Agar ruang diskusi media tidak
menjadi sangat elitis, media massa harus mengoptimalkan rubrik surat
pembaca. Mengapa harus surat pembaca? Karena di dalam pemberitaan media,
orang awam praktis hanya menjadi penonton.
Media massa sangat terpola untuk
mengangkat sensibilitas, minat, dan cara pandang kalangan elite. Konsep
tentang otoritas sumber mengondisikan media massa untuk terus-menerus
berkutat dengan sumber-sumber resmi negara, pakar, akademisi, dan tokoh
LSM.
Elitisme juga terjadi pada
pemilihan obyek berita. Jika media memberitakan masalah korupsi, misalnya,
hampir pasti itu adalah korupsi besar, melibatkan nama- nama besar dan
terjadi di pusat- pusat kekuasaan. Korupsi yang sehari-hari dihadapi rakyat
kecil dalam pengurusan KTP, SIM, izin usaha, akta kelahiran, dan lain-lain
hanya samar-samar terdengar dalam diskursus media tentang korupsi. Padahal,
jika diakumulasikan, berbagai pungutan liar, biaya siluman, dan pemerasan
yang sehari-hari dihadapi rakyat kecil sesungguhnya juga merupakan
”megakorupsi”.
Sebagai ruang publik, media belum
memberikan porsi yang cukup bagi munculnya suara dan kepentingan orang
awam. Inilah yang disinyalir J Thomson sebagai paradoks komunikasi massa.
Komunikasi selalu mengandaikan
kesetaraan dan interaktivitas. Namun, komunikasi massa modern dalam
praktiknya menempatkan satu pihak sekadar massa pasif: penonton televisi,
pendengar radio, pembaca media cetak. Yang difasilitasi media jangan-jangan
bukan kegiatan komunikasi, tetapi sekadar transmisi pesan satu arah dari
kaum elite kepada mayoritas orang yang tak punya privilese untuk merespons
dan melibatkan diri.
Dalam konteks inilah, posisi
rubrik surat pembaca sesungguhnya cukup fundamental. Rubrik yang sering
diremehkan ini ibarat jendela untuk menyaksikan masalah konkret sehari-hari
masyarakat kebanyakan: buruknya pelayanan publik, pungutan liar di hampir semua
lini birokrasi, peradilan yang tak berpihak kepada yang lemah, pelecehan
hak-hak konsumen, dan lain-lain. Surat pembaca adalah etalase kegelisahan
masyarakat yang melegitimasi ruang publik media.
Dalam konteks ini, sungguh
memprihatinkan ketika seorang warga bernama Khoe Seng Seng terjerat kasus
hukum bertahun- tahun, dan akhirnya diputuskan Mahkamah Agung harus
membayar denda Rp 1 miliar gara-gara surat pembaca yang ditulisnya. Surat
pembaca itu muncul di dua media nasional tahun 2006.
Seng Seng mengeluhkan status ruko
yang dibelinya di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara, yang awalnya dijanjikan
berstatus hak guna bangunan, tetapi kemudian hanya diakui berstatus hak
pengelolaan lahan oleh Pemda DKI. Pihak pengembang kemudian melaporkan Seng
Seng ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Seng Seng dijerat secara
perdata dan pidana sekaligus. Kasus hukum pun bergulir hingga berujung pada
keputusan MA.
Bebas dalam Ketakpastian
Kebebasan pers di Indonesia dan
kontribusinya terhadap proses demokratisasi telah diakui dunia. Dalam
menjalankan fungsi kritik dan deliberasi publik, pers Indonesia salah satu
yang terbaik di dunia. Namun, bagaimana bisa dijelaskan di dalam gelimang
prestasi itu seorang penulis surat pembaca dihukum denda satu miliar
rupiah?
Tak pelak, kasus Seng Seng
menunjukkan sisi enigmatis kebebasan pers di Indonesia. Kebebasan itu
ternyata masih bersifat ambigu. Di dalam kebebasan itu masih tersimpan
ketidakbebasan. Yang sudah bebas rupanya adalah para wartawan dan editor,
sementara penulis surat pembaca masih rentan dan berisiko.
Andai nasib Seng Seng itu ditulis
dalam berita, dan bukannya di surat pembaca, apakah kasus hukumnya akan
mengalir sedemikian jauh? Apakah penggugat berani berperkara melawan media?
Apakah penegak hukum sebegitu tegas menjatuhkan hukuman jika yang dihadapi
adalah institusi pers? Ketidakpastian menyelimuti kita dalam hal ini.
Lebih jauh lagi, yang paling
bertanggung jawab terhadap materi yang telah dipublikasikan media
sesungguhnya adalah media itu sendiri. Untuk surat pembaca, rumusannya: 70
persen tanggung jawab media dan 30 persen tanggung jawab penulis surat
pembaca. Jika muncul konsekuensi etis atau hukum dari pemuatan surat
pembaca, yang pertama-tama harus menanggung adalah medianya, bukan penulis
surat pembaca.
Logikanya, pemuatan surat pembaca
melibatkan otoritas redaksi untuk menyeleksi dan menyunting surat pembaca.
Jika saja surat pembaca Seng Seng tidak dimuat media, tuntutan hukum itu
tidak akan muncul.
Dengan demikian, seyogianyalah MA
mengoreksi kembali keputusannya dan mempertahankan citra sebagai penegak
hukum yang memahami dan menghargai prinsip-prinsip dasar kebebasan pers.
Apalagi kasus Seng Seng ini dikhawatirkan berdampak luas. Orang awam
menjadi ketakutan untuk menulis surat pembaca. Alih-alih mendapatkan
perhatian atas nasib buruk yang dialami, mereka justru harus berurusan
dengan hukum dan terancam pidana.
Jika surat pembaca tak membantu
menyelesaikan masalah, sebaliknya menghasilkan trauma bagi orang awam,
jelas ada yang tak beres dalam kehidupan pers kita. Di tengah-tengah
semarak Hari Pers Nasional, seyogianyalah hal ini direnungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar