|
REPUBLIKA,
30 Januari 2013
Harian Republika,
Senin 28 Januari 2013, memuat berita dengan judul "Menag: Haji Kental
dengan Aspek Bisnis" dan artikel dengan judul "Talangan Haji"
yang di tulis oleh Anggito Abimanyu, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi keduanya sekaligus memberikan
masukan kepada Kemenag dalam rangka memperbaiki penyelenggaraan haji yang
saat ini juga tengah diupayakan oleh Kemenag.
Tidak dapat dimungkiri bahwa pelaksanaan haji di dunia (bukan hanya di Indonesia) telah membuka kesempatan bisnis bagi siapa pun. Hal ini telah berjalan lama dan akan terus berjalan selamanya karena begitulah Allah mengatur kehidupan umatnya yang beraneka ragam, tetapi saling terkait satu sama lain. Salah satu dari sekian banyak masalah perhajian adalah tentang kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji itu sendiri yang dirasakan semakin sulit oleh masyarakat. Bayangkan, sebagaimana dikemukakan oleh Dirjen Haji, masa tunggu calon jamaah haji untuk dapat berangkat haji sudah mencapai 15 tahun. Padahal, banyak sekali kemungkinan yang bakal terjadi dalam kurun waktu tersebut yang bisa berdampak kepada calon Jemaah haji, pemerintah, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan bila Dirjen Haji yang baru merasakan kegalauannya menghadapi masalah ini, sehingga beliau merasa perlu untuk mengkaji ulang keberadaan dana talangan haji. Menurut hemat saya, permasalahan ini bukan semata disebabkan oleh produk talangan haji yang ditawarkan oleh perbankan karena lembaga perbankan sesuai dengan naluri bisnisnya hanya merespons kebutuhan masyarakat dan memanfaatkan peluang bisnis dalam batas-batas regulasi yang ada. DSN-MUI juga hanya memberikan fatwa bila diminta atau dibutuhkan oleh masyarakat, termasuk lembaga perbankan. Dengan demikian, produk talangan haji hanyalah akibat saja, bukan penyebab semakin lamanya masa tunggu tersebut. Yang perlu dikaji ulang bukan produk talangan hajinya, melainkan peraturan Kemenag yang selama ini menjadi acuan bagi masyarakat dan lembaga perbankan tersebut. Kemenag seharusnya tidak membiarkan atau seharusnya menghentikan sejak awal pola pendaftaran haji untuk pelaksanaan haji dua tahun berikutnya dan seterusnya. Cara demikian dapat memberikan dampak positif, antara lain, pertama, Kemenag dapat melaksanakan secara optimal perannya sebagai regulator tanpa harus dihadapkan pada permasalahan yang kompleks dan multiyears. Kedua, calon jamaah haji akan terseleksi secara alamiah, yaitu mereka yang benar-benar mampu secara finansial (istitho'ah) yang dapat melaksanakan ibadah haji, bukan akibat rekayasa finansial melalui dana talangan haji atau lainnya. Ketiga, masyarakat tidak perlu mempertanyakan dana triliunan rupiah yang disetorkan calon jamaah haji ke Kemenag, baik tentang keabsahannya mau pun transparansi pengelolaannya. Keempat, calon jamaah haji yang benar-benar mampu tetapi belum terpilih untuk melaksanakan ibadah haji dapat memanfaatkan uangnya untuk hal-hal yang produktif dan calon jamaah haji yang sebenarnya belum mampu secara finansial tidak memaksakan diri. Kelima, menutup peluang bagi lembaga perbankan untuk menawarkan produk talangan haji. Tentu saja, cara tersebut akan berakibat hilangnya kesempatan Kemenag untuk mendapatkan dana puluhan triliun dari uang pendaftaraan calon jamaah haji yang selama ini berjalan, sehingga Kemenag akan resisten untuk melaksanakannya. Sekalipun demikian, uang setoran calon jamaah haji yang selama ini berada dalam penguasaan Kemenag juga terus dipertanyakan keabsahan dan transparansi pengelolaannya, sehingga terdapat pandangan masyarakat agar dana tersebut dikelola lembaga yang independen. Saya berpendapat bahwa untuk pendaftaran haji tidak perlu dipersyaratkan adanya setoran uang tunai ke Kemenag, tetapi cukup dengan bukti kemampuan finansial calon jamaah haji. Lembaga yang dapat dan lazim memberikan bukti finansial tersebut adalah lembaga perbankan sebagai lembaga kepercayaan. Artinya, Kemenag harus memercayai lembaga perbankan untuk memastikan bahwa calon jamaah haji memiliki kemampuan finansial dalam melaksanakan ibadah haji. Dengan cara demikian, uang calon jamaah haji akan tetap berada di lembaga perbankan dan tetap menjadi miliknya sampai tiba saatnya untuk disetorkan ke Kemenag. Lembaga perbankan (baca: perbankan syariah) juga akan dengan senang hati mengelola dana calon jamaah haji tersebut karena termasuk dalam kategori dana masyarakat yang stabil, bukan dana institusi yang sewaktu-waktu dapat ditarik. Dukungan pemerintah (Kemenag) terhadap lembaga perbankan syariah akan terlihat nyata dan merupakan wujud nyata dari pernyataan Presiden SBY dalam Festival Ekonomi Syariah 2008 di JCC untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai agenda nasional. Dukungan tersebut tidak hanya dalam bentuk menjaga kestabilan, tetapi juga pengembangan industri perbankan syariah, khususnya melalui pengelolaan dana calon jamaah haji. Nantinya, tidak akan ada lagi keluhan dari perbankan syariah karena dana haji secara tiba-tiba di tarik dalam jumlah besar sekaligus yang berakibat pada terganggunya likuiditas dan pertumbuhan perbankan syariah. Masalah lain yang perlu dikaji ulang oleh Kemenag adalah peraturan tentang ibadah haji khusus yang telah berjalan selama ini. Peraturan tersebut seharusnya dihilangkan karena merupakan bentuk perlakuan diskriminatif kepada masyarakat. Kuota haji seharusnya dialokasikan kepada masyarakat dengan ketentuan yang sama. Peraturan ibadah haji khusus memberikan kesempatan yang lebih besar kepada mereka yang berkemampuan finansial lebih besar, sehingga dapat menimbulkan pandangan bahwa orang kaya mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Bahkan, peraturan ibadah haji khusus dalam praktiknya menimbulkan moral hazard yaitu banyak orang yang memaksakan pergi haji dengan ibadah haji khusus. Kita semua menaruh harapan besar kepada Dirjen Haji dan Umrah yang baru yang memiliki integritas dan komitmen untuk memperbaiki pelaksanaan ibadah haji. Setiap upaya konstruktif ke arah itu tentunya perlu didukung. Wallahu a'lam bissawab. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar