BARU-BARU ini Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah
mengabulkan permohonan mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2)
dan Indosat untuk menunda pelaksanaan keputusan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP). Hakim PTUN menilai audit tidak dilakukan sesuai
dengan prosedur dan hanya bersumber pada permintaan penyidik Kejaksaan
Agung tanpa memeriksa dan meminta bahan-bahan dari IM2 ataupun Indosat.
Indosat dan IM2 dalam gugatan mereka ke PTUN menjelaskan BPKP tidak
berwenang mengaudit karena yang berhak untuk menghitung kerugian negara
pada kasus dugaan tindak pidana korupsi adalah Badan Peme riksa Keuangan
(BPK).
Indosat dan IM2 yakin kerja sama mereka dalam hal pemakaian jaringan
seluler Indosat tidak menyalahi regulasi, apalagi diindikasikan adanya
tindak pidana korupsi. Perjanjian Indosat dan IM2 dinilai sudah sesuai
dengan UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan bentuk kerja sama
serupa juga dilakukan ratusan internet service provider (ISP). Itu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa peran masyarakat di
industri telekomunikasi sangat dimungkinkan, termasuk dalam bentuk
pandangan-pandangan.
Dengan demikian, wajar apabila Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII), Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Kamar Dagang
dan Industri (Kadin), dan 13 asosiasi lainnya membuat pernyataan bersama
sebagai wujud keprib hatinan atas kasus Indosat-IM2 h dan dampaknya bagi
sektor telekomunikasi di Indonesia. Jika Indosat-IM2 dinyatakan bersalah,
`kiamat internet' segera muncul karena kerja sama ratusan ISP lainnya juga
dinilai melanggar aturan.
Putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Indosat-IM2 setidaknya memberi
angin segar bagi para pelaku industri telekomunikasi untuk menghindarkan
kejadian `kiamat internet'. Pemerintah memiliki kepentingan untuk
meningkatkan penetrasi teknologi informasi dan komunikasi. Melalui Inpres
No 11 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi
ASEAN, jaringan broadband berkecepatan 512 kbps diharapkan dapat menjangkau
seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah kembali membuat target lanjutan
melalui Perpres No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dengan salah satu
targetnya ialah penguatan konektivitas nasional melalui peningkatan jaringan
komunikasi dan teknologi informasi untuk memfasilitasi seluruh aktivitas
ekonomi.
Di tengah minimnya infrastruktur telekomunikasi, kemunduran telak
jika IndosatIM2 diputuskan bersalah oleh pengadilan tipikor. Padahal, yang
kini dibutuhkan para pelaku industri telekomunikasi ialah kepastian hukum
di tengah kebutuhan ekspansi infrastruktur telekomunikasi. Pihak swasta
selama ini berperan besar dalam pembangunan jaringan telekomunikasi yang
seharusnya menjadi kewajiban pemerintah.
Perlu Kesepahaman
Dalam kurun 2011-2014, pemerintah mengalokasikan Rp102 triliun untuk
pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pelabuhan dalam koridor MP3EI.
Besarnya kebutuhan pembangunan infrastruktur menunjukkan perlunya
pemerintah untuk bekerja sama dengan para pelaku industri. Namun, kerja
sama dengan pihak swasta (public private partnership) memerlukan kepastian
hukum dan kesepahaman tiap lembaga negara dalam melihat bisnis
telekomunikasi.
Namun di sisi lain, pembangunan infrastruktur telekomunikasi saat ini
banyak dibiayai operator sendiri, termasuk melalui kontribusi uni versal
service obligation (USO) sebagai dana titipan operator.
Karena itu, seharusnya seluruh aparat pemerintahan mendukung upaya
para operator telekomunikasi yang telah bersusah-payah membangun infrastruktur
untuk kepentingan pelanggan. Akan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat
jika terjadi kriminalisasi atas kerja sama yang bermanfaat bagi masyarakat
pengguna internet. Terkait dengan gugatan penyidik Kejaksaan Agung terhadap
kerja sama Indosat-IM2, itu mengindikasikan masih tidak utuhnya pemahaman
beberapa aparat hukum dalam melihat pola bisnis di suatu industri.
Dalam bisnis telekomunikasi, sudah lumrah dilakukan kerja sama antara
penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Penyedia jaringan telekomunikasi
(jartel) yang memenangi tender frekuensi wajib menyediakan kapasitas bagi
penyedia jasa telekomunikasi (jastel) melalui kerja sama.
Penyedia jartel, dalam hal ini, ialah Indosat yang memenangi blok frekuensi
2,1 GHz sejak 2006. Adapun IM2 berperan sebagai penyedia jastel. Indosat
telah membayar seluruh kewajiban dalam bentuk biaya hak penggunaan (BHP)
frekuensi kepada negara sejak 2006.
Dengan kata lain, kerja sama Indosat dengan IM2 tidak harus lagi
membuat IM2 membayar Rp1,3 triliun. Pernyataan resmi Menteri Komunikasi dan
Informatika bahwa tidak terjadi pelanggaran dalam kerja sama tersebut
bahkan seharusnya dapat memberikan kepastian bagi jaksa untuk menghentikan
dakwaannya. Jika penyidik berkeras IM2 harus membayar seperti yang
dilakukan Indosat, tidak masuk akal jika IM2 dengan aset Rp900 miliar juga
harus membayar BHP frekuensi yang melampaui jumlah aset mereka sendiri.
Kesalahpahaman itu dapat berujung kepada mahalnya biaya koneksi internet di
Indonesia dan pada akhirnya beban tersebut akan ditanggung konsumen.
Diharapkan, kasus IndosatIM2 dapat memberikan pelajaran kepada
pemerintah untuk tidak hanya menciptakan iklim yang kondusif bagi operator,
tapi juga melindungi kepentingan publik. Melanjutkan kasus itu ke
pengadilan tipikor tidak hanya merugikan penyelenggara telekomunikasi,
tetapi juga merugikan masyarakat pengguna internet. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar