Dalam penegakan hukum dikenal asas ejus nulla culpa est cui parere necesse
sit, yang artinya “tidak ada
kesalahan yang melibatkan orang yang taat pada peraturan secara mutlak”.
Asas tersebut
diberlakukan untuk mewujudkan kepastian hukum bagi subjek hukum mana
pun,baik pribadi hukum maupun badan hukum. Dalam praktiknya, penerapan asas
tersebut sangat bergantung pada perilaku aparatur hukum dan pemahamannya
yang mendalam mengenai teori dan asas hukum. Dengan demikian, aparatur
hukum tidak meninggalkan prinsip-prinsip hukum yang harus dihormati dan
terjebak pada alasan yang salah (valse
oorzaak) dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pelampauan Wewenang
Di Indonesia
penerapan asas ejus nulla culpa est
cui parere necesse sit menjadi tidak mudah diterapkan karena
ketidakpastian hukum yang diciptakan aparatur hukum dalam memahami suatu
ketentuan sehingga cenderung menghasilkan alasan yang salah (valse oorzaak). Misalnya, ketentuan
yang jelas dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan mala-administrasi
menjadi alasan yang salah (valse
oorzaak) untuk menetapkannya sebagai pelanggaran pidana.
Suatu perbuatan
yang jelas diatur dan dikenakan sanksi administratif bahkan bergeser tanpa
logika dan teori hukum menjadi dikenakan sanksi pidana secara mutlak akibat
alasan yang salah (valse oorzaak)
pada pemahaman aparatur hukum. Dalam asas hukum, pergeseran penyelesaian
hukum administrasi negara menjadi hukum pidana hanya dapat terjadi ketika
alat negara melalui kewenangan administrasinya tidak dapat bekerja atau
tidak mampu mencapai tujuan akhir dari pelaksanaan wewenangnya untuk
membatasi dan menegakkan suatu ketentuan.
Jika ada
aparatur hukum yang melakukan tindakan publiknya secara paksa dengan
mekanisme pidana padahal instansi pemerintah yang berwenang belum melakukan
atau belum menegakkan sanksi administrasinya, aparatur hukum tersebut tidak
hanya melakukan pelampauan wewenang. Akan tetapi, alat negara tersebut
dapat dianggap melakukan tindakan publiknya dengan daya paksa yang salah
sehingga dapat ditiadakan secara mutlak dari semula (ab ovo).
Misalnya, dalam
kasus Indar Atmanto selaku direktur utama PT Indosat Mega Media, pembayaran
BHP Telekomunikasi, USO, maupun BHP Spektrum Frekuensi Radio yang diatur UU
Telekomunikasi dalam mekanisme dan penyelesaian sengketanya yang merupakan
bagian dari wewenang administrasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Wewenang
tersebut dalam teori hukum merupakan wewenang atributif sehingga tidak ada
instansi atau aparatur lain yang memiliki wewenang tersebut, baik untuk
penyelesaian administrasinya maupun kemungkinan prosedur dan syarat
penanganan pelanggaran hukumnya. Hal ini disebabkan wewenang itu menurut
undang-undang mutlak menjadi wewenang Kementerian Komunikasi dan
Informatika.
Apabila
kemudian ada alat negara atau instansi lain melakukan tindakan yang
bersifat publik di luar mekanisme penyelesaian, prosedur, dan syarat dalam
UU Telekomunikasi, misalnya dengan cara penanganan hukum pidana, pertanyaan
pentingnya adalah apa dasar wewenang yang digunakan untuk melakukan
tindakan tersebut? Hal ini patut dipertanyakan karena UU Telekomunikasi
mengatur kewenangan yang bersifat regeling
(pengaturan) maupun yang bersifat beschiking
(penetapan) berada pada Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Salah Kira Mutlak
Penyelesaian
secara pidana perkara yang mendera salah satu perusahaan telekomunikasi di
Indonesia dalam pembayaran BHP Telekomunikasi, USO, maupun BHP Spektrum
Frekuensi Radio dengan tindakan hukum di luar UU Telekomunikasi dan UU
Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam perspektif hukum administrasi negara
merupakan salah kira yang mutlak (absoluut
dwaling) yang dilakukan aparatur hukum, khususnya Kejaksaan Agung
Republik Indonesia.
Beberapa
prosedur dan syarat yang harus dilakukan terlebih dahulu jika suatu
perusahaan telekomunikasi—PT IM2— mengabaikan UU Telekomunikasi dan UU
Penerimaan Negara Bukan Pajak belum dilakukan. Kementerian Komunikasi dan
Informatika sebagai instansi pemerintah yang menagih dan memungut
pembayaran BHP Telekomunikasi,USO, maupun BHP Spektrum Frekuensi Radio
bahkan tidak pernah diberikan kesempatan terlebih dahulu melakukan prosedur
pemeriksaan dan penyelesaian tagihan pembayaran sebagaimana diatur dalam UU
Telekomunikasi dan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Jika suatu
perusahaan sebagai badan hukum maupun direksinya sebagai subjek hukum telah
melaksanakan wewenangnya menurut undang-undang yang mengatur mekanisme,
prosedur, dan syarat usahanya, kemudian tetap diproses dengan mekanisme di
luar ketentuan undang-undang tersebut, bagaimana aparatur hukum memahami
asas ejus nulla culpa est cui parere necesse sit? Bagaimana kepastian hukum
akan tercapai apabila penyelesaian masalah dilahirkan dari salah kira
(dwaling)?
Lebih khusus
lagi terjadi salah kira yang mutlak (absoluut dwaling) terhadap ketentuan
undang-undang karena aparatur hukum kurang memahami secara keseluruhan
prosedur, syarat, dan mekanisme penyelesaian suatu aturan sehingga
pemahamannya terhadap aturan tertentu melahirkan simpulan dan alasan yang
salah (valse oorzaak) dalam penegakan hukumnya.
Persoalan Sistem Hukum
Penegakan hukum
di Indonesia dewasa ini dihadapkan pada persoalan kepastian hukum,
khususnya pada penerapan asas nulla culpa est cui parere necesse sit.Sistem
hukum nasional seakan-akan memisahkan secara tegas dan berbeda antara ranah
hukum perdata, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Padahal ketiga
ranah hukum tersebut bukan berada pada posisi yang saling menentang dan
membatasi satu sama lain, melainkan selain mendukung dan memetakan diri.
Hukum perdata
untuk melindungi hak subjektif, hukum administrasi negara mencegah secara
dini motivasi lain guna melindungi kepentingan publik, dan hukum pidana
memberikan efek jera. Esensinya adalah asas nulla culpa est cui parere
necesse sit hanya dapat dicapai pada pemahaman mendalam aparatur hukum atas
sistem hukum perdata, hukum administrasi negara,dan hukum pidana secara
paralel.
Bukan
menganggap salah satu ranah hukum sebagai tindakan yang paling utama dan
diutamakan (ultimum premium).
Jika asas itu kemudian diabaikan dengan alasan praktis dan alasan prestise,
persoalannya bukan hanya menyangkut kepastian hukum itu sendiri, melainkan
yang lebih substantif adalah mengubah total sistem hukum dan sistem
pendidikan hukum di Indonesia yang ternyata dalam penegakan hukumnya
terdiri atas satu ranah hukum saja yaitu hukum pidana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar