Rabu, 24 April 2013

Dukung Perempuan (Nelayan)


Dukung Perempuan (Nelayan)
Mida Saragih ; Koordinator Riset Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara)
SINAR HARAPAN, 23 April 2013

  
Momentum peringatan Hari Kartini 21 April 2013 terasa kurang bermakna. Ini lantaran upaya membangun masyarakat modern belum bisa mengubah sikap masyarakat terhadap perempuan.

Beberapa perempuan memang telah menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, dan pengusaha. Tapi berapa presentase perempuan sukses tersebut? Tidak banyak. Ketertinggalan masih menyertai kaum perempuan hingga kini, termasuk di pelbagai kawasan pesisir Indonesia.

Seperti perempuan di pesisir Teluk Jakarta yang terus-menerus terpinggirkan, meski sudah bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga. Hari-hari tanpa tangkapan ikan memiskinkan para nelayan. Susutnya penghasilan suami membuat keluarga nelayan hidup serba kekurangan. Hal ini menyadarkan para perempuan akan keharusan bekerja.

Berbagai profesi secara serampangan pun digeluti. Mereka turut mencari udang rebon untuk bahan baku terasi, yang mereka kerjakan pula proses pembuatannya, berdagang ikan, menjadi kuli kupas kerang hijau, hingga jadi pemulung barang-barang bekas. Pagi hingga siang bekerja mencari uang, jelang sore hingga malam mengurus rumah tangga.

Nasib nahas yang dialami perempuan di Marunda, Jakarta Utara juga dirasakan mereka yang bermukim di Pangandaran, Jawa Barat. Di sana para perempuan nelayan bekerja ekstra keras. Sejak subuh hingga tengah hari mereka menarik jaring sepanjang 400-500 meter. Beberapa lelaki turut menjaring ikan dan sebagian kecil mengoperasikan kapal.

Panas terik matahari diacuhkan. Kulit terbakar dan telapak tangan mereka kasar. Untuk pekerjaan repot ini, hasilnya bila mujur Rp 50.000. Kalau sedang apes hanya mendapatkan Rp 5.000-15.000. Pendapatan di luar itu, mereka peroleh dari berdagang terasi dan ikan asin keliling kampung.
Meski demikian para perempuan pesisir tetap tidak digubris dan terus mendapatkan perlakuan beda dalam lingkup keluarga serta masyarakat.  Antara suami dan istri nelayan terdapat pembagian peran yang tak berimbang, padahal tanggung jawab mencari nafkah telah mereka bagi bersama.

Istri selalu mendapatkan porsi beban lebih, dari mengurus rumah tangga sampai menafkahi keluarga (mesin pencari uang) dengan total jam kerja 16-17 jam per hari.Suami merasa paling berhak mengatur keluarga, walau bekerja lebih kurang dari 7-12 jam untuk mencari ikan dan memperbaiki alat tangkap sepulang melaut.

Perempuan di pesisir dengan beban ganda itu belum pasti mendapatkan pendidikan layak. Masyarakat menganggap pendidikan sekadar formalitas untuk perempuan di pesisir. Pada akhirnya mereka akan diposisikan untuk mengurusi rumah tangga belaka, jadi tidak heran jika remaja perempuan yang dianggap memenuhi persyaratan umur langsung dinikahkan atau diminta untuk bekerja. Lagipula, itu semua agar remaja perempuan tidak menjadi beban keluarga.

Hal lain yang membuat mereka tidak melanjutkan pendidikan adalah biaya sekolah yang belum sepenuhnya gratis. Buku pelajaran berganti hampir setiap tahun ajaran baru.
Membaca penjelasan di atas, ada pembuktian perempuan masih diperlakukan sebagai masyarakat kelas kesekian. Bahkan oleh industri, situasi ini dimanfaatkan dengan menjadikan mereka sebagai cadangan buruh murah, sebagai “mesin industri”.

Diskriminasi Hukum

Selain pada lapisan masyarakat, diskriminasi terhadap perempuan berlangsung dalam peraturan hukum. Pada UU Perikanan Nomor 31 Tahun 2004, terminologi nelayan meminggirkan perempuan nelayan dengan menyederhanakan profesi nelayan sebagai penangkap ikan. “Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan” Ini praktis mengesampingkan perempuan nelayan yang selama ini terlibat dalam produksi, pengolahan, dan distribusi produk perikanan.
Implikasinya, kontribusi perempuan nelayan absen dalam statistik ekonomi nasional. Dampak seterusnya perempuan nelayan di mana pun mereka berada, tak menerima kartu identitas nelayan. Mereka bahkan kesulitan mengakses program-program pemerintah.

Tapi di beberapa daerah, praktik diskriminasi tidak lantas membuat perempuan nelayan patah arang untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Sejak Desember 2005, Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari merintis pengentasan kemiskinan persisnya di Dusun Morodemak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kelompok ini memulai kiprah dengan usaha simpan pinjam.

Dua tahun kemudian kekuatan kelompok tumbuh dengan diversifikasi produk olahan berbahan baku ikan seperti abon, bandeng presto, dan kerupuk. Di samping itu,Puspita Bahari berupaya menyehatkan pesisir dengan rutin melakukan penanaman mangrove bersama masyarakat setempat, dan mendaur-ulang sampah plastik bekas kemasan menjadi barang siap pakai.

Secara khusus, mereka menjalankan pendampingan bagi korban HIV/AIDS dan korban kekerasan dalam rumah tangga, tanpa luput mengajak masyarakat lain untuk memahami pentingnya kesetaraan gender.

Masyarakat Desa Morodemak sempat menyepelekan Puspita Bahari, namun sekarang 100 lebih di antaranya menerima manfaat langsung kerja kelompok. Di sisi lain pemerintah daerah yang sebelumnya memalingkan muka, sudah mulai melibatkan Puspita Bahari dalam implementasi program seperti kewirausahaan.

Jauh di luar Pulau Jawa, tepatnya Desa Sei Nagalawan, Sumatera Utara, Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung mempelopori rehabilitasi mangrove. Seiring waktu, mereka membuka usaha wisata mangrove dengan konservasi di atas lahan seluas 7 hektare lebih. Kelompok ini juga menjalankan usaha simpan pinjam serta pengolahan beragam produk berbahan baku ikan dan mangrove.

Kekuatan Puspita Bahari dan Muara Tanjung terletak pada kemampuan mereka mendobrak cara berpikir dan menggerakkan masyarakat. Perempuan bisa merealisasikan perubahan nyata demi perbaikan kualitas kesejahteraan. Mereka menjatuhkan pagar-pagar ketidakadilan, tanpa luput memulihkan lingkungan—yang merupakan langkah ekonomi politik strategis.
Kalau saja masyarakat umum dan pemerintah mau mengubah pandangan serta mendukung kesetaraan perempuan dan laki-laki, kalangan perempuan bisa lebih berdaya. Pembenahan hukum dapat menjadi langkah awal Pemerintah.

Pada UU Perikanan misalnya, pemerintah memperluas terminologi nelayan juga dengan mengakui perempuan—guna merealisasikan payung hukum perlindungan hak perempuan nelayan. Juga pada peraturan lainnya yang juga harus mengacu pada kesetaraan gender.

Langkah berikutnya, pemerintah baik pusat maupun daerah juga wajib menyediakan program untuk meningkatkan kapasitas para perempuan nelayan, mulai dari pendidikan, permodalan, dan bantuan hukum yang bisa membuat mereka naik kelas.

Pekerjaaan rumah mendatang adalah mengubah paradigma budaya dan tafsir agama yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan gender. Itu semua harus melewati konvensi antarmasyarakat. Jadi, tidak ada kata terlambat jika mau berbenah. Mari dukung perjuangan para perempuan nelayan di tanah air. Selamat Hari Kartini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar