|
REPUBLIKA,
31 Januari 2013
Ada empat hal penting
yang perlu diantisipasi oleh pelaku perikanan awal tahun ini, yaitu musim
paceklik hasil laut, kenaikan harga komoditas ikan, efek pelemahan ekonomi nasional
awal tahun ini yang ditandai pelemahan rupiah dan rencana kenaikan BBM. Cuaca
ekstrem yang akhir-akhir ini melanda laut nusantara telah menyurutkan niat
nelayan kecil untuk melaut.
Efek penurunan hasil tangkapan
merembet. Mulai dari kelangkaan ikan laut di pasar hingga peluang mandeknya
industri perikanan. Kekurangan pasokan bahan baku mulai terasa. Prediksi
sementara, stok ikan cukup untuk melayani kebutuhan hingga akhir Februari.
Sisi lain, permintaan akan ikan olahan jenis sarden saat ini meningkat
menyesuaikan kebutuhan dalam dan luar negeri.
Harga ikan lemuru lokal yang murah (saat ini masih Rp 5.000 per kilogram)
dengan selisih Rp 2.000 dibanding ikan impor. Tentu, pilihan akan beralih ke ikan impor, baik legal maupun ilegal, jika kualitas dan kuantitas pasokan lokal masih terjun bebas.
Pemerintah mengaku,
neraca perdagangan produk perikanan pada 2012 Indonesia masih surplus 76,47
persen. Produk perikanan yang diekspor masih lebih tinggi dibanding yang
diimpor. Nilai ekspor hasil perikanan Indonesia sebesar 3,9 miliar dolar AS
dengan volume 1,27 juta ton. Capaian tersebut naik sebesar 8,3 persen
dibandingkan dengan target ekspor yang ada dalam renstra 2010-2014 sebesar
3,6 miliar dolar AS.
Lebih lanjut, kuatnya
keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebagai upaya stabilisasi
terhadap kondisi keuangan negara yang labil awal tahun ini tentu menjadi
perhatian sendiri di kalangan nelayan dan pelaku usaha perikanan.
Pasalnya,
kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya upaya (cost effort) melaut.
Terkait subsidi BBM,
Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2012 mungkin dapat melindungi nelayan
kecil. Tetapi, hal ini tidak berlaku untuk kapal di atas 30 GT. Kapal dengan
bobot 100 GT mampu menghabiskan BBM hingga 12 ton (setara Rp 54 juta) untuk
sekali melaut.
Untuk mendapat
keuntungan memadai, hasil tangkapan ikan harus lebih dari 10 ton. Sebelum
wacana kenaikan BBM bergulir, hasil tangkapan bisa 11-12 ton. Keuntungan yang
diperoleh belum memadai. Sehingga, dengan kenaikan BBM nelayan harus lebih
mengencangkan ikat pinggang. Salah satunya dengan membatasi jumlah armada, di
sisi lain mengurangi jumlah Anak Buah Kapal (ABK) yang ikut mencari nafkah.
Persaingan di Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) antara nelayan lokal dan nelayan asing terus
berlangsung sengit, walaupun tidak pernah berimbang. Padahal, di area ZEE
justru tersimpan komoditas high value
seperti tuna. Problem tuna sendiri selalu menjadi pembicaraan hangat di
forum-forum diskusi, mengingat jatah tangkapan untuk Indonesia yang terlalu
sedikit.
Sementara itu,
pelemahan ekonomi nasional kuartal pertama tahun ini me- munculkan keinginan
pemerintah untuk semakin menurunkan subsidi kepada rakyat. Istilah subsidi
memang terkesan memanjakan walau ditujukan buat sektor riil, seperti
perikanan-kelautan.
Sedikit sektor ekonomi
yang mampu bertahan di tengah deraan krisis. Sektor pertambangan (seperti
batu bara) sempat kembang kempis, untuk sektor real estat, jasa perusahaan,
angkutan, dan komunikasi hanya tumbuh di bawah 2,5 persen. Indikasi pelemahan
perekonomian nasional telah terdeteksi pada triwulan I 2012 dengan pelambatan
pertumbuhan 0,13 persen dibanding triwulan I 2011 sebesar 6,43 persen. Ketahanan
sektor pertanian, peternakan, kehutanan termasuk kelautan-perikanan terlihat
dari pertumbuhan di atas 20,9 persen. Melihat fakta seperti ini keberadaan
nelayan tradisional maupun kelas industri seharusnya dapat lebih
diberdayakan.
Modernisasi Nelayan
Dukungan terhadap
permodalan nelayan telah dilakukan oleh pemerintah.
KKP dan BI sepakat memberikan agunan bagi pelaku usaha perikanan tangkap melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 7/2/PBI/2005 dan PBI No 9/9/PBI/2007, sehingga kapal laut dapat dijadikan agunan bank. Di sini, kapal laut dengan ukuran di atas 20 meter kubik atau setara dengan 5 GT merupakan ukuran kapal minimal yang bisa diagunkan.
Yang paling mutakhir
adalah program penyiapan 1.000 kapal tangkap hingga 2014. Exit strategy modernisasi kapal nelayan
di bawah 30 GT menjadi di atas 30 GT perlu dipikirkan. Mengingat, kebutuhan
BBM akan meningkat dengan konsekuensi harganya semakin mahal, wilayah
penangkapan bersifat lintaswilayah bahkan negara sehingga memunculkan konflik
pemanfaatan, degra dasi lingkungan, diikuti overfishing dan illegal fishing
yang menekan nilai stok ikan.
Ke depan, pemerintah
perlu mengatur mekanisme subsidi kepada nelayan secara tepat. Pada 2011
terdapat sekitar 2,7 juta jiwa nelayan, armada tradisional berupa perahu
tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan perahu motor kurang dari 5 GT
berjumlah 498.020 unit (89,38 persen).
Pada lain hal, pola nelayan tradisional/subsisten paling rentan terhadap
krisis, karena pola produksi digunakan hanya untuk pemenuhan kebutuhan
sehari-hari, teknologi sederhana, dan beroperasi di wilayah pesisir. Bantuan
tidak harus berupa uang, tetapi dapat berupa pengadaan alat tangkap, modernisasi
teknologi perikanan dan penanganan hasil, sistem informasi peramalan cuaca
bagi kapal tangkap, dan sebagainya.
Diversifi kasi,
peningkatan nilai tambah produk perikanan, melalui industri pengolahan
seyogianya juga perlu pelibatan masyarakat, rumah tangga nelayan pada level
mikro. Hasil olahan perikanan nelayan kecil tidak boleh berhenti pada level
ikan pindang dan ikan asin.
Apa pun itu, kebijakan
kenaikan BBM dapat kontraproduktif dengan tujuan peningkatan kinerja sektor
perikanan serta berlawanan dengan upaya industrialisasi perikanan yang
digawangi oleh KKP. Industri perikanan bakal lesu tanpa dukungan sektor
energi yang memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar