Dalam
kerusuhan internal Partai Demokrat, mengenai siapa harus diperkarakan
secara hukum dan politik–suatu isu yang sangat terlambat, seharusnya sudah
sejak dulu dijadikan perkara nasional–muncul penggunaan simbol Sengkuni
untuk mengejek lawan-lawan politik.
Kata lawan ini
terasa aneh karena sebetulnya mereka kawan seiring yang bekerja sama di
dalam satu partai. Penggunaan simbol ini tidak tepat dan sama sekali tidak
menyentuh sedikit pun kulit-kulit–apa lagi esensi–persoalan pokoknya. Siapa
yang Sengkuni, siapa yang di-Sengkunikan? Bagaimana kalau kebalikannya yang
terjadi: yang men-Sengkuni-kan, lebih tepat disebut Sengkuni daripada yang
di-Sengkuni-kan?
Saya tidak
tahu-menahu perkara ini dan sebetulnya sangat tidak tertarik membahas
urusan internal partai yang sudah keberatan beban moral politik, yang
kelihatannya tak membuat orang partai itu merasa malu. Dalam penampilan
para tokohnya, di mana-mana tampak jelas sikap seolah mereka jagoan, tanpa
masalah tanpa beban, padahal apa gunanya sikap itu ditonjolkan, ketika
bangsa Indonesia, seluruhnya, tahu persis apa yang terjadi di partai itu?
Anjloknya
secara memalukan citra partai di mata publik seharusnya membuat para tokoh
malu. Mereka dulu mengejek Pak Harto tak punya rasa malu, sekarang mereka
yang tak punya. Sengkuni, jangan salah, justru orang yang tak punya malu
itu. Kok bisa sama? Saya paham dunia wayang. Sengkuni itu satria yang
lembut, sopan, senantiasa membungkuk, dan berkata selalu “di bawah-bawah”–
ini idiom Minangkabau–- artinya “low
profile”.
Dia macan,
harimau, yang menyembunyikan kukunya. Dalam pertemuan- pertemuan yang
menegangkan, ketika ada yang emosi, naik pitam, marah, membentak, Sengkuni
tetap bicara lembut. Tapi, mengintip baik-baik karakter orang per orang, untuk
dihajar habis, dengan menggunakan kelemahan orang bersangkutan. Dia jahat, seperti
serigala, tapi memakai jubah domba.
Di balik semua
watak low profile, sikap lembut,
sopan, dan seolah tak punya musuh, terdapat sikap ambisius, penuh agenda
politik yang tak terduga, dengan sikap licin, licik, terampil berkelit, dia
ibarat gambaran sebuah kamus komplet kelicikan, penuh fitnah dan strategi
menghancurkan orang lain. Dia bukan siapasiapa dan bukan apa-apa tapi
secara cepat naik tangga politik melalui agenda-agenda penuh fitnah dan
kekejian tadi.
Mulutnya,
kata-katanya, berbisa melebihi ular kobra. Dia berambisi menjadi patih sejak
sangat muda, ketika namanya masih Trigantalpati. Dia memfitnah Patih
Astina, Gondomono, dan melaporkannya kepada Baginda Prabu Pandu Dewanata,
Raja Astina, ayah para Pandawalima itu. Patih itu difitnah telah
berkhianat, berbalik membela negeri musuh dalam perang antara Astina
melawan Pringgondani.
Ringkasnya,Gondomono
dimarahi habis-habisan, dan dipermalukan di istana, padahal dia patih
hebat,tulus,jujur dan mengabdi dengan setia pada Raja Pandu. Maka,
Gondomono pun merobek-robek—maaf—mulut Trigantalpanti. Pendeknya, dia
dihajar habis-habisan, dan satria yang lembut sikapnya, lembut
suaranya—tapi palsu— itu, berubah menjadi wujud sangat jelek: mulutnya
“merenges” seperti mulut raksasa. Sebetulnya memang pantaslah begitu.Tapi,
tokoh muda yang ambisius, licin, licik, dan serakah itu tenang saja.
Gondomono
meninggalkan Astina dan dialah yang menjadi patih negeri itu karena dalam
perang tersebut raja Pandu juga gugur. Raja baru Astina Duryudono, yang
gede badannya, pemalas, tidak sakti, pintar bohong, dan menipu–karena
dukungan patihnya–serakah dan menikmati kekuasaan tanpa tanggung jawab
sedikit pun. Dia tak pernah punya kebijakan dan tak pernah memutuskan suatu
tindakan. Yang penting baginya hanya status sebagai raja. Patih bekerja
keras.Semua urusan terpulang pada patih.
Perlu dicatat,
Astina yang didudukinya itu sebenarnya hanya separuh negeri. Separuh negeri
lainnya milik Pandawa, dan tahta itu haknya para Pandawa. Tapi, tahta itu
dikangkangi sendiri. Ketika Pandawa yang prihatin, memiliki kerajaan baru,
Indraprasta, yang istananya indah seperti kahyangan para dewa, Sengkuni
membuat fitnah baru. Pandawa diajak main dadu, yang secara licik diakali
Sengkuni, dan Pandawa kalah. Kerajaan jatuh ke tangan musuh, dikuasai
Duryudono, dan para Pandawa dibuang ke hutan dua belas tahun lamanya.
Ditambah satu
tahun harus menyamar di dalam kota mana pun, tetapi kalau penyamaran mereka
ketahuan pihak Astina, mereka harus masuk hutan lagi selama dua belas tahun
berikutnya. Mereka selamat dalam penyamaran di tahun ke tiga belas. Patih
licin, licik, dan ambisius, yang naik pangkat secara cepat selagi masih
muda,merancang kejahatan licik lainnya. Separuh Negeri Astina, dan Kerajaan
Indraprasta milik Pandawa tetap dikuasai.
Tak peduli
janjinya jelas: harus dikembalikan pada tahun ketigabelas tersebut.
Sengkuni membakar rajanya yang agak dungu dan pemalas, untuk siap menempuh
perang antarkeluarga trah Bharata, yang kita kenal sebagai Bharatayudha
itu. Dosa Sengkuni lainnya: dia pernah membuat resi Abiasa dan Dewi Kunti
jatuh pingsan dalam suatu lakon.
Kunti yang
pingsan itu—maaf, pakaiannya, behanya, dibuka dan Sengkuni leluasa
melakukan kejahatan terkutuk. Kunti membuang behanya dan menerima jubah
mertuanya, resi Ambiasa, untuk penutup dada. Dia bersumpah, tak akan
memakai beha lagi kalau bukan beha yang terbuat dari kulit Sengkuni. Maka, dalam
Bharatayudha yang kejam, dan mengerikan, Kurawa habis. Sengkuni mati paling
akhir.
Disiksa Bhima
dan kulitnya dikelupas seperti pisang. Saat itu Sengkuni harus menelan
sendiri hasil tindakan jahatnya selama itu, ditambah bunganya: balas dendam
Bhima yang mendidih, demi ibunya, demi negerinya. Siapa yang menyebut orang
lain Sengkuni? Siapa yang lebih pantas menjadi perwakilan simbolis karakter
Sengkuni? Kita sendiri yang Sengkuni?
Musuh-musuh
politik kita Sengkuni? Untuk apa men-Sengkuni-kan orang lain? Mengapa orang
yang tahu perkara wayang, bermain wayang, dan menjadikan orang lain, tokoh
wayang yang jelek, seperti Sengkuni? Apa kita berani mengambil risiko
memalukan bila ternyata yang Sengkuni itu kita sendiri. Politik selalu
berhenti di kekuasaan untuk kepentingan kenikmatan dalam kekuasaan. Politik
memang untuk merebut kekuasaan.
Tapi, kekuasaan
harus ada definisinya, ada visinya, ada misinya. Kekuasaan untuk mengatur
kehidupan secara adil dan manusiawi demi membangun peradaban luhur, yang
layak dicatat semua manusia di dalam zaman itu maupun di zaman-zaman
sesudahnya. Partai Demokrat itu beda dari PDIP, yang punya suatu sentimen
primordial. PDIP punya alamat, punya rumah jelas. Mereka itu Partai
nasionalis. Mereka itu Soekarnois.
Mereka memihak
kalangan rakyat jelata, yang Marhaen. Ditambah partai Katolik dan Partai
yang menganut agama non-Islam lainnya. Rumah primordial mereka jelas
sekali. Partai ini terdiri dari orangorang yang sangat beragam. Ada yang
loncat secara tak jelas dari Golkar.Ada yang dari tempat lain. Demokrat,
sebagai sikap, atau sifat, tidak cukup kuat untuk dijadikan rumah, atau
sentimen primordial. Di sini mudah terjadi keretakan.
Apa lagi kalau
alasannya kuat: korup dan merusak citra partai. Pertengkaran intern ini
pasti bikin panas. Tapi, saya tidak. Ini urusan internal partai. Selesaikan
saja sendiri. Siapa yang Sengkuni? Definisikan sendiri. Siapa yang dituduh
Sengkuni? Urus saja secara internal. Orang luar, macam saya, peduli apa
ikut rebut-ribut? Bagi saya, Sengkuni ya Sengkuni, yang licin, licik, sok
sopan, sok lembut, macam uraian di atas. Siapa Sengkuni, saya tak peduli.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar