Belakangan ini, saya sering ditanya tentang jurnal predator.
Rupanya orang mulai meresahkannya.
Istilah jurnal predator pertama kali diajukan Jeffrey Beall,
pustakawan yang bekerja di Universitas Colorado, Amerika Serikat. Puluhan
penerbit dan ribuan jurnal ia kategorikan sebagai predator. Jurnal
predator diterbitkan oleh penerbit predator dengan tujuan utama bisnis,
menghasilkan uang bagi si pembuat jurnal. Biaya pemuatan per makalah
ratusan hingga ribuan dollar AS. Tidak murah!
Jeffrey Beall saat ini rutin meneliti jurnal predator yang baru
muncul dan bersifat open-access,
yaitu jurnal yang hanya tersedia secara online, tidak ada versi cetak. Kalaupun ada, hanya versi
cetak lepas (reprint) yang
tentu saja sangat mudah dicetak dengan printer masa kini.
Skandal Ilmiah
Tidak sulit memulai bisnis ini asalkan bisa membangun situs yang
menarik dengan embel-embel foto orang-orang berjas putih, memakai masker
putih, seolah-olah sedang meneliti atau berdiskusi. Lebih meyakinkan lagi
jika situs tadi ditempeli gambar rantai DNA agar terlihat lebih ilmiah.
Ironisnya, bahkan untuk jurnal sosial pun, rantai DNA tetap dipajang.
Dengan menggunakan peranti lunak Open Journal System yang mudah dipasang dan gratis karena
bersifat open source, remaja
yang terlatih menggunakan teknologi informasi bisa mengendalikan aliran
makalah yang masuk, proses penjurian (review),
hingga penerbitan makalah secara profesional. Seperti kata Beall, prinsip
pendirian jurnal predator adalah membuat situs, mengirim e-mail spam ke
para ilmuwan, dan setelah itu tinggal berleha-leha menunggu konsumen
datang.
Mungkin masalah terberat jurnal predator adalah mencari penulis
makalah, juri (reviewer), dan
dewan editor. Meski demikian, pendiri jurnal predator tidak kehabisan
akal. Mereka mengirimkan e-mail
spam ke ilmuwan-ilmuwan untuk mengisi.
Di negara berkembang, hal ini seperti gayung bersambut karena
ilmuwan negara berkembang sangat membutuhkan aktualisasi diri melalui
jurnal-jurnal dengan ”cap internasional”. Semua itu untuk meraih hibah
penelitian atau jabatan yang lebih tinggi meski harus membayar mahal.
Jadilah ”simbiosis yang saling menguntungkan”.
Sebenarnya tidak ada masalah jika makalah yang masuk benar-benar
diperiksa juri yang mumpuni, sebidang, dan menggunakan standar ilmiah
internasional. Kenyataannya, hampir semua jurnal ini menjamin makalah
pasti diterima asal membayar. Di sini skandal ilmiah itu dimulai.
Contoh paling jelas adalah makalah hasil copy-paste di bidang pertanian yang mengatasnamakan penyanyi
Inul Daratista dan Agnes Monica sebagai penulis makalah di sebuah jurnal
predator di Afrika tahun lalu. Tentu saja, kejadian ini sangat memalukan
bagi jurnal tersebut karena jelas sekali makalah tidak diperiksa oleh
juri ahli sebelum diterbitkan. Saat ini, makalah itu sudah dicabut oleh
pemilik jurnal, tetapi Jeffrey Beall masih menyimpan salinan makalah
tersebut di lamannya.
Alamat Palsu
Hasil penelitian Beall memperlihatkan, hampir semua jurnal predator
dikendalikan dari India, Pakistan, serta negara-negara di Afrika meski di
situsnya ada alamat surat di Amerika, Kanada, atau Eropa untuk mengelabui
konsumen.
Pada umumnya, jurnal predator bisa ditengarai dari sulitnya
menemukan alamat darat jurnal. Editor jurnal hanya dapat dihubungi
melalui e-mail atau situs internet. Beberapa alamat yang dipajang, bila
diperiksa dengan fasilitas Google
Earth, hasilnya akan menunjuk ke alamat apartemen murah, apotek, atau
tempat-tempat yang mustahil berbau ilmiah. Pemilik jurnal biasanya
menyewa alamat kotak surat di Amerika atau Kanada.
Banyak juga jurnal predator yang judulnya dimulai dengan ”American Journal of” atau ”Canadian Journal of” semata-mata untuk
menunjukkan bahwa jurnal ini merupakan produk Amerika atau Kanada.
Begitu pesatnya perkembangan jurnal predator membuat penerbit
ataupun jurnal mulai kehabisan nama. Muncul nama-nama penerbit atau
jurnal yang mirip atau malah sama. Bahkan, nama-nama tidak lazim mulai
bermunculan, misalnya ada jurnal yang namanya ”sampah”.
Jadi Rumit
Masalah jurnal predator ini menjadi rumit karena kontribusi para
ilmuwan (terutama dari negara berkembang) yang secara langsung turut
membesarkan jurnal. Di lamannya, Beall mengajak para ilmuwan dan
akademisi untuk menjauhi jurnal ini dengan cara tidak berkontribusi
sebagai penulis makalah, juri, atau reviewer,
serta editor jurnal.
Akibat kontribusi para ilmuwan, beberapa jurnal memiliki faktor
dampak (impact factor/IF) meski
IF tertinggi hanya 0,5. Sejumlah jurnal predator juga sudah diindeks oleh
Scopus. Sebagai catatan, IF dipercaya banyak ilmuwan untuk menggambarkan
kualitas jurnal, sedangkan indeks
Scopus dalam skala nasional kita dianggap sebagai stempel jurnal
internasional.
Bagi jurnal-jurnal ilmiah nasional yang sudah diakui keilmiahannya
melalui akreditasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, keberadaan
jurnal predator jelas sangat merugikan. Makalah-makalah ilmiah yang
potensial untuk diterbitkan jurnal nasional terserap oleh jurnal predator
gara-gara ada embel-embel internasionalnya. Padahal, dalam banyak hal,
jurnal nasional kita jauh lebih baik dibandingkan jurnal predator.
Ada satu kasus lagi yang direkam laman Beall. Seorang ilmuwan
terpaksa harus menarik kembali makalahnya dari sebuah jurnal predator
karena makalah tersebut terpublikasi juga di jurnal yang jauh lebih
bergengsi. Namun, jurnal predator mengharuskan si penulis makalah
membayar ”biaya penarikan”.
Sangat mencengangkan, betapa komersial jurnal tersebut. Untuk
memasukkan harus membayar, dan untuk menarik makalah juga harus membayar.
Saya tidak dapat membayangkan berapa banyak biaya total yang dihabiskan
ilmuwan negara berkembang untuk menarik makalah-makalah yang mereka tulis
jika sekali waktu jurnal sejenis ini dimasukkan dalam daftar hitam pihak
berwenang.
Permasalahan jurnal predator tidak akan begitu kronis jika para
ilmuwan negara berkembang kembali menyadari hakikat makalah ilmiah
(Kompas, 21 Februari 2012). Seberkas makalah ilmiah tidak lebih dari
laporan hasil penelitian yang ditulis dalam format tertentu untuk dibaca
para peneliti lain yang mengerti atau berkepentingan dengan hasil
penelitian tersebut.
Jurnal Komunitas
Saat ini ada puluhan ribu jurnal ilmiah sehingga peneliti harus
mencari jurnal yang visible bagi pembaca targetnya. Jurnal
komunitas—mayoritas komunitas penelitian tertentu memublikasikan hasil
penelitian mereka—merupakan jurnal yang paling tepat untuk tujuan ini.
Di bidang fisika, misalnya, ada jurnal yang diterbitkan American Physical Society atau European Physical Journal dan
merupakan contoh jurnal-jurnal komunitas yang sangat baik.
Kita sangat yakin bahwa ilmuwan yang baik tidak memerlukan jurnal
predator karena komunitas ilmiahnya sudah memiliki jurnal-jurnal standar
komunitas yang visibilitasnya sangat tinggi di komunitas itu. Meski saya
tidak menampik bahwa IF dapat menggambarkan kualitas jurnal secara
kualitatif, jurnal komunitas akan lebih efektif menyampaikan informasi.
Jurnal predator bisa dikategorikan sebagai jurnal subhat
(meragukan) sehingga sebaiknya kita hindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar