Pada suatu pagi saat matahari belum lagi menampakkan
cahayanya, saya menyempatkan berjalan ke pasar tradisional yang tidak jauh
dari rumah.
Bapak penjual sayur langganan saya menyapa hangat. Dia berceloteh tentang
acara TV yang ditontonnya semalam. Menarik bahwa ia kini rela untuk tidak
tidur demi menonton sejumlah acara berita dan debat di TV terkait politik.
Maklum jam kerja dia sebagai pedagang sayur dimulai pada tengah malam. Dari
TV, ia memuaskan rasa ingin tahu tentang politisi dan partai, mengapa harga
daging sapi mahal, dan lain-lain.
Saya tersenyum. Kebiasaan bapak ini untuk menonton berita dan talkshow politik juga membuatnya
ingin berdiskusi politik dengan saya karena ia pernah memergoki saya muncul
di TV sebagai pengamat politik ekonomi. Kejadian tadi relevan untuk
diangkat dalam analisis hari ini karena kegelisahan yang dialami pedagang
tadi pasti dapat dirasakan bapak dan ibu juga. Maklum, makin ramai saja
berita di media massa seputar kolusi, korupsi, dan gonjang-ganjing politik
dalam tubuh partai politik.Bagi sebagian orang,ada rasa kecewa.
Seperti pedagang sayur tadi, ia menceritakan kekesalannya karena partai
yang ia pilih dalam pemilu lalu ternyata (dalam bahasa dia) telah
berkhianat terhadap rakyat. Ia menyayangkan perilaku politisi yang semata
ingin menumpuk harta dan melanggar hukum, padahal para pemilihnya masih
banyak yang hidup miskin atau serba paspasan. Ada buku menarik, karya Larry
Diamond (2008) berjudul The Spirit of
Democracy. Buku itu menceritakan jatuh bangunnya berbagai negara di
seluruh penjuru dunia ketika menjalankan demokrasi.
Tidak ada proses demokrasi yang mudah atau sekali jadi.Berikut cerita dari
buku tersebut. India misalnya, negara Asia yang termasuk negara demokrasi
tertua di benua Asia ini, pernah mengalami keterpurukan dalam praktik
demokrasinya. Sebagian dari Anda masih ingat tokoh perempuan India bernama
Indira Gandhi, putri dari tokoh revolusi Jawaharlal Nehru yang sangat akrab
dengan Presiden Soekarno.
Pada Juni 1975, Perdana Menteri Indira Gandhi merespons keputusan Mahkamah
Tinggi India yang membatalkan pemilihannya sebagai anggota parlemen dan
menskors dia sebagai politisi selama enam tahun. Alih-alih menerima dengan
lapang dada, Indira memutuskan untuk menghentikan demokrasi konstitusional
yang dibangun ayahnya selama 30 tahun. Ia menuding telah terjadi konspirasi
untuk mengganggu jalannya pembangunan ekonomi dan tatanan kestabilan
politik. Indira mengumandangkan kondisi darurat dan memberlakukan dekrit.
Penduduk dibuat merasa tercekam dan ketakutan. Rangkaian penangkapan,
sensor, dan penangkapan terjadi setelah itu. Indira termasuk dihormati
dalam sejarah India, tetapi ia akhirnya dibunuh pada 31 Oktober 1984 karena
ihwal yang dianggap sangat menyinggung sekelompok masyarakat India.
Filipina, negara tetangga dekat, juga sempat tak kalah terpuruk. Presiden
Gloria Macapagal-Arroyo, mantan presiden yang kini mendekam di tahanan,
adalah anak presiden pertama Filipina. Ia seorang ekonom, teknokrat, punya
suami pengusaha.
Filipina seakan kejatuhan durian utuh ketika ia terpilih sebagai presiden.
Namun,rupanya ia kesal sekali ketika sejumlah ide-ide reformasinya diblok
terus oleh parlemen. Pada Mei 2004 ia berupaya untuk bisa maju lagi sebagai
presiden dan dengan sangat bersemangat menghadapi lawan politik yang
dianggap underdog, Fernando Poe Jr. Gloria menangguk dukungan lewat
membagi-bagikan uang kepada pemilih dengan segala cara yang muncul di
benaknya, termasuk membagi-bagikan asuransi kesehatan gratis bagi rakyat
miskin.
Sejumlah kekerasan politik terdeteksi juga selama masa itu, ada setidaknya
150 nyawa wartawan yang melayang selama liputan kampanye pemilu.
Penghitungan suara dihantui tudingan kecurangan penghitungan suara.
Meskipun akhirnya Gloria terpilih lagi, dan ironisnya Fernando Poe Jr
meninggal karena stroke beberapa
bulan kemudian, kekuasaan Gloria terguncang karena beredarnya rekaman suara
Gloria yang mengindikasikan bahwa beliau menyalahgunakan kekuasaannya demi
mengintervensi penghitungan suara. Walhasil, kepercayaan publik terhadap
Gloria rontok.
Tak satu pun teriakan Gloria sesudah itu yang digubris publik sampai
akhirnya ia dituntut karena sejumlah tuduhan korupsi dan penyalahgunaan
kekuasaan. Roh Moo Hyun di Korea Selatan mengalami ironisme serupa.
Prestasinya sampai naik sebagai politisi sungguh luar biasa. Apalagi ia
datang dari keluarga miskin. Banyak hal dilakukannya secara autodidak. Ia
dikenal sebagai aktivis pembela HAM. Ia menang sebagai presiden dengan
margin suara tipis, namun popularitasnya sangat tinggi. Buntutnya, ia
disingkirkan melalui impeachment (pemakzulan) oleh parlemen.
Hal ini belum pernah terjadi di Korea Selatan. Roh berusaha untuk berbeda
dari presiden sebelumnya, Kim Dae Jung, dengan berani keluar dari
pakem-pakem lembaga demokrasi. Misalnya, ia berencana memindahkan ibu kota
dari Seoul,membatasi sirkulasi media massa yang dinilai beraliran
konservatif, dan melakukan referendum. Selama memimpin, Roh dikenal selalu
berseberangan dengan Partai Konservatif Grand
National Party.
Kemelut tersebut berujung dengan terbentuknya faksi-faksi politik di tubuh
partainya yang mencoba mengganjal pemakzulan Roh. Toh, manuver-manuver tadi
gagal. Roh dituding menerima suap dan menjadi bulan-bulanan media massa.
Pascapemakzulan, Roh mengakhiri hidupnya secara tragis dengan bunuh diri
melompat dari tebing pada 23 Mei 2009. Kisah ketiga tokoh tadi menarik
karena semuanya samasama sempat dianggap sebagai ”sang harapan” bagi
negerinya.
Tapi, mereka terpeleset hancur karena tak sanggup menahan diri untuk tidak
melawan arus demokrasi di negaranya. Diamond mengingatkan bahwa sekali
suatu negara berdemokrasi, ada spirit (roh) yang telanjur hidup dalam hati
dan benak masyarakat. Roh itu antara lain adalah roh penerimaan terhadap
keberagaman dalam masyarakat (pluralisme). Amartya Sen mengutip bahwa agama
Hindu di India punya toleransi yang luar biasa karena antargolongan di
agama tersebut bisa bebas saling beradu argumen.
Selain itu, Diamond juga mengutip Sydney Hook, seorang filsuf politik, yang
mengatakan bahwa demokrasi hidup karena ”rasa
tidak percaya yang cerdas pada pemimpin, rasa skeptis yang keras kepala,
tetapi tidak buta….terhadap apa pun (atau siapa pun) yang berupaya sekadar
memperluas kekuasaan.” Dari sini saya makin yakin demokrasi di
Indonesia sesungguhnya sedang tumbuh lebih dewasa. Memang dari segi
distribusi ekonomi, Indonesia belum punya pencapaian luar biasa untuk
memperluas kesempatan pendidikan atau menutup kesenjangan ekonomi antar
kelompok masyarakat.
Ihwal ini yang selalu dikritisi oleh sejumlah pengamat sebagai hambatan
bagi Indonesia berdemokrasi. Tetapi, kita jangan lupa bahwa pendewasaan
demokrasi tidak selalu lewat jalur formal. Sang penjual sayur yang saya
ceritakan tadi mendewasakan dirinya dengan merelakan diri tidak tidur demi
mencari informasi seputar politik. Ia yang tidak pernah bicara politik kini
tahu apa itu sistem pemilu dan apa indikasi korupsi.Ini semua bekal yang
baik bagi pendewasaan demokrasi.
Selain itu, jangan lupa, walaupun politik aliran hidup di negeri ini, roh
bangsa ini adalah roh kerukunan antaragama dan antaretnis. Negara ini menghormati
hari besar semua agama dan kepercayaan. Tidak ada negara lain yang semeriah
itu memberi hari libur pada warganya. Para politisi di Indonesia semoga
mawas diri dengan berkaca dari pengalaman jatuhbangun demokrasi di negara
lain. Siapa pun dia, dari partai mana pun, atau di jabatan apa pun,
hendaknya ikut menjadi dewasa dengan proses demokrasi di negeri ini.
Skeptisnya masyarakat, ketidakpercayaan pada pemimpin, tudingan ini dan
itu,bahkan oposisi yang kejam, adalah bumbu penguat demokrasi. Dari situ
para pemilih memilah siapa yang berhak diberi kepercayaan dalam lima tahun
mendatang sebagai pemimpin negeri ini. Kita semua sedang membangun mutu
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar