Kita hidup di suatu zaman di mana pers, media massa, adalah kekuatan
yang luar biasa! Dengan bantuan teknologi komunikasi yang kian personalized, praktis setiap orang
di sudut dunia yang berbeda-beda kini sama-sama memulai pagi dengan berita,
menjalani hidup dengan berita, dan menutup hari dengan berita. Ada joke yang sangat mengena bahwa orang
zaman sekarang bangun tidur bukan mencari anak, suami, atau istri,
melainkan mencari Blackberry.
Begitulah, media dan informasi melekat pada kehidupan sehari-hari
dalam suatu hubungan intim yang demikian ekstrem, mengubah kehidupan
manusia dan mentransformasi masyarakat dalam cara dan akibat yang
sebelumnya sulit dibayangkan.
Begitu kuatnya kekuasaan pers hingga ada pendapat ahli yang menyebut
ia bisa membentuk kenyataan dan mengonstruksi kebenaran. Mungkin ini yang
dimaksud dalam teori-teori sosial sebagai the politics of truth, siasat atau upaya menentukan dan
memengaruhi kesadaran publik supaya sesuatu dianggap benar atau dianggap
salah.
Kebenaran lalu jadi relatif, terserah bagaimana pers menyajikan, dan
bergantung intensitas dan frame
pemberitaan. Dengan kekuatan ini, perlu dicatat, pers bisa membentuk siapa
pahlawan dan siapa penjahat. Sebuah real power yang sangat besar!
Dalam
bentuknya yang ekstrem dan keliru, kekuasaan yang besar itu kita saksikan
dalam
skandal penyadapan telepon oleh News
of The World, harian yang diterbitkan grup konglomerat News International milik Rupert
Murdoch. Dunia kaget saat terungkap, pers tidak hanya menyadap telepon
keluarga korban pembunuhan, tetapi juga menyuap polisi untuk mendapat
berita. Begitu besarnya kekuatan pers di alam demokrasi sampai bisa
menyadap dan mengatur aparat selayaknya negara.
Di Indonesia lain lagi. Media massa membentuk pahlawan dan tokoh
idolanya sendiri. Celakanya, tidak jarang orang yang terlibat berbagai
pelanggaran hukum dan penindasan demokrasi di masa lalu kini ditampilkan
pers sebagai pahlawan demokrasi atau antikorupsi.
Nalar Publik
Bilamana kekuasaan pers digunakan dengan benar? Demokrasi, dalam arti
paling sederhana, adalah pemerintahan yang tumbuh berdasar kedaulatan
rakyat. Partisipasi dalam demokrasi hanya bisa terselenggara dengan baik
jika publik dapat informasi yang baik. Di sinilah fungsi pers menjadi
penting karena partisipasi demokratis warga hanya bisa efektif oleh adanya
kebebasan pers. Kebebasan pers adalah janji dan fondasi dari suatu open society. Pers dalam demokrasi
mengerjakan tugasnya dengan benar manakala pers mampu memperkuat dan
membuat efektif nalar publik. Nalar publik berfungsi memeriksa semua bentuk
relasi, tujuan, dan kepentingan politik dengan memanfaatkan ruang kebebasan
berupa aksesibilitas publik pada informasi, plus kebebasan berpikir,
berpendapat, dan menyatakannya.
Lebih jauh, nalar publik adalah representasi partisipasi yang
tecermin dalam perbincangan warga yang serius mengenai konstitusi,
kebijakan, dan berbagai praktik penyelenggaraan kekuasaan negara. Namun,
partisipasi dan keterlibatan warga bukanlah sekadar asal ikut, asal tampil,
asal muat, dan sekadar sensasional. Nalar publik harus ditandai kehendak ke
arah kebaikan yang sifatnya universal. Bagi saya, itu adalah kemanusiaan!
Sejauh mana pers mampu berdiri mengatasi berbagai prasangka, dan sebaliknya
dengan profesionalisme yang kuat dan nyata, mendorong dan merawat nalar
publik yang sehat, yang memajukan martabat dan kemanusiaan Indonesia dalam
segala cuaca.
Tentu saya menyadari, dalam konteks pers sudah benar-benar berdiri
sebagai industri, kepentingan yang bersifat privat tak dapat sepenuhnya
dihindari. Apalagi, dalam konteks pers berkombinasi dengan politik dan
bisnis. Dalam keadaan itu, mudah sekali kepentingan partikular menjadi
dominan dan menggeser nalar publik. Dalam kondisi pers berubah menjadi
sepenuhnya industri dan politik, tujuan pers bisa bergeser bukan lagi pada
kebenaran dan kemanusiaan, melainkan pembentukan massa dukungan dan
konsumen. Ini harus kita hindari.
Paradoks yang menjadi tantangan dari setiap media dan pekerja pers di
Indonesia saat ini adalah bagaimana pers tetap memelihara diri sebagai
kekuatan etis yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal
bersamaan dengan posisinya sebagai bagian dari mesin industri dan
komoditas. Mempertimbangkan paradoks ini, saya sempat pesimistis.
Pesimisme saya hapus setelah menemukan rumusan Kode Etik Jurnalistik, yang
Pasal 1 memaklumkan jati diri yang sangat terang dan berani, ”Wartawan Indonesia bersikap independen,
menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”
Semakin kagum ketika membaca bagaimana pasal itu ditafsirkan, ”Independen berarti memberitakan
peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan,
paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.”
Saya berkeyakinan, jurnalis Indonesia yang hebat pasti mampu
mengatasi paradoks industri media masa kini. Frasa ”independen” dan
”nurani” dalam pasal satu dan penafsirannya itu menyadarkan saya, tugas
pers memang bukan melayani kepentingan yang terfragmentasi, bukan abdi
kepentingan kekuasaan, apalagi kepentingan sensasi diri, melainkan melayani
kemanusiaan dan nurani!
Tanggung Jawab
Saya kira tepat, dalam merayakan Hari Pers Indonesia, kita bicarakan
sekali lagi masalah tanggung jawab, bukan tanggung jawab dalam arti masa
lampau tentu saja. Menuntut tanggung jawab semata-mata sebagai tanggung
jawab adalah dominasi. Itu keliru dan sudah sangat jauh ketinggalan zaman.
Yang saya maksudkan, tanggung jawab sebagai etika kebebasan. Tanggung jawab
yang terbit dari kebebasan justru untuk memeliharanya.
Adalah demokrasi yang memberikan kebebasan kepada pers dan semua
warga negara ini. Di dalam kebebasan itu, kita kini tentu bisa bicara tanpa
prasangka mengenai tanggung jawab pers. Tanggung jawab ini mesti
dibicarakan, justru karena adanya kekuatan kebebasan mengalir di dalam nadi
pers Indonesia. Tanggung jawab ini perlu dipenuhi karena kini pers punya
kekuasaan luar biasa. Contoh yang dekat bagi keperluan ini sudah menunggu
di depan mata, yakni Pemilu 2014, yang kendati pasti bising, sangat
penting.
Sering kali, dalam kontestasi dan fragmentasi, orang demikian terbius
dalam kepentingan dirinya, sedikit melupakan dasar di mana kita semua
berada. Dalam sejarah berbagai peristiwa, kita sering juga terperangah dan
dengan getir melihat berbagai cara orang dalam meraih kekuasaan. Dalam
perburuan kepentingan dan kekuasaan, orang dibuat lupa siapa dirinya,
kemanusiaannya.
Namun, dengan independensi profesi dan nurani pers Indonesia, semoga
di atas segala kontestasi itu nanti, orang-orang Indonesia, kita semua,
masih bisa membaca sesuatu yang benar, baik, dan bernilai. Semoga kita
masih akan mendapat informasi yang memperkuat dan menggugah rasa
kemanusiaan kita. Tanggung jawab itulah yang kita semua harapkan dari pers
Indonesia. Bangunlah jiwanya,
bangunlah badannya, hiduplah kebebasan pers di Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar