Apa yang menimpa artis Raffi
Ahmad dan kawan-kawannya merupakan sejarah yang tidak perlu berlanjut di
kemudian hari. Masalahnya, mampukah generasi muda membebaskan dari jerat
penyalahgunaan narkoba?
Kenapa produsen atau pebisnis
narkoba itu layak mendapatkan vonis hukuman mati, bukan duapuluh tahun
penjara atau seumur hidup? Karena distributor itu neodehumanis atau sosok
manusia yang sangat keji, yang segala momentum bisa digunakannya sebagai
'pasar liberal' dalam memperdagangkan zat-zat pembunuh secara
berkelanjutan.
Satu lapis generasi bisa
digunakan oleh produsen atau distributor untuk menjadi pelapis generasi
berikutnya. Generasi berikut ini pun dijadikan jembatan untuk membuka dan
memperluas pasar, memasuki lorong-lorong kelas elit hingga kelas akar
rumput (the grass root), dari
kelas borjuis hingga buruh, dari kelas gedongan hingga abangan dan pinggir
jalan.
Produsen atau pebisnis sudah
terlatih bukan sebatas jadi pemasok, pedagang atau pengedar, tetapi juga
membuka pasar seluas-luasnya. Produsen atau pebisnis pun bukan semata
terlatih untuk membunuh. Tetapi, merumuskan strategi apa saja yang bisa
digunakan sebagai senjata untuk mengalahkan dan mengamputasi siapa pun yang
bermaksud menghancurkannya. Produsen atau pebisnis berkemampuan intelektual
memadai untuk membaca para pejuang kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan,
termasuk pejuang HAM.
Kampanye lain bertemakan HAM
paling sering mengedepan adalah berelasi dengan terpidana narkoba, bahwa
sudah tidak zamannya lagi hukuman mati digunakan sebagai pilihan untuk
mengakhiri hak hidup (right for live)
seseorang yang sedang bersalah ini. Ia wajib diberi kesempatan untuk
melanjutkan kehidupannya, supaya bisa kembali menempuh jalan yang lurus,
benar, dan menghormati hak orang lain.
Kalau hak hidupnya diakhiri
atau dikartumatikan di tiang gantungan, di mesiu regu tembak, disengat oleh
kursi listrik, atau lainnya, bagaimana mungkin dirinya punya peluang untuk
membuktikan, bahwa ada saatnya orang itu khilaf dan salah, dan pada saat
lain jadi pembela kebenaran dan pelindungan keberlanjutan hidup orang lain.
Model kampanye tersebut boleh
jadi di kemudian hari akan terus berkembang seiring dengan modus jaringan
yang dikonstruksi oleh produsen dan pebisnis narkoba. Mereka menjadi
pemegang kunci di lapangan, baik regional, nasional maupun internasional.
Antara produsen dengan pebisnis
narkoba terbukti sudah jadi jaringan mafia. Para produsen, misalnya, memang
telah menjadi akar utama maraknya jenis-jenis narkoba di tengah masyarakat,
akan tetapi produsen ini tidak akan bisa terus menerus mampu melanjutkan
produksinya, manakala pebisnis tidak mau dan tidak mampu mengepakkan
sayap-sayap pengedarannya.
Jika sayap-sayap pengedaran
mampu dijaga keberlanjutan dan kemapanannya, maka ini berarti pembantaian
manusia atas manusia akan terus mengisi agenda sejarah kekejaman manusia
(distributor) atas manusia lainnya. Jagat kehidupan yang dijamin oleh
instrumen HAM internasional, agama, maupun hukum positif di lini hak
kesehatan, keselamatan, dan keberlanjutan hidup, berlanjut terkoyak
mengerikan.
Pertama, akselerasi pebisnis
semakin berani memasuki wilayah tertentu. Sebut, misalnya, distribusi
narkoba bukan hanya beredar di tengah masyarakat luas (terbuka), tetapi
juga di lingkaran eksklusif seperti di lingkungan lembaga pemasyarakatan
(LP) dan komunitas selebriti, termasuk rumah.
LP yang semestinya menjadi
lembaga rehabilitas moral atau kawah candradimuka untuk penyadaran
manusia-manusia yang sedang tersesat jalan menuju terbentuknya manusia taat
hukum, penyayang pada sesama, atau tidak mengulangi kejahatan yang
diperbuatnya, justru dijadikan penitipan sementara dan bahkan area
membangun strategi bisnis narkoba yang lebih luas.
Memang, dalam beberapa kasus,
aparat berhasil membongkar jaringan produksi dan pengedaran narkoba, akan
tetapi seperti teori gunung es, masih lebih banyak lagi jaringan yang tidak
terbongkar akibat kelihaian para produsen atau pebisnisnya. Data BNN
menunjukkan bahwa 49,5 ton sabu, 147 juta ekstasi, 242 ton ganja, dan
hampir 2 ton heroin lepas dari jerat petugas sepanjang 2011.
Kedua, tragedi neodehuhamnisme
semakin sering terjadi dan liberal. Produsen atau distributor telah
diberikan amosfir lebih menyenangkan (kondusif dan progresif) untuk
menjalankan neodehumanisme sebagai pilihan logis dari 'hukum dagang' yang
mesti menggunakan rumus untung dan rugi. Akibat pilihan mereka, negara atau
masyarakat Indonesia kehilangan banyak generasi mudanya.
Berdasarkan kondisi tersebut,
tidak salah jika kita memberi gelar Indonesia sebagai negeri darurat
narkoba dan kiamat bagi generasi. Di samping jaringan produksi dan
pengedaran yang kian berani, mereka juga sudah menghabisi (membantai) 15
ribu warga setiap tahunnya, yang sebagian besar berasal dari kalangan
generasi muda (remaja sekolah), terutama dari kalangan anak orang kaya dan
pejabat, yang nota bene komunitas elitis atau keluarga penghasil kandidat
para pemimpin (pejabat).
Terbunuhnya puluhan ribu
generasi akibat penyalahgunaan narkoba menunjukkan, bahwa produsen atau
pebisnis itu tergolong sang penjagal yang tidak selayaknya mendapatkan hak
hidup, seperti diberikan grasi yang membatalkan vonis hukuman mati. Kita
akhirnya mengalami krisis generasi berkualitas secara fisik maupun moral
dan intelektualitasnya akibat mereka menjadi korban keberanian distributor
yang telah memberikannya kesenangan semu dan mematikan.
Mereka dibuat lupa dan
terhanyut dalam buaian kesenangan menikmati zat-zat adiktif sehingga
meminggirkan komitmen edukasi moral, agama, dan yuridis. Sementara keluarga
yang idealnya jadi benteng, justru dibiarkan jadi bagian dari 'neraka' yang
mempercepat daya laju kematian generasi muda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar