|
Banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk memilih
calon anggota DPR yang berkualitas yang bisa mengangkat pamor lembaga
legislatif. Mengingat pada periode ini terpuruk terutama karena banyaknya
kasus korupsi yang melibatkan anggotanya.
Pemilihan umum (pemilu) yang digelar lima tahun
sekali merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas dan popularitas
anggota DPR. Itu karena hanya melalui pemilu, anggota DPR bisa dipilih
secara bersama-sama untuk mengisi seluruh kursi yang tersedia.
Pemilu menjadi satu-satunya momentum karena dalam
sistem politik yang berlaku di negeri kita, tak ada pemilihan selain yang
bisa menggantikan sebagian anggota DPR yang ada. Kita hanya mengenal
pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR yang mengundurkan diri,
berhenti (dengan berbagai sebab), dan meninggal dunia.
Dengan hanya 12 partai politik nasional yang berhak
mengikuti Pemilu 2014, tingkat persaingan memperebutkan suara pemilih
akan jauh lebih ketat dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Aroma persaingan bahkan sudah tampak ketat saat
penetapan nama-nama daftar calon anggota legislatif (caleg). Karena
jumlah partai yang sedikit, ada persaingan menjadi caleg. Kabarnya,
pendaftar caleg di partai-partai pada umumnya melonjak hingga tiga sampai
empat kali lipat dari yang dibutuhkan. Hal ini memaksa partai-partai
harus menyeleksi secara ketat caleg-caleg yang diajukan.
Perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas caleg
seyogianya menjadi pertimbangan utama. Pertama, integritas berkaitan
dengan kepribadian dan moralitas. Untuk mendeteksinya, setiap bakal caleg bisa diteliti
latar belakang dan perjalanan aktivitasnya. Jika terindikasi pernah
terlibat korupsi atau pernah melakukan tindakan-tindakan yang tak terpuji
maka bakal caleg yang bersangkutan tak bisa diloloskan menjadi caleg.
Kedua, kualitas berkaitan dengan latar belakang
pendidikan, wawasan, kreativitas, serta pengalaman dalam mewarnai wacana
yang konstruktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Cara mendeteksinya, selain dengan melihat (keaslian)
ijazah dan piagam penghargaan yang pernah diperoleh, juga bisa dilacak
melalui “mesin pencari” di jagat maya yang tentu akan menyimpan dengan
baik peran-peran sosial politik seseorang.
Ketiga, popularitas berkaitan dengan tingkat
akseptabilitas caleg. Kalau modalnya hanya populer tapi tidak akseptabel
tidak ada gunanya. Populer yang disebabkan karena tingkah polah yang
negatif tidak ada artinya untuk mengangkat nama caleg.
Berpadunya tiga faktor ini (integritas, kualitas, dan
popularitas) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemilih. Ketika
nama baik partai-partai sudah terpuruk, maka nama-nama caleg yang bersih,
bermutu, dan populer bisa menutupinya.
Nepotisme
Masalahnya, apakah betul partai-partai sudah
menggunakan perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas sebagai
standar utama penilaian dalam memilih caleg? Tampaknya belum. Nepotisme
dan pola bargaining masih menjadi pertimbangan utama.
Jika ada anak, istri, dan menantu kepala daerah
(gubernur, bupati, wali kota) atau keluarga pemilik partai, sudah pasti
akan menjadi prioritas. Begitupun pemimpin partai-partai yang tak lolos
verifikasi dan bergabung dengan partai yang lolos, sudah pasti menjadi
pertimbangan.
Soal perpaduan integritas, kualitas, dan popularitas
masih menjadi faktor yang kesekian. Banyaknya iklan partai yang berisi
pola perekrutan caleg yang terbuka dengan pertimbangan-pertimbangan yang
rasional, objektif, dan akuntabel, hanya sekadar pencitraan yang tak
sepenuhnya dijalankan.
Jika yang terjadi, dalam perekrutan dan seleksi
dilakukan secara tertutup dan cenderung tidak rasional maka pada tahap
ini partai-partai sudah gagal, atau setidaknya belum punya niat baik
untuk meningkatkan kualitas lembaga legislatif. Padahal peningkatan kualitas
lembaga legislatif menjadi poin yang sangat penting dalam proses
demokratisasi.
Menurut catatan sejumlah pengamat dan penilaian
sejumlah lembaga swadaya masyarakat, kualitas lembaga legislatif periode
2009-2014 tidak jauh lebih baik dari periode sebelumnya (2004-2009). Jika
pola perekrutan caleg saat ini tidak menitikberatkan pada integritas,
kualitas, dan popularitas, maka kecil kemungkinan akan lahir lembaga
legislatif yang lebih baik.
Kalaupun masih ada, harapan itu antara lain ada pada
rakyat yang akan memilih para caleg. Kejelian rakyat dalam memilah dan
memilih caleg menjadi tumpuan harapan kita akan lahirnya lembaga
legislatif yang lebih baik.
Untuk membantu kejelian rakyat dalam menentukan
pilihan, dibutuhkan peran aktif kampus, akademikus, aktivis, dan komponen
civil society (lembaga swadaya
masyarakat, ormas, dan lain-lain) untuk bahu-membahu melakukan pendidikan
politik bagi segenap rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar