya? Langkah pertama adalah memilah sampah dalam dua
kategori, yaitu sampah organik dan anorganik. Langkah kedua, menentukan
rencana tindak lanjut setelah sampah dipilah.
Sampah
organik bisa dijadikan kompos dan sampah anorganik bisa disumbangkan pada
pemulung atau dijual pada pengepul barang bekas yang sering berkeliling
mencari plastik bekas, kardus, koran bekas, dan lain-lain. Bila setiap
keluarga melakukan dua langkah tersebut, dari pengalaman yang ada dan sudah
terbukti bahwa sampah yang keluar dari rumah tangga bisa 0%. Sebab itu
keberhasilan pengelolaan sampah secara menyeluruh dapat dicapai bila
dilakukan langsung dari sumbernya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar