Menjelang
pemilihan umum (pemilu), rakyat akan menjadi rebutan partai-partai. Ini
bisa dimaklumi karena tidak akan ada partai tanpa rakyat dan tidak akan ada
pemenang pemilu tanpa dukungan rakyat. Rakyat akan menjadi primadona dalam
setiap perhelatan pemungutan suara. Rakyat akan menjadi penguasa yang
sebenarnya.
Tapi satu hal yang perlu kita cermati, ketika kita bicara soal rakyat maka
akan muncul pertanyaan: rakyat yang mana? Pertanyaan yang sederhana tapi
rumit dijawab.
Sebagai wacana politik, rakyat adalah kata yang mudah didefinisikan secara
literal namun agak rumit diinterpretasikan secara faktual. Pada dasarnya
semua warga negara adalah rakyat, namun faktanya, banyak kalangan
mengidentikkan rakyat hanya dengan orang-orang yang terpinggirkan baik
secara ekonomi maupun politik. Maka pada saat ada yang berteriak “atas nama
rakyat”, asosiasi kita tertuju pada orang-orang yang terpinggirkan.
Artinya, kata “rakyat” memiliki dua makna, denotatif dan konotatif. Secara
denotatif berarti semua warga negara, sedangkan secara konotatif berarti
hanya identik dengan warga negara kebanyakan. Pemaknaan secara konotatif
ini tidak salah karena secara etimologis, rakyat berasal dari bahasa Arab
“ra’iyah” yang artinya pihak yang digembalakan, atau pihak yang menjadi
objek untuk diatur oleh pihak lain. Maka pada saat ada sekelompok orang-orang
kaya, atau orang-orang yang dalam hidupnya lebih banyak mengatur orang
lain, akan terasa janggal jika mengaku sebagai rakyat.
Beranjak dari makna konotatif di atas, interpretasi atas nama rakyat
menjadi seperti karet yang bisa ditarik ke sana-ke mari. Contohnya, ketika
pemerintah berniat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), penolakan
menggema di mana-mana, dan semuanya berteriak atas nama rakyat. Asumsinya,
jika harga BBM dinaikkan maka warga negara kebanyakan yang menjadi pihak
paling dirugikan.
Meskipun asumsi itu sulit dibantah kebenarannya, saya yakin pihak-pihak
yang menyetujui kebijakan kenaikan harga BBM pun punya hak yang sama untuk
berteriak atas nama aspirasi rakyat. Untuk yang menolak, alasannya karena
kenaikan harga BBM akan menjadi penyebab utama melejitnya harga bahan-bahan
(kebutuhan) pokok. Di sinilah segenap rakyat merasakan betapa buruknya
dampak kenaikan harga BBM.
Sementara itu, mereka yang menerima (mendukung), alasannya karena jika
harga BBM bersubsidi tidak dinaikkan maka akan terjadi subsidi yang salah
sasaran. Dengan mensubsidi harga BBM berarti negara (pemerintah)
mensubsidi orang-orang kaya yang pada praktiknya lebih banyak
menggunakan BBM bersubsidi. Dengan demikian, menerima (mendukung) kenaikan
harga BBM sama juga dengan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Perbedaan antara keduanya, yang pertama sangat mudah dipahami, bahkan oleh
rakyat yang tak berpendidikan sekali pun, sedangkan yang kedua tidak mudah
dipahami karena tampak begitu rumit untuk sampai pada kesimpulan sejalan
dengan aspirasi rakyat.
Perebutan Wacana
Dari sudut pandang teori komunikasi, pihak-pihak yang menolak penaikan
harga BBM berwacana dalam bahasa low context yang mudah dipahami dan
straight to the point. Untuk sampai pada kesimpulan sesuai aspirasi rakyat
tidak perlu berpikir panjang hingga mengerutkan kening.
Sementara itu, pihak-pihak yang setuju penaikan harga BBM berwacana dalam
bahasa high context, yakni bahasa yang tidak sederhana dan membutuhkan
penjelasan yang rumit dan panjang untuk sampai pada kesimpulan yang
diinginkan.
Dalam proses perebutan wacana penaikan harga BBM, yang menang adalah yang
menggunakan bahasa low context. Partai-partai yang menolak penaikan harga
BBM bisa dengan heroik mengatakan merekalah yang sesuai aspirasi rakyat.
Tapi apakah yang menang secara wacana itulah yang benar-benar sesuai
aspirasi rakyat? Jawabannya belum tentu. Jika kita mau mencermati secara
serius, bisa jadi yang benar-benar sesuai aspirasi rakyat adalah yang
mendukung penaikan harga BBM. Mengapa demikian? Karena, pertama, ada
penambahan subsidi yang khusus diperuntukan bagi rakyat miskin.
Kedua, subsidi juga bisa digunakan untuk perbaikan infrastruktur yang
manfaatnya juga bisa dirasakan oleh rakyat. Ketiga, dengan tidak adanya
penaikkan harga BBM bersubsidi, sama artinya dengan melanggengkan
(setidaknya memperpanjang) ketidakadilan di tengah-tengah masyarakat. Ini
karena subsidi yang seharusnya diprioritaskan untuk rakyat miskin malah
lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, karena BBM bersubsidi pada
faktanya lebih banyak dikonsumsi—kendaraan bermotor milik—orang-orang kaya.
Tapi karena pemerintah gamang, atau bahkan tidak punya keberanian untuk
mengambil risiko politik yang kurang populer karena dianggap tidak sesuai
aspirasi rakyat, kebijakan yang pada dasarnya “benar-benar” sesuai
kepentingan rakyat itu pun tetap tertunda hingga saat ini. Padahal entah
sudah berapa besar kerugian negara akibat subsidi yang salah sasaran itu. Wallahu a’lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar