KEMERDEKAAN pers mutlak perlu.
Kemerdekaan pers dapat disebut sebagai salah satu tanda bahwa negara
menganut sistem demokrasi yang sehat. Tanpa kemerdekaan, pers tidak dapat
melaksanakan peran pentingnya secara maksimal. Peran-peran itu adalah
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Ada lagi, ''mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
benar, dan akurat; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, penegakan hukum
dan HAM'', serta ini yang tidak kalah penting, ''memperjuangkan kebenaran
dan keadilan''.
Kalau pers tidak dapat memaksimalkan peran konstruktifnya sesungguhnya yang
rugi tidak hanya kalangan pers tapi juga bangsa ini secara keseluruhan.
Termasuk pemerintah, dunia usaha, pekerja, mahasiswa, kalangan profesional,
dan tentu masyarakat. Kemerdekaan pers sekurang-kurangnya ditandai oleh
tidak adanya sensor, beredel, dan larangan terbit/ penyiaran. Juga adanya
kebebasan bagi pers untuk melaksanakan 6 M, yaitu mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Itulah esensi kegiatan jurnalistik.
Kita pernah berada pada masa ada beredel terhadap pers. Pers pernah dalam
kondisi tidak bebas mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi
ataupun gagasan. Banyak peristiwa penting terjadi tetapi tidak boleh
diberitakan. Apalagi kalau menyangkut penguasa atau kekuasaan. Kontrol dan
kritik pers tidak maksimal. Padahal itu adalah bagian sangat penting dari
fungsi pers.
Kalau ada yang nekat, menentang arus, harus siap dicabut SIUPP-nya. Atau
jurnalisnya yang harus menjadi korban kekerasan, termasuk pembunuhan. Kita
tentu masih ingat kasus tewasnya wartawan Bernas, M Syafrudin, yang sampai
sekarang tidak terdengar kabar kelanjutan penanganannya. Pers sebelum era
reformasi, seperti terbelenggu, benar-benar tiarap. Ada yang menyebut
sebagai masa pers tiarap.
Merawat Kebebasan
Kita sekarang memiliki sepenuhnya kemerdekaan/ kebebasan pers. Paling tidak
dari segi perundang-undangan. Sering disebutkan kebebasan pers di negeri
ini termasuk yang terbaik di Asia. Tetapi siapa pun tidak boleh lupa. Bahwa
kemerdekaan/ kebebasan pers sebagaimana ada sekarang ini bukan sesuatu yang
datang secara tiba-tiba. Bukan hadiah cuma-cuma yang jatuh dari langit
melainkan hasil dari perjuangan panjang dan keras semua komponen bangsa,
tidak hanya masyarakat pers.
Karena itu, kemerdekaan pers dapat dikatakan bukan hanya milik masyarakat
pers melainkan juga milik semua anak bangsa. Karena sesungguhnya yang
berjuang demi keterwujudan kemerdekaan pers adalah semua elemen bangsa.
Baik itu kalangan LSM, akademisi, politikus, pegiat HAM, maupun advokat,
dan tentu kalangan pers sendiri. Jadi wajar kalau peruntukan dan
kemanfaatannya juga untuk semua elemen bangsa.
Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) seperti sekarang ini kiranya dapat
dijadikan momentum bagi semua pihak, terutama masyarakat pers, untuk terus
bertekad merawat atau menjaga kemerdekaan/ kebebasan pers itu
sebaik-baiknya. Kemerdekaan pers harus dipertahankan dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kemerdekaan pers tidak boleh disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak
terpuji.
Memeras, atau membunuh karakter seseorang misalnya. Kemerdekaan pers juga
harus dijaga jangan sampai menjadi kebablasan pers. Karena kalau hal
ini terjadi, sesungguhnya pers sendiri yang merusak kemerdekaan pers. Hal
yang tidak boleh terjadi. Masyarakat pers harus dapat menjaga keepercayaan
masyarakat bahwa dirinya memang pantas mendapatkan kemerdekaan pers dan
tepercaya pula untuk memeliharanya.
Tentu ada pihak-pihak lain yang tidak senang dan merasa tak nyaman dengan
iklim kebebasan pers sekarang ini. Mudah diduga, mereka adalah orang-orang
yang suka menyeleweng, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, korup dan
lain-lain. Mereka tidak ingin perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji itu
diketahui oleh publik. Kemerdekaan/kebebasan pers bukannya tanpa
batas. Bebas di sini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Kalau menulis
atau memberitakan sesuatu peristiwa misalnya, tidak boleh seenaknya
sendiri. Harus benar, objektif, berdasarkan fakta. Kalau mengandung
kontroversi berita harus berimbang, tidak boleh menghakimi.
Pendeknya bukan kebebasan mutlak, melainkan kebebasan yang ada
batasnya. Batas itu adalah ketentuan hukum dan undang-undang. Batas itu
adalah etika profesi, atau kode etik jurnalistik bagi kalangan wartawan.
Batas itu adalah hati nurani. Kebebasan yang tanpa batas berisiko menabrak
hak asasi pihak lain.
Tanggung Jawab
Dari teks UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, batas itu dengan jelas dapat
dijumpai pada Pasal 5 yaitu, ''dalam memberitakan peristiwa dan opini pers
nasional wajib menghormati norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, dan
asas praduga tidak bersalah. Pers juga wajib melayani hak jawab dan
hak koreksi''. Kewajiban-kewajiban itu kalau dilanggar dapat dikenai sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 18, yaitu pidana denda paling banyak Rp 500
juta.
Dari kode etik jurnalistik
batas kebebasan itu dapat dijumpai pada ketentuan sebagai berikut, ''wartawan Indonesia tidak membuat
berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul''. Ketentuan lain menyatakan, ''wartawan Indonesia tidak
menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan identitas
anak yang menjadi pelaku kejahatan''.
Sungguh mulia ketentuan itu. Jurnalis Indonesia tidak ada alasan untuk
tidak mematuhi karena sesungguhnya kode etik jurnalistik itu yang membuat
adalah dirinya sendiri. Kode etik jurnalistik (KEJ), bagi wartawan dapat disebut
sebagai ''harga mati'' yang tidak bisa tidak harus ditaati.
Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat, ada ketentuan lain yang perlu
diingat dari KEJ. Bahwa, ''wartawan
Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar,
dan/atau pemirsa''.
Memang karya jurnalistik adalah karya manusia sehingga bisa saja keliru,
khilaf, atau salah. Berbagai faktor bisa menjadi penyebab terjadinya
kekeliruan antara lain ketergesa-gesaan. Yang penting kalaupun ada
kekliruan dalam pemberitaan bukan karena kesengajaan.
Kesediaan atau keikhlasan untuk meralat atau memperbaiki berita yang salah,
mencabut berita, atau meminta maaf dari diri sendiri sesegera mungkin
adalah bagian dari sikap jujur dan dewasa. Ini adalah bagian dari bentuk
tanggung jawab pers. Pers tidak perlu merasa rendah kalau harus melakukan
ralat atau perbaikan terhadap berita yang salah. Justru ini sikap sportif,
karena itu terpuji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar