Di luar dugaan Anas Urbaningrum selaku ketua umum
Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku ketua Majelis Tinggi
Partai Demokrat akhirnya mengambil alih kepemimpinan partai segitiga biru
itu.
Apa implikasi
politiknya dan sejauh mana Demokrat mampu memulihkan citra publiknya?
Langkah SBY mengambil alih otoritas partai tanpa memberhentikan Anas secara
formal relatif menjawab kegelisahan sebagian kader terkait masa depan
partai pemenang Pemilu 2009 ini. Melalui langkah “penyelamatan” ini, para
pendukung setia SBY berharap citra Demokrat pulih kembali dan diharapkan
mendorong peningkatan elektabilitas yang terjun bebas di bawah 10%.
Kendati
demikian, sulit dipungkiri, delapan langkah yang diambil SBY selaku ketua
Majelis Tinggi adalah “kudeta” terselubung yang mengatasnamakan
“penyelamatan partai”karena secara de
facto menyingkirkan sekaligus mempreteli kekuasaan Anas. Indikasi
paling jelas yang menunjukkan delapan butir langkah SBY sebagai kudeta
terselubung adalah, pertama, tidak satu pun pasal dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat yang memberi wewenang kepada ketua
Majelis Tinggi untuk mengambil alih kepemimpinan partai.
Pasal 13 ayat
(5) Anggaran Dasar Demokrat mengatur enam otoritas Majelis Tinggi,namun
tidak satu ayat pun yang memungkinkan ketua Majelis Tinggi mengambil alih
kekuasaan eksekutif partai dari ketua umum. Kedua, tidak satu pun pasal
dalam AD/ART Demokrat yang memungkinkan ketua Majelis Tinggi mengundang
para ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tanpa persetujuan ketuaumum Dewan
Pimpinan Pusat yang secara formal masih dijabat Anas Urbaningrum. Pasal 6
Anggaran Rumah Tangga Demokrat mengatur, “Dewan Pimpinan Pusat mewakili partai dalam bertindak ke dalam dan
ke luar”.
Disiapkan Matang
Apabila kita
membaca dengan cermat delapan langkah penyelamatan Demokrat yang
dikeluarkan oleh Majelis Tinggi, tampak jelas bahwa butir-butir tersebut
telah dipersiapkan dengan matang oleh para tokoh senior Demokrat di dalam
struktur Dewan Pembina yang juga dipimpin SBY.Para kader senior dalam Dewan
Pembina yang sebagian di antaranya menteri dari Demokrat dan para pendiri
partai bisa jadi telah mematangkan langkah penyelamatan partai sejak
sebelum Presiden SBY melawat ke sejumlah negara Afrika dan Timur Tengah
sekaligus beribadah umrah di Mekkah.
Manuver politik
Jero Wacik, anggota Dewan Kehormatan Demokrat,struktur partai yang juga
dipimpin SBY, yang meminta SBY turun tangan melakukan langkah penyelamatan
partai, tampaknya bagian dari skenario kudeta terselubung tersebut. Begitu
pula rangkaian layanan pesan pendek (SMS) permohonan doa SBY di depan
Kakbah ke jajaran partai. Itu dalam rangka sinyal berkelanjutan skenario
pelengseran Anas yang namanya tidak turut disebut SBY dalam layanan pesan
pendek dari Tanah Suci.
Selain itu, SBY
yang sudah lama “gerah” dengan Anas tampaknya juga memperoleh sinyal
keterlibatan mantan ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam itu dalam kasus
Hambalang dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena itu, tidak mengherankan
jika dalam pertemuan dengan DPD Demokrat se-Indonesia di Puri Cikeas,
Bogor, Minggu malam (10/2), SBY merasa perlu meminta DPD-DPD Demokrat
menandatangani pakta integritas antara lain berisi ikrar kesediaan mundur
jika berstatus sebagai tersangka.
Implikasi Politik
Apabila
akhirnya Anas ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, barangkali tidak
begitu mudah bagi SBY selaku tokoh sentral Demokrat memulihkan kembali
citra publik dan moralitas internal partai yang dibentuk pada 2001 ini.Seperti
pernah dikemukakan Anas ketika “melawan” SBY, citra publik Demokrat tidak
sematamata terkait skandal korupsi yang melibatkan beberapa kader partai,
tetapi juga terkait erat dengan kinerja pemerintahan SBY.
Sejumlah hasil
survei mengonfirmasi merosotnya popularitas pemerintahan SBY. Kendati
penurunannya tidak sedrastis elektabilitas Demokrat, tingkat kepuasan
publik terhadap kinerja pemerintahan SBY-Boediono merosot dari waktu ke
waktu. Faktor lain yang menyulitkan Demokrat untuk bangkit kembali mungkin
terletak pada cara dan strategi penyelamatan itu sendiri.
Pengambilalihan
kekuasaan partai secara de facto atas Anas, sementara secara de jure Anas
dibiarkan tetap menjabat ketua umum Demokrat, bagaimanapun melahirkan
implikasi baik secara internal maupun eksternal. Secara internal kudeta
terselubung ala SBY melahirkan dualisme kepemimpinan partai. Dampak
dualisme kepemimpinan ini antara lain adalah kemungkinan munculnya
persoalan dalam pengajuan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif
Demokrat untuk Pemilu 2014. Pasal 57 ayat (a) UU Pemilu Legislatif Nomor 8
Tahun 2012 mengatur, pengajuan daftar caleg untuk DPR ke KPU ditandatangani
ketua umum dan sekretaris jenderal partai yang bersangkutan.
Pertanyaannya,
apakah SBY atau Anas yang akan menandatangani DCS Partai Demokrat pada awal
April 2014? Secara eksternal cara penyelamatan partai model SBY juga
merupakan preseden buruk bagi upaya demokratisasi internal partai di
Indonesia. Terlepas dari fakta bahwa SBY adalah figur sentral Demokrat, kudeta
terselubung yang dilakukan terhadap Anas merupakan contoh buruk yang tidak
produktif bagi institusionalisasi partai khususnya dan demokrasi pada
umumnya.
Di atas
segalanya, strategi penyelamatan partai ala SBY melembagakan kembali
kecenderungan personalisasi partai yang akhirnya berujung pada
personalisasi kekuasaan di dalam partai. Realitas ini jelas jauh lebih
berbahaya bagi partai dan demokrasi kita ketimbang sekadar soal
elektabilitas partai yang bersifat temporer belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar