Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kairo, Mesir, pada 5-6 Februari 2013 sangat
menarik dicermati dalam dua hal. Pertama, kondisi Mesir yang tidak stabil
pascakemenangan referendum yang memberlakukan penerapan konstitusi berbau
syariat Islam di Negeri Piramida. Kedua, kiprah Indonesia dalam KTT
itu.
Indonesia dinilai sebagai objek menarik karena sejarah politik di
negeri ini tak begitu terlihat di mana Islam dan demokrasi menjadi begitu
di pertentangkan. Berbeda di negara lain di mana masyarakat Muslim menjadi
mayoritas, wacana Islam dan demokrasi tampaknya belum terkebumikan dalam
arena politik praktis. Padahal, isu Islam dan demokrasi sejak dekade
1990-an menjadi tren global, terutama di kalangan akademisi.
Ada yang menganggap kompatibel,
ada juga yang menganggap inkompatibel.
Setidaknya, pengalaman Islam dan demokrasi di Indonesia menjadi contoh yang
baik karena bisa menunjukkan kompatibilitas keduanya. Namun, tren
demokratisasi yang ber kembang itu kurang begitu tampak di negara Islam.
Menurut laporan yang berjudul "Freedom
in the World 2000: The Democracy Gap", sejak awal dekade 1970-an
di mana demokratisasi gelombang ketiga dimulai, di dunia Islam umumnya
sangat minim dalam mengapresiasi keterbukaan politik, kurang respek
terhadap persoalan-persoalan HAM, serta kebebasan pers dan transparansinya
yang tersumbat.
Celah demokrasi antara dunia Islam
dan tatanan negara yang tengah dilanda gelombang ketiga demokratisasi itu
terlihat sangat begitu dramatis (Azyumardi
Azra, Indonesia, Islam and Democracy, Singapura: Solstice, 2006). Dari
192 negara-bangsa di dunia saat ini, 121 di antaranya telah melaksanakan
pemilu secara demokratis. Tapi, di negara di mana Muslim menjadi mayoritas,
hanya 11 dari 47 (atau hanya sebesar 23 persen) yang sudah membentuk pemerintahan
secara demokratis.
Fenomena yang menggambarkan titik-titik
terang demokrasi di sebagian kecil negara non-Arab, namun Muslim menjadi
mayoritas seperti Indonesia, memang menunjukkan bahwa hubungan antara Islam
sebagai sebuah ajaran (yang diwahyukan) dan demokrasi sebagai kreasi
manusia masih memiliki dinamika tersendiri. Maksudnya, demokrasi belum
sepenuhnya diterima atau diaktualisasi sebagai suatu aturan main bagi
terlaksananya tatanan negara.
Melihat kasus di Indonesia,
meskipun dinamika demokratisasi di Indonesia tidak akan pernah bisa
dilepaskan dengan fenomena Islam dan masyarakat Muslim, kebijakan politik
luar negeri Indonesia tidak pernah melibatkan Islam sebagai faktor yang
memengaruhinya. Hasjim Djalal dan Sofyan Wanandi (1999) mengungkapkan bahwa
kebijakan politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan
fundamental dalam rangka penguatan kenegaraan Indonesia itu sendiri.
Pertama, faktor pengembangan
konsep pembangunan nasional, secara khusus lagi dalam ranah pembangunan
sosial dan ekonomi. Kebijakan luar negeri Indonesia berorientasikan pada
pengembangan konsep pembangunan itu sendiri yang diaktualisasi, seperti mempromosikan
bahwa Indonesia adalah bangsa yang stabil dan damai, pertumbuhan sosial dan
ekonomi yang signifikan dan kooperatif berhubungan dengan negara-negara
asing.
Kedua, mengangkat isu-isu
domestik tentang persatuan nasional bahwa Indonesia adalah sebuah negara
yang plural-multikultural, terdiri atas beragam etnis, suku, bahasa,
kebudayaan, agama, banyak provinsi, dan kepulauan. Ketiga, mengangkat isu
ke dunia luar dalam mempromosikan penegakan keadilan dan hukum.
Keempat, faktor pengusungan
isu-isu demokratisasi dan HAM bahwa Indonesia tengah berjuang untuk
menegakkan de mokrasi dan HAM sebagai tuntutan mendasar dari zaman
reformasi. Meski faktor Islam tidak diperhitungkan dalam kebijakan politik
luar negeri Indonesia, secara domestik justru Islam menjadi dinamika
tersendiri dalam pentas po- litik dan pada masa transisi demokrasi
Indonesia.
Menurut Robert Hefner dalam Civil Islam: Muslims and Democratization
in Indonesia (2000), demokrasi bisa tumbuh di negara-negara Islam.
Islam di Indonesia yang ditemukan melalui penelitiannya adalah contoh
bagaimana Islam dan demokrasi tidak memiliki posisi yang saling berhadapan
untuk meniadakan satu sama lain. Oleh Cak Nur (Nurcholish
Madjid) kemudian disebut dengan terminologi masyarakat madani. Cak Nur
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan civil
society pernah dialami dunia Islam pada zaman Nabi Muhammad ketika
membangun Kota Madinah sebagai sentra peradaban Islam. Nabi saat itu
membangun sebuah tatanan masyarakat yang egaliter, inklusif, dan
sejahtera.
Untuk itulah, sebenarnya Islam
memiliki nilai teologis dan ratusan eksemplar sejarah dalam menjalankan
sistem pemerintahan yang demokratis. Dengan dua faktor ini, sudah
cukup bekal negara-negara Islam untuk menjalankan demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar