Pada
6 Januari 1989, MUI mendirikan LPPOM MUI berdasarkan Surat Keputusan MUI
Nomor Kep.018/MUI/I/1989. Dalam perjalanannya, sertifikasi halal
dinilai efektif oleh berbagai kalangan, utamanya untuk menenteramkan hati
umat. MUI telah berkiprah selama 24 tahun dalam penjaminan produk
halal.
Apabila
institusi ini bersama auditornya dibuka untuk umum, perlu diwaspadai adanya
kemungkinan perbedaan paham, interpretasi, dan khilafiyah tentang status
kehalalan suatu produk. Untuk menghindari adanya persoalan perbedaan paham
tentang kehalalan suatu produk, sebaiknya lembaga dan auditor yang
memeriksa kehalalan produk itu melalui MUI sebagai wadah berhimpun sejumlah
organisasi kemasyarakatan. Sedangkan, auditor yang selama ini berjalan
dapat direkomendasikan oleh instansi publik maupun lembaga/organisasi kemasyarakatan
yang kemudian akan dididik oleh MUI menjadi auditor yang profesional.
Dalam
konteks ini, negara tidak boleh melakukan `pembiaran' terhadap beredarnya
produk yang tidak jelas kehalalannya di masyarakat. Lagi pula,
penerapan jaminan produk halal yang selama ini telah berjalan dengan baik
harus dilindungi dan diperkuat dengan payung hukum berupa peraturan
perundang-undangan.
Namun
demikian perjalanan pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) telah memasuki
periode kedua (2009-2014) di DPR RI. Sedangkan pada periode pertama
(2004-2009), pembahasan RUU JPH mengalami kebuntuan.
Masyarakat bertanya-tanya tentang kesungguhan DPR RI bersama pemerintah
dalam pembahasan RUU tersebut. Dalam rapat Panja Komisi VIII DPR RI dengan
Pemerintah tanggal 3/2/2013, disinyalir mengalami kendala dalam dua hal.
Pertama, masalah kelembagaan dan kedua masalah belum adanya kejelasan
pembagian peran MUI bersama pemerintah.
Pembagian Peran
Kegiatan
jaminan produk halal selama ini melibatkan unsur MUI dan pemerintah. Sertifikasi
halal merupakan kewenangan ulama karena ulama yang memiliki otoritas,
kompetensi, dan legitimasi dalam menetapkan hukum Islam (syar'i) melalui usaha ijtihadiyah. Sedangkan,
institusi pemerintah melakukan tugas lain yang berkaitan dengan pengaturan
formal (regulasi). MUI berperan memeriksa (audit) produk,
menetapkan fatwa kehalalan produk melalui sidang Komisi Fatwa, menerbitkan
sertifikat halal (fatwa tertulis), dan mendidik serta melatih
auditor.
Penerbitan
sertifikat halal oleh MUI akan mempertahankan kredibilitas dan kepercayaan
atas sertifikat halal yang selama ini telah diakui secara luas.
Sementara, pemerintah berperan dalam pengaturan label halal pada kemasan
produk halal agar tidak mudah dipalsukan, pengawasan produk, pengawasan
produsen, pembinaan, sosialisasi, komunikasi dan penyadaran, juga
pengawasan/penyediaan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
jaminan produk halal. Peran lainnya adalah dalam penye lenggaraan
kerja sama dengan negara lain, penindakan (law enforcement) terhadap berbagai pihak yang melakukan
pelanggaran.
Lembaga
yang melakukan pengorganisasian jaminan produk halal dalam undang-undang
JPH adalah menguatkan kelembagaan yang telah berjalan selama ini, yaitu
adanya unsur pemerintah dan MUI dengan pembagian peran seperti yang telah
disebutkan di atas. Masing-masing peran jika dijalankan dengan cukup baik
sesuai mekanisme, perlu diperkuat dalam bentuk undang-undang. Posisi MUI
tetap berada di luar pemerintah sebagaimana yang selama ini dijalankan. Hal
ini semata-mata untuk menjaga kemandirian (independensi) ulama dalam pengambilan keputusan fatwa.
Penguatan
mekanisme pengajuan sertifi kasi halal yang berjalan saat ini, setidaknya
meliputi empat tahap, yaitu, pertama, pendaftaran untuk sertifikasi produk
ritel di pemerintah (BPOM), sedangkan produk nonritel pendaftaran langsung
di MUI. Kedua, proses sertifikasi halal meliputi tahapan pemeriksaan oleh
tim gabungan dari LPPOM MUI dan pemerintah, penetapan fatwa oleh Komisi
Fatwa MUI, dan penerbitan sertifi kat halal oleh MUI berdasar
standar.
Ketiga,
pendaftaran di pemerintah (BPOM) untuk memperoleh surat izin pencantuman
label halal di kemasan produknya. Keempat, komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) serta pembinaan kepada masyarakat dan pelaku usaha terhadap
penyelenggaraan produk halal oleh Kementerian Agama. Lembaga yang memeriksa
kehalalan produk dan penetapan fatwa seyogianya hanya ada di bawah MUI.
Pendirian lembaga yang memeriksa kehalalan di luar MUI akan menimbulkan
masalah keagamaan dan kontroversi antarlembaga. Pemeriksaan produk dan
penetapan fatwa adalah dua sisi yang bertautan.
Keduanya harus ditangani sebagai satu kesatuan dan oleh lembaga yang
memiliki otoritas dan kredibilitas dalam bidang keagamaan.
Pembiayaan
penjaminan produk halal bisa dilakukan secara simultan, baik melalui APBN
maupun swadaya masyarakat. Pembiayaan penjaminan produk halal melalui APBN
digunakan untuk menjalankan peran yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Sedangkan, pembiayaan yang diselenggarakan secara mandiri dengan swadaya
masyarakat digunakan untuk menjalankan peran MUI dalam jaminan produk
halal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar