Pertukaran kepentingan antar-elite cenderung menghasilkan peraturan
perundang-undangan berperspektif sepihak kekuasaan sekaligus berlawanan
dengan konstitusi.
Demi terpenuhinya kepentingan publik serta syarat legitimasi hukum,
proses legislasi sepatutnya melibatkan permusyawaratan rakyat. Di dalamnya,
warga negara turut menghidupi suatu proses diskursif pembentukan opini dan
kehendak, yang akhirnya diserap DPR dengan segenap hikmat kebijaksanaan.
Pertukaran Kepentingan
Selama lima tahun terakhir, berdasarkan tinjauan Mahkamah Konstitusi,
rata-rata 20,44 persen uji materi UU yang dikabulkan. Sepanjang 2012
terdapat 31 persen dari 169 perundang-undangan yang diuji materi di MK,
sebagian materinya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Ketua MK
Mahfud MD mengidentifikasi tiga hal sebagai penyebabnya (Kompas, 3/1).
Pertama, tukar-menukar kepentingan antarpembuat UU. Kedua, kurangnya
profesionalisme pembuat UU. Ketiga, perubahan situasi membutuhkan tafsir
baru atas perundang-undangan.
Di antara ketiga hal tersebut, penyebab kedua lebih mudah dicari
solusinya. Seorang profesional ditentukan oleh tingkat kompetensinya;
mereka yang ahli dalam menjalankan suatu peran kerja secara mumpuni disebut
profesional. Jika para pembuat UU lemah profesionalismenya, mereka harus
melengkapi diri dengan berbagai kemampuan teknis yang dibutuhkan untuk
mendukung proses legislasi.
Tentang penyebab ketiga, relatif dapat diterima bahwa kadang memang
terdapat UU yang tidak lagi sesuai. Apa yang awalnya merupakan aturan
tepat, menimbang semangat UU yang berselisih dengan keadaan mutakhir,
kemudian dipandang tak lagi memadai. UU tersebut perlu diselaraskan dengan
dinamika sosial yang ada.
Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah suatu visi untuk menghasilkan
UU berjangkauan masa depan dan melingkupi kepentingan luas publik. Para
legislator harus peka terhadap perubahan situasi, termasuk mampu menangkap
kehendak publik secara responsif untuk merevisi UU.
Terkait penyebab pertama, yaitu pertukaran kepentingan antar-elite,
merupakan hal yang lebih kompleks. UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD merupakan satu contoh produk pertukaran kepentingan ini.
Butir seperti diskriminasi kewajiban verifikasi parpol secara jelas
menunjukkan akomodasi kepentingan sepihak partai-partai penghuni parlemen.
Kompromi politik sebagai suatu pertukaran kepentingan dapat pula terendus
pada ketentuan ambang batas parlemen dan metode penentuan perolehan kursi.
Ketika suatu aturan disusun berlandaskan kepentingan sepihak
penyusunnya, langkah itu tak lebih daripada upaya untuk memajukan
kekuasaan. Rakyat, yang kepentingannya seharusnya jadi pertimbangan utama,
dijauhkan dari proses permusyawaratan. Padahal, permusyawaratan rakyat
menentukan legitimasi suatu hukum. Lemahnya sensibilitas terhadap
kepentingan lebih luas publik dalam penyusunan UU semacam ini saya sebut
sebagai ”politik minus imajinasi” (Kompas, 28/4/2012).
Proses Diskursif
Sebagai bagian dari bangunan negara hukum, UU dibutuhkan bagi
stabilisasi pengharapan atas perilaku. Jika saya melakukan tindakan A,
misalnya, saya paham bahwa itu punya konsekuensi hukum berupa situasi X. UU
memandu tindakan; memberi terang tentang apa yang diizinkan dan yang tidak
untuk dilakukan. Dengan itu, diharapkan terwujud tatanan, yang dibedakan
dari kekacauan. UU juga memandu pengorganisasian negara. Lembaga dan
prosedur penyelenggaraan negara diatur dalam perundang-undangan demi
memastikan tidak terjadi konflik, apalagi penyalahgunaan, kekuasaan.
Demikian pula pembatasan kekuasaan melalui UU dimaksudkan untuk
menghadirkan tatanan berlandaskan hukum, yang dibedakan dari absolutisme.
Dalam negara demokrasi, tiada kekuasaan politik tanpa landasan hukum.
Jürgen Habermas (1998:134) menegaskan bahwa kekuasaan politik itu tidak
terkait secara eksternal dengan hukum, melainkan diandaikan oleh hukum dan
mewujud dalam bentuk hukum. Kekuasaan politik dapat terbangun hanya melalui
suatu perundang-undangan, dan kemudian melalui legislasi, kekuasaan politik
hadir menetapkan aturan hukum.
Apa yang membuat suatu hukum itu absah sekaligus layak dipatuhi?
Hukum memperoleh makna normatifnya secara utuh, menurut Habermas
(1998:135), bukan melalui bentuk legalnya per se. Bukan pula melalui suatu
kapasitas moral apriori, melainkan melalui prosedur pembentukan hukum yang
menghasilkan legitimasi. Tidaklah mungkin melandaskan keabsahan suatu hukum
begitu saja melalui pengandaian bahwa setiap ketentuan legal memang harus
dipatuhi. Bukan lagi pula masanya kini— terutama dalam suatu masyarakat
politik yang majemuk-modern—untuk mencari pendasaran transendental tunggal
atas suatu hukum negara.
Keabsahan suatu hukum lebih ditentukan pemenuhan prosedur yang
memastikan dipertimbangkannya secara publik berbagai kepentingan yang
relevan. Inilah permusyawaratan rakyat.
Perhatian terhadap prosedur tersebut penting mengingat hukum tak
mungkin ditetapkan dan diterapkan secara semena-mena. Hal ini membedakan
antara tatanan berlandaskan hukum dan kesewenang-wenangan. Yang pertama
memperhatikan prosedur demokratis, yang kedua mengingkarinya; yang pertama
diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan yang kedua bertujuan untuk
memajukan kekuasaan.
Dengan permusyawaratan rakyat, ”satu-satunya hukum yang dianggap sah
hanya hukum yang dapat diterima secara rasional oleh seluruh warga negara
dalam suatu proses diskursif pembentukan opini dan kehendak” (Habermas,
1998:135). Warga negara dipersilakan menunjukkan kehendaknya, kemudian
diserap wakil-wakil mereka. Di parlemen, melalui tematisasi, para wakil
akan memperdebatkan persoalan-persoalan publik.
Peran legislasi yang diemban DPR tidak lantas mengisolasi lembaga
tersebut dari publik berikut kepentingan mereka. Sebaliknya, prinsip
demokrasi perwakilan menuntut terbukanya DPR terhadap berbagai pandangan
publik. Tanpa keterbukaan semacam itu, UU yang dihasilkan DPR cenderung
mewakili kepentingan mereka sendiri ketimbang mencerminkan aspirasi rakyat.
Dalam pemahaman bahwa keabsahan suatu hukum pada pokoknya ditentukan
oleh permusyawaratan rakyat, DPR mesti merentangkan cakrawala pandang.
Pertanyaan tentang apa yang perlu dan tak perlu diatur, harus,
pertama-tama, diuji dalam suatu perdebatan publik. Jika disepakati,
perdebatan dapat beranjak pada bagaimana mengatur persoalan itu dalam suatu
hukum yang berkeadilan. Proses diskursif inilah yang menentukan keabsahan
prosedural suatu hukum. Dan, sesungguhnya, permusyawaratan rakyat adalah
esensi demokrasi. Pada akhirnya, permusyawaratan rakyat akan memastikan
proses legislasi tak jadi gelanggang pemenuhan hasrat sepihak kekuasaan.
Tanpa permusyawaratan rakyat, DPR potensial kehilangan pijakan
keabsahannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar