Dewasa ini pemerintah dan
DPR sedang membahas secara serentak tiga rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan desentralisasi: (1) RUU Pemilihan Kepala Daerah, (2) RUU
tentang Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan (3)
RUU Desa. Kehadiran tiga regulasi tersebut sangat penting dan mendesak
berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, desentralisasi
sebagai bagian dari struktur kekuasaan di daerah yang telah diberikan
kewenangan besar sejak reformasi belum memberikan manfaat yang signifikan bagi
masyarakat banyak. Kedua, bahkan setelah kepala daerah dipilih secara
langsung (pilkada) tahun 2005, yang menggantikan pemilihan oleh DPRD,
tingkat efektivitas pemerintahan daerah rata-rata masih rendah. Ketiga,
pilkada langsung sangat mahal sehingga mengakibatkan pemborosan anggaran
negara dan merebaknya politik uang. Karena itu, tujuan utama RUU Pilkada
antara lain untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah dan mencegah
korupsi politik.
Beberapa isu yang dianggap
krusial dalam RUU Pilkada dikelompokkan dalam beberapa kluster: (1)
pemilihan gubernur dipilih oleh DPRD provinsi, bupati/wali kota tetap
dipilih secara langsung, (2) pemilihan gubernur dan bupati/wali kota tidak
satu paket, (3) politik dinasti dan pengalaman dalam jabatan publik, (4) penyelesaian
hukum kasus sengketa pilkada, (5) pilkada serentak, dan (6) dana pilkada.
Isu yang dianggap paling
krusial adalah apakah pemilihan gubernur secara langsung atau oleh DPRD
provinsi? Perdebatan yang berkembang adalah cara pemilihan mana yang dianggap
lebih legitimate dari yang lain. Jawabannya tentu tidak sederhana.
Untuk lebih mudahnya, mungkin terlebih dahulu dapat dikemukakan bahwa yang
disebut legitimasi politik dapat dimaknai sebagai keabsahan kekuasaan,
pengaruh, kewenangan, dan sejenisnya yang sumbernya diterima dan diakui
masyarakat.
Dalam perspektif sejarah,
sumber kekuasaan bermacam-macam. Pada zaman prasejarah, kekuatan fisik
dapat menjadi sumber legitimasi, sebagaimana muncul dalam mitos Yunani,
dalam tokoh Hercules, Samson, dan sebagainya. Legitimasi juga dapat
diperoleh dari keturunan, etnisitas, ras, dan sebagainya. Dalam politik
modern, sumber legitimasi tatanan kekuasaan beradab dan demokrasi adalah
kedaulatan rakyat. Artinya, siapa pun yang berkuasa harus mendapat mandat
dari rakyat. Oleh karena itu, demokrasi modern adalah demokrasi perwakilan.
Namun, harus diingat,
meskipun wakil rakyat dipilih oleh rakyat, tidak berarti kedaulatan rakyat
tidak terserap habis (terabsorb) oleh anggota parlemen. Rakyat masih
menyisakan kedaulatan yang dapat dijadikan kekuatan tanding untuk
mengontrol para wakil rakyat. Ekspresi tersebut berada dalam ranah publik
(civil society) dalam bentuk opini publik, berbagai organisasi non-negara,
dan sebagainya.
Efektivitas Kinerja
Dalam konteks Indonesia,
para pendiri negara merumuskan dalam sila keempat: kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Maknanya,
negara Indonesia adalah negara demokrasi perwakilan. Hal itu perlu
ditegaskan agar tidak rancu bahwa pemilihan langsung dianggap tabu karena
bertentangan dengan Pancasila. Oleh sebab itu, dari perspektif
elektoral-prosedural, antara pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat
dan dipilih oleh DPRD sama legitimate-nya. Perbedaan tingkat keabsahan
justru terletak pada efektivitas kinerja pemerintahan daerah. Dengan
demikian, mengobati penyakit rendahnya efektivitas pemerintahan bukan
dengan perspektif pemilihan gubernur langsung atau tidak, melainkan dengan
meningkatkan kualitas kandidat kepala daerah. Hal itu berarti pendidikan
kader partai politik menjadi suatu keniscayaan.
Demikian pula tudingan bahwa
pilkada langsung menjadi sumber korupsi politik juga tidak terlalu tepat.
Sebab, asal penyalahgunaan kekuasaan adalah aturan main dalam kompetisi
politik yang tidak adil. Artinya, parpol yang telanjur menjadi besar
mempunyai akses terhadap kekayaan negara, sebanding dengan kekuasaan yang
dimiliki. Semakin besar kekuasaan, semakin besar akses mereka terhadap kekayaan
negara dan semakin besar pula potensi kemampuan mengekstrak kekayaan negara
untuk kepentingan politik mereka.
Maka, kunci utama mengurangi
secara drastis korupsi politik adalah regulasi yang transparan mengenai
sumber keuangan partai dan dana kampanye. Pertanggungjawaban juga harus
jelas dan rinci, misalnya pengeluaran dana partai harus dapat dibuktikan
dengan penerimaan dan sumber penyumbang juga harus jelas. Tak kalah
penting, sanksi tegas bagi pelanggar harus dicantumkan secara eksplisit
dalam regulasi tersebut.
Akhirnya, pembahasan ketiga
RUU tersebut sebaiknya dilakukan dengan komprehensif. Dengan demikian,
berbagai isu yang bisa diakomodasi di UU lain tak harus dipaksakan masuk
dalam UU yang tidak memungkinkan mencantumkan pasal tersebut. Ke depan yang
harus dilakukan adalah kemampuan negara (pemerintah dan DPR) membuat
politik perundang-undangan yang jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar