Momentum
bagi upaya penguatan provinsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
mulai terasa kuat akhir-akhir ini.
Saat membuka rapat kerja
pemerintah, akhir Januari lalu, Presiden Yudhoyono meminta para kepala
daerah—khususnya gubernur—tak ragu bertindak mengatasi segala gangguan
keamanan di daerahnya. Pelaksanaan atas seruan itu pun mendapat dukungan
basis legal berupa Inpres Nomor 2 Tahun 2013, bahkan sebelumnya diatur
melalui UU Penanganan Konflik Sosial yang menempatkan gubernur dalam posisi
sentral.
Dari Senayan, DPR yang sedang
membahas RUU Pemda juga menyuarakan semangat serupa. Perihal penguatan
aspek fiskal, misalnya, Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo mengusulkan
agar belanja pegawai dialihkan ke level provinsi (Kompas, 31/1/2013).
Semua momentum di atas mestinya
jadi alasan untuk membuka kembali perdebatan ihwal arah revisi UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Draf usulan pemerintah memang
menunjukkan ikhtiar penguatan provinsi, tetapi mengambil sisi pendekatan
yang problematik.
Pasalnya, pemerintah justru hendak
menguatkan status provinsi sebagai daerah otonom dan kedudukan gubernur
sebagai kepala daerah. Tak heran bila sejumlah urusan (perikanan,
pertambangan, dan lain-lain) yang kini dikelola kabupaten/kota akan ditarik
sebagai kewenangan provinsi. Agar kabupaten/ kota tak terlalu protes, maka
diberikan ”gula-gula” berupa bagi hasil atas urusan tersebut. Hemat saya,
pendekatan demikian jelas bertendensi mikrosentralisasi, atau
resentralisasi parsial, dan belum tentu mencapai misi penguatan provinsi
itu sendiri.
Disfungsi Gubernur
Harus diakui, sejak memulai
otonomi 12 tahun lalu, efektivitas kebijakan desentralisasi terus dihantui
lemahnya peran gubernur dalam mata rantai pemerintahan yang ada. Dalam
statusnya sebagai daerah otonom, kewenangan provinsi serba tanggung karena
urusan otonominya tidak jelas. Provinsi hanya berwenang atas urusan lintas
wilayah atau urusan ”sundulan” dari kabupaten/kota karena merasa tak
sanggup (sesuatu yang tabu bagi kabupaten/kota), tetapi di sisi lain level
pemerintahan ini justru mengelola anggaran yang jauh melampaui urusan yang
dimilikinya.
Lebih payah lagi, status provinsi
sebagai wilayah administrasi dan kedudukan gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dalam kerangka dekonsentrasi lebih bersifat sloganistik.
Model integrated field administration yang menyatukan wilayah kerja aneka
instansi vertikal dengan provinsi, ataupun integrated perfectoral system
yang menempatkan kabupaten/kota sebagai bagian provinsi, hanya tinggal
sebagai model konseptual.
Bupati/wali kota sama sekali tak
melihat wilayah kerjanya sebagai bagian dimaksud. Apalagi, menempatkan
posisi mereka secara inferior di depan gubernur. Mereka berhubungan
langsung dengan pusat, sebagaimana pula pejabat kementerian lebih sering
melompati provinsi untuk mengurus kabupaten/kota.
Maka, ketimbang para perumus
revisi UU No 32/2004 membuat blunder resentralisasi
dengan menarik sebagian urusan kabupaten/kota ke level provinsi, pendekatan
penguatan provinsi mestinya difokuskan kepada penataan aspek wilayah
administrasi dan kedudukan gubernur sebagai wakil pusat.
Saya tentu tidak merekomendasikan
penghapusan provinsi sebagai daerah otonom yang implikasinya kepada
penghilangan DPRD, bahkan peniadaan APBD provinsi. Selain tak sejalan
dengan konstitusi (Pasal 18 UUD 1945 Perubahan), juga tak realistis secara
politik lantaran akan ditentang para politisi di Senayan. Sebab opsi
tersebut berarti menghilangkan akses distribusi para kader partai ke
jabatan politik lokal. Namun, preferensi pemerintah kepada model otonomi
provinsi atau penambahan urusan otonom ke provinsi jelas tidak tepat. Baik
pertimbangan efisiensi pelayanan, rentang kendali pemerintahan, maupun
demokrasi berbasis lokal yang justru lebih terjamin oleh otonomi
kabupaten/kota.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana
menata wilayah administrasi dan memperkuat kedudukan gubernur? Jika
bertolak dari sebab pokok disfungsi provinsi selama ini, penguatan itu
setidaknya menyentuh sisi desain administrasi dan politik sekaligus. Pada
aras pertama, langkah serius menempatkan gubernur sebagai wakil pusat harus
melampaui konstruksi dekonsentrasi tak bergigi saat ini. Urusan provinsi bukan
hanya menyangkut tugas pemerintahan umum: pembinaan, pengawasan dan
koordinasi. Semua jenis tugas tersebut justru hal yang paling gampang
diabaikan di negeri ini, apalagi jika sanksi tidak disertakan secara jelas
dan terukur.
Hemat saya, kedudukan sebagai
wakil pemerintah pusat mestinya berarti kewenangan kebijakan yang kini
dimiliki pusat dilimpahkan ke gubernur. Selama ini, kabupaten/kota merasa
percuma berkonsultasi dengan provinsi lantaran penyelesaian masalah
(konflik lintas wilayah, misalnya) tidak bisa diselesaikan di level
provinsi. Sebagai kepanjangan pusat di daerah, gubernur mesti diberikan
kewenangan otoritatif mengatur dan memutuskan; biasanya berupa surat
keputusan. Tanpa otoritas ”kata putus”, keberadaan provinsi hanya menjadi
mata rantai tak perlu (birokratisasi) lantaran segalanya masih ditentukan
di Jakarta.
Pada aras politik, pelimpahan
otoritas pusat tadi sudah mulai dijamin efektivitasnya sejak proses
pengisian jabatan gubernur. Sejatinya, dari logika sistem, gubernur sebagai
kepanjangan tangan pusat mestinya ditunjuk presiden. Serupa menteri sebagai
pejabat lini fungsional/sektoral, gubernur adalah pejabat pusat di lini
kewilayahan, mestinya proses perekrutan diwadahi dalam tata cara sama.
Namun, konstitusi dan realitas
politik tak memungkinkan ini terjadi dan gubernur tetap dipilih (langsung
atau melalui perwakilan). Maka, agar tak mencederai sistem pemilihan, perlu
dipikirkan mekanisme keterlibatan pusat di suatu tahapan proses tertentu,
seperti persetujuan atas calon yang diusulkan partai untuk kemudian
diserahkan kepada rakyat/DPRD untuk dipilih.
Sejak perekrutan, ”Jakarta
Flavour” dalam diri gubernur ini mesti menjamin hadirnya pusat lewat sosok
gubernur terpilih. Sesuatu yang di belakang hari memengaruhi derajat
identifikasi diri sebagai wakil pusat, menjamin ketaatan daerah, bahkan
”kesetaraan” dengan para menteri ketika bersinggungan dengan urusan
kewilayahan.
Catatan Akhir
Dalam situasi disfungsi gubernur
saat ini, instruksi presiden tadi—sebagaimana halnya berbagai tugas koordinasi
serupa selama ini—terasa sulit mewujud. Tanpa otoritas yang melekat dalam
struktur pemerintahan, instruksi itu tetap dianggap parsial, situasional,
bahkan akan menimbulkan kebingungan. Hingga saat ini gubernur belum
memiliki perangkat pendukung (satuan kerja dekonsentrasi) untuk menjalankan
tugas pemerintahan umum, serta anggaran khusus bagi pelaksanaan peran
sebagai wakil pemerintah pusat.
Mumpung pembahasan revisi UU No
32/2004 belum final di DPR, penataan fundamental bagi penguatan provinsi
dan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mesti diwadahi sejak
pengaturannya di UU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar