INDUSTRI berbasis tebu
di Indonesia, yang hadir sejak ratusan tahun silam, kini menghadapi banyak
tantangan perubahan. Tak bisa lagi industri ini hanya menjalankan bisnis
secara biasa. Harus ada imajinasi baru untuk mengembalikan kejayaannya.
Industri ini
pada 2012 memproduksi gula sebagai produk utama sekitar 2,5 juta ton. Meski
di bawah target pemerintah, angka itu patut disyukuri karena produksi gula
dalam beberapa tahun terakhir ini jarang menembus angka 2,5 juta ton.
Lantas,
bagaimana prospek pencapaian swasembada gula nasional pada 2014? Kini, tak
bisa lagi kita bicara peningkatan produktivitas semata, karena bisa jalan
di tempat. Swasembada gula jangan hanya dikerangkai dalam konteks pemenuhan
produksi gula, tapi bagaimana ikhtiar kita membangun industri berbasis tebu
(sugarcane based industry) terintegrasi.
Kita tidak akan
pernah menghasilkan sesuatu yang besar jika tak mempunyai pikiran besar.
Diperlukan strategi terpadu berupa efisiensi, optimalisasi, dan
diversifikasi.
Mengejar Rp 1,7 Triliun
Diversifikasi,
yang menjadi kata kunci, hanya bisa dilakukan jika efisiensi dan
optimalisasi budi daya (on-farm) dan pengolahan
pabrik (off-farm) sudah berjalan
baik untuk meningkatkan produksi gula menuju swasembada. Artinya,
diversifikasi sama sekali tidak mengganggu tugas utama pencapaian
swasembada. Tanpa efisiensi dan optimalisasi, diversifikasi tak bisa
dilakukan karena hilirisasi membutuhkan ketersediaan pasokan tebu dan
kinerja mesin yang prima.
Mengapa
diversifikasi harus dilakukan? Sebagai komoditas highly-regulated, industri tebu mengandung kompleksitas. Di
satu sisi, biaya produksi gula terus menanjak seiring kenaikan harga tebu
petani dan upah. Di sisi lain, harga gula tak bisa dibentuk pada level yang
menjanjikan margin memadai karena faktor daya beli konsumen dan intervensi
pemerintah. Dengan demikian, margin pengusahaan gula tak cukup mampu untuk
dibuat ekspansi memperluas lahan maupun membangun pabrik.
Kondisi serupa
dialami negara-negara produsen gula dunia. Karena itu, di banyak negara,
diversifikasi menjadi hal yang diseriusi. Dari sisi manajemen risiko,
diversifikasi juga bermanfaat mengurangi risiko produksi.
Selain
menghasilkan gula dalam jumlah optimal, di industri berbasis tebu modern,
setiap 1 ton tebu bisa memproduksi listrik 100 KWH bersumber dari ampas
tebu (program cogeneration); 12 liter
bioetanol dari tetes tebu, dan 40 kilogram biokompos dari limbah padat.
Limbah bioetanol juga bisa diolah menjadi listrik. Itu belum termasuk
produk hilir lain yang potensial dikembangkan.
Di Indonesia,
diversifikasi belum diseriusi. Banyak industri koproduk tebu, tapi
mayoritas dimiliki perusahaan yang tak bergerak di bisnis tebu. Industri
tebu hanya menjual bahan olahannya tanpa bisa mendapat nilai tambah secara
optimal.
Secara
nasional, berdasar kajian tim independen, dengan lahan sekitar 473.000
hektare dan potensi 38 juta ton tebu, potensi diversifikasi adalah surplus power 3.800 GWH, bioetanol 460.000 kiloliter,
dan biokompos 1,5 juta ton.
Dengan
mengambil contoh pada 33 pabrik gula di Indonesia yang berteknologi
"usang", investasi yang dikeluarkan untuk mengoptimalkan potensi
diversifikasi adalah USD 1,585 miliar dengan potensi penerimaan USD 260,5
juta per tahun, punya waktu enam tahun untuk payback period (masa impas,
Red).
Berdasar kajian
di lingkungan PTPN X yang saya pimpin, potensi pendapatan diversifikasi
bisnis (bioetanol, listrik, biokompos) Rp 1,7 triliun. Payback period-nya 3-5 tahun.
Potensi pendapatan ini bisa dikelola untuk ekspansi sektor on-farm dan off-farm, sehingga
dengan sendirinya bisa menopang peningkatan produksi gula sebagai komoditas
pangan.
Sudah Melangkah
PTPN X sudah
memulai langkah diversifikasi dengan proyek bioetanol di PG Gempolkrep,
Mojokerto, bekerja sama dengan New
Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO)
Jepang. Investasinya Rp 467,79 miliar (hibah Jepang Rp 154 miliar dan dana
PTPN X Rp 313,79 miliar). Pabrik yang berkapasitas sekitar 30 juta liter
etanol per tahun dengan bahan baku tetes tebu dari PG-PG milik PTPN X itu
resmi beroperasi pertengahan tahun ini. Limbah bioetanol juga masih diolah
lagi menjadi listrik.
PTPN X juga
memulai program cogeneration (mengolah ampas
tebu menjadi listrik) dalam skala terbatas di PG Ngadiredjo, Kediri, sejak
tahun lalu. Program cogeneration ini akan
dilanjutkan ke PG Kremboong, Sidoarjo. Secara keseluruhan, potensi
pendapatan cogeneration di lingkungan
PTPN X mencapai Rp 633,89 miliar-Rp 684,51 miliar per tahun dengan potensi
listrik 225 MW. Tapi, tentu saja hal ini akan dilakukan secara bertahap.
Adapun biokompos sudah dikembangkan di setiap PG.
Brazil adalah
negara yang sukses mengoptimalkan produk turunan tebu dengan bertransformasi
dari negara pengimpor sekitar 80 persen kebutuhan minyaknya menjadi pelopor
energi terbarukan. Industri berbasis tebu menyumbang 18 persen dari
kebutuhan energi negeri jawara bola itu.
Untuk
memperkuat diversifikasi, syarat utama adalah membangun agribisnis tebu
yang memadukan teknologi dengan kekayaan sektor pertanian. Spirit diversifikasi dan energi terbarukan harus
menjadi semangat nasional, agar potensi ekonomi tebu bisa dimaksimalkan
untuk menopang kebutuhan energi nasional dan menyejahterakan masyarakat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar