Dua tulisan di harian ini, ”Politisi Busuk dan Pengangguran Politik” (18/1)
serta ”Politisi dan Popularitas” (21/1), mengisyaratkan adanya kegelisahan
terpendam dalam diri anak bangsa.
Di Indonesia, politisi jadi idola karena lebih menjanjikan daripada
jadi petani, pedagang, pegawai negeri, atau tentara. Karena atas nama DPR,
politisi ikut berperan dalam berbagai aspek, termasuk mengurusi hal-hal
yang bersifat teknis, seperti pemilihan ketua dan anggota lembaga atau
komisi negara hingga soal keuangan atau anggaran. Oleh karena itu, sangat
tidak masuk akal apabila para politisi tidak memiliki kualitas dan
kredibilitas.
Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Profesi politisi
cenderung jauh dari kualitas dan kredibilitas. Profesi politisi hanya
digunakan untuk mencari nafkah, bukan lagi menjadi profesi mulia yang pantas
dijaga atau dilindungi. Semakin banyak petinggi negara—menteri, jenderal,
anggota DPR, gubernur, bupati, dan pejabat lain—yang terlibat dalam
berbagai pelanggaran etika (poligami) serta skandal (suap dan korupsi). Ini
mengisyaratkan, demi pola hidup hedonis, kehormatan, reputasi, nama baik,
status, gengsi, martabat, atau harga diri tidak lagi penting.
Logika Partai
Sejauh ini, partai politik selalu menggunakan logika sendiri dalam
merekrut kader. Pola yang sama digunakan dalam pemilihan calon anggota legislatif
hingga petinggi negara atau pemimpin. Artinya, sejak awal parpol telah
mengabaikan tiga elemen esensial kriteria yang harus dipenuhi untuk
menghasilkan pemimpin potensial, yaitu posisi, sikap, dan kemampuan.
Dari berbagai kajian diketahui, Indonesia semakin
tenggelam dalam jebakan masa kegelapan demokrasi, hukum, dan agama.
Demokrasi hanya jadi prosedur karena diawaki oleh politisi semu (pseudo-politician)—jauh dari
kualitas dan kredibilitas. Hukum bertumpu pada asas sindroma criminal
justice industrial complex, berkolaborasi dengan dunia bisnis demi
keuntungan materiil. Agama tak lagi digunakan sebagai cermin kesucian,
kejujuran, serta tuntunan moral dan spiritual, tetapi sudah berkiblat pada
kepentingan duniawi (politik).
Di era informasi global, apa pun bisa terjadi. Teknologi informasi
telah mampu memotong monopoli birokrasi kekuasaan tradisional. Artinya,
perspektif Newtonian, yang percaya bahwa perubahan adalah linier, berdasar
konstitusi, atau direncanakan— seperti pemikiran kelompok status quo atau
kelompok konservatif—justru dengan mudah dapat diporakporandakan.
Sejarah mencatat, transisi kekuasaan tidak normal atau percepatan
revolusi pernah terjadi di di sejumlah negara. Juga di Indonesia. Oleh
karena itu, politisi yang bernaung di bawah panji-panji parpol harus tetap
menjaga kepercayaan rakyat. Sebab, ketika rakyat sudah tak percaya kepada
politisi, parpol tersebut tak akan bisa bertahan.
Korelasinya dengan pola kaderisasi politisi yang akan berujung pada
pemilihan petinggi negara atau pemimpin, sesungguhnya rakyat tidak pernah
mempersoalkan model atau cara parpol merekrut kadernya. Sebab, bagi rakyat,
yang terpenting adalah kualitas dan kredibilitas politisi yang
terdefinisikan lewat empat aspek: kompetensi, karakter, belas kasih, dan
komitmen.
Politisi Oportunis
Ke depan, tantangan bangsa ini akan semakin kompleks. Semua itu hanya
bisa dijawab apabila negara ini memiliki politisi yang andal, berkarakter
kuat, dengan kompetensi teknis dan moral serta integritas yang tinggi.
Berpolitik menuntut suatu transformasi dan perubahan karakter.
Politisi yang berkualitas dan memiliki kredibilitas tak sekadar tahu
bagaimana cara menciptakan kesejahteraan rakyat, bangsa, dan negara. Ia
juga tahu fungsi utama sebagai politisi, yaitu melahirkan generasi politisi
baru yang lebih baik dalam segala hal. Politisi sejati tidak pernah
menciptakan pengikut. Politisi sejati adalah negarawan yang bersedia
membela rakyat dan berani menghadapi risiko dalam tindakan dan
keputusannya.
Politisi sejati selalu menjadi dambaan rakyat. Pertanyaannya, apakah
politisi Indonesia sekarang tergolong politisi sejati atau oportunis
sejati. Namun, ketika melihat realitas kemiskinan, permasalahan sosial, isu
poligami dan korupsi yang semakin dahsyat, tampaknya Indonesia masih berada
di bawah cengkeraman para politisi oportunis sejati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar