Lagi-lagi, kemelut hukum yang memprihatinkan bagi
kalangan bisnis dan investor kembali mencuat. Kali ini tentang dakwaan
pidana korupsi oleh Kejagung terhadap Indosat-IM2 dengan tuduhan
penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 ghz/3 G oleh IM2 yang merupakan anak
perusahaan Indosat di mana beberapa mantan direkturnya menjadi terdakwa.
Dalam kasus Indosat-IM2, hingga kini Kejagung sebagai
penyidik tetap bersikeras menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi
(tipikor) oleh IM2 yang berakibat merugikan negara triliunan rupiah. Di
lain pihak, banyak pakar hukum dan akademisi memberikan
tanggapan bahwa
kasus Indosat-IM2 bukan merupakan perbuatan pidana korupsi.
Kalaupun
terbukti Indosat-IM2 melakukan perbuatan melawan hukum atau pidana maka
yang diterapkan adalah pasal 22 UU No.36 Tahun 1999, yaitu penyalahgunaan
spektrum frekuensi, bukan diberlakukan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 dan 3,
tentang tindak pidana korupsi. Karena, kasus penyalahgunaan frekuensi
adalah Lex spesialis sehingga yang berlaku adalah ketentuan UU
Telekomunikasi dan tidak seharusnya setiap perbuatan yang merugikan negara
digeneralisir sebagai perbuatan pidana korupsi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)
sebagai regulator di sektor telekomunikasi pun telah mengeluarkan surat
kepada pihak Kejagung yang isinya menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran
apa pun yang dilakukan oleh IM2. Hal ini diperkuat oleh pernyataan mantan
Menteri BUMN Sofyan Djalil, yang disampaikan dalam acara diskusi Bedah
Kasus IM2 dari Sisi Kelangsungan Industri Telekomunikasi (12 Desember 2012)
yang digelar Telkomedia Forum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) bahwa Kejaksaan tidak bisa membedakan antara jaringan dan
frekuensi.
Oleh karena itu, permasalahan ini harus segera
diluruskan agar tidak terjadi salah tafsir secara terus-menerus. Kejaksaan
menilai ada tindak pidana, karena IM2 dianggap menggunakan frekuensi
Indosat tanpa izin pemerintah. Sementara pihak IM2 menegaskan tidak mungkin
menggunakan frekuensi bersama karena tidak mungkin ada dua pengguna
menggunakan satu frekuensi. IM2 juga bukan penyelenggara jaringan, karena
tidak memiliki infrastruktur seperti BTS, dan lain-lain.
Selama ini IM2 hanya menyediakan layanan, seperti dongle
internet, yang jaringannya milik Indosat Namun, yang menjadi dasar
penuntutan Kejagung adalah sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan bahwa IM2 telah melakukan
penyalahgunaan frekuensi sehingga merugikan negara Rp 1,3 triliun. Padahal,
berdasarkan PP No.7/2009 dan UU No.15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), yang berhak melakukan penghitungan kerugian negara pada kasus dugaan
tindak pidana korupsi adalah BPK.
Oleh karenanya, kuasa hukum Indosat-IM2 mengajukan
gugatan TUN terhadap Kejagung sehingga PTUN memenangkan gugatannya.
Pertimbangan di atas dijadikan dasar oleh Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) untuk menunda pelaksanaan proses sidang di Pengadilan Tipikor.
Banyak kalangan menyambut positif putusan PTUN tersebut. Pasalnya, jika
kasus ini dipidanakan, maka akan banyak industri berbasis internet, seperti
Telkomsel dan XL akan terancam dipidana juga, apabila hasil audit BPKP
digunakan sebagai alat bukti di persidangan Tipikor.
Dakwaan atau tuntutan hukum yang dianggap tidak adil dan
tidak menjamin kepastian hukum tersebut bukan pertama kalinya hadir di
tengah semangat pemberantasan korupsi yang terkesan kebablasan. Dengan
demikian, kasus ini pun telah memunculkan opini di kalangan para pelaku
bisnis khususnya investor asing yang menilai masih lemahnya kepastian hukum
bagi pelaku usaha di Indonesia.
Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan
menghambat dan menggangu masuknya investasi di negara ini karena pelaku
bisnis akan takut untuk menanamkan modalnya karena tidak adanya kepastian
hukum di Indonesia akibat para penegak hukum kurang kompeten dan kurang
memahami dengan baik tentang permasalahan yang terkait dengan bisnis dan
investasi yang sangat spesifik tersebut. Investor mana yang ingin
mengeluarkan uangnya di negara yang tidak dapat menjamin keamanan investor
atas regulasi yang berlaku saat berinvestasi? Hal ini tentu akan berdampak
menurunkan daya saing Indonesia di masa mendatang. Kalangan pengusaha di
Indonesia juga pernah mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap hal ini.
Kadin dan Apindo terus berkeluh kesah atas nasib pengusaha yang kerap
terjerat masalah hukum akibat tidak adanya kepastian hukum dalam iklim
bisnis di Indonesia. Pengusaha asing pun pernah menyerukan hal serupa.
Ibarat penyakit bisul yang tak kunjung sembuh di badan, mungkin tidak
mematikan, namun sangat mengganggu dan membuat tubuh sangat tidak nyaman
dalam beraktivitas.Ketidakpastian hukum juga acapkali membuat pengusaha
menjadi sasaran empuk oknum birokrat dan penegak hukum yang tidak
bertanggung jawab. Sehingga, menyebabkan biaya ekonomi tinggi dalam
kegiatan bisnis di Indonesia dan dampaknya juga akan dibebankan kepada
masyarakat berupa harga barang yang relatif mahal.
Hal ini tentunya bukanlah gambaran yang ingin dicitrakan
oleh pemerintah dalam mencapai kemajuan dan pertumbuhan ekonomi di masa
depan. Apalagi, dengan adanya cetak biru rencana pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang berambisi dapat memperkuat ekonomi Indonesia tahun 2025.
Paling tidak, keputusan hukum PTUN boleh jadi akan memberikan angin segar
bagi para pelaku bisnis bahwa masih ada peluang bagi pengusaha untuk
mendapatkan rasa aman dalam berinvestasi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar