"Jangan sekadar melarang,
Polri harus mendasarkan pada asas kepentingan bersama, yaitu keamanan"
GRUP Band Slank menggugat penerbitan izin terkait dengan
penyelenggaraan keramaian atau pesta oleh Polri digugat oleh Slank.
Personel grup band itu mengajukan permohonan uji materi Pasal 15 Ayat 2 a
UU Nomor 2 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi karena substansi pasal itu
dianggap merugikan. Beberapa kali konser mereka dibatalkan karena terganjal
oleh ketentuan dalam pasal tersebut (SM, 07/02/13).
Selain itu, grup band tersebut mengajukan gugatan terhadap Pasal 510
Ayat 1 KUHP yang mengatur ancaman pidana bagi pihak yang mengadakan pesta/
keramaian tanpa izin dari polisi. Sebelum ada gugatan, Polri berdalih
memang tak bersedia menerbitkan izin itu karena menganggap pertunjukan
Slank bisa mengganggu keamanan.
Tapi setelah ada gugatan, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan
jajarannya tak membeda-bedakan masyarakat dalam pemberian izin keramaian
atau pesta. (running text
MetroTV, 07/02/13). "Polisi tak
pernah melarang Slank. Artinya kalau tertib, bagus, dan masyarakat
terhibur, itu malah bagus," kata Kapolri di sela-sela rapat dengar
pendapat dengan Komisi III DPR di Senayan Jakarta, Rabu (detik.com,
13/02/13).
Benarkah persoalan itu sudah selesai hingga jajaran Polri paling
bawah? Status facebook Slank pada Minggu (17/02/13) menuliskan, ”Sekarang ini Slank lagi susah dapat
izin manggung, dengan alasan ketertiban dan keamanan (karena kelakuan
orang-orang yang rusuh di lapangan). Mohon bantuan teman-teman, kasih
masukan kepada Slankers yang lain. Mari kita buktikan konser Slank adalah
konser musik paling damai. piss (maksusnya peace-Red)”
Secara tersirat, penulis berpendapat pernyataan Kapolri lebih
mendasarkan pada pertimbangan keamanan atas penyelenggaraan kegiatan yang
berpeluang dihadiri banyak orang. Kita sulit membayangkan bila semua
kegiatan, semisal konser musik yang bakal menyedot belasan ribu penonton,
diberi kebebasan tanpa perlu izin. Dampak yang mungkin timbul adalah Polri
yang bertanggung jawab dalam keamanan dan ketertiban akan kewalahan.
Personel Polri tak mampu mengatasi ekses dari banyak orang di satu tempat,
di tengah ingar-bingar suara musik dan teriakan yang bisa membangkitkan
emosi atau histeria.
Di sinilah salah satu pertimbangan perlunya perizinan. Dengan izin
itu pula, polisi bisa menjalin koordinasi dengan event organizer (EO), guna menggali keterangan bagaimana
kegiatan itu akan digelar, sistem pengamanan ataupun mempersiapkan langkah
antisipasi bila terjadi keadaan kontijensi. Semisal perlu mendatangkan
mobil pemadam kebakaran, tim medis dan ambulans, pengecekan konstruksi
panggung, dan hal lain terkait teknis penyelenggaraan.
Korelatif Kriminogen
Upaya ini bisa terlaksana dengan baik bila panitia penyelenggara
jauh-jauh hari mengajukan proposal kegiatan tersebut. Namun, pada sisi
lain, polisi juga akan mempertimbangkan perkiraan-perkiraan bila kegiatan
itu tetap dilaksanakan. Artinya, jangan sampai ketika kegiatan itu digelar,
muncul penolakan dari pihak yang berseberangan dengan kegiatan tadi.
Meskipun kita tak memungkiri kadang penolakan itu cenderung subjektif.
Beberapa kasus pembatalan pentas musik, baik artis nasional maupun
internasional, lebih banyak dilatarbelakangi faktor korelatif kriminogen,
sebelum menjadi ancaman faktual yang diprediksi intelijen. Faktor korelatif
kriminogen ini menjadi hal krusial dalam pengambilan keputusan penerbitan
izin. Polisi tak boleh terjebak dalam mindset pemihakan pada pihak
tertentu. Contohnya, karena gencar ada demo penolakan atas rencana sebuah
kegiatan, lantas hal itu menjadi pertimbangan utama untuk tidak menerbitkan
izin.
Pada sisi lain, ancaman faktual atau kemungkinan buruk yang bisa
terjadi dapat diantisipasi melalui beberapa upaya. Pertama; pendekatan
kepada semua pihak yang terlibat atau pihak yang dimungkinkan menolak
kegiatan tersebut.
Kedua; bagi pihak yang menolak atau berseberangan dengan kegiatan
yang akan digelar, harus memberi alasan yang bisa diterima publik. Artinya,
penolakan atas penyelenggaraan kegiatan itu bukan karena kepentingan
kelompok itu melainkan mewakili kepentingan yang lebih besar, yaitu
masyarakat.
Di sinilah peran dari konsekuensi regulasi perizinan dijalankan.
Jangan sekadar melarang atau memperbolehkan hanya dengan alasan subjektif,
namun Polri harus mendasarkan pada asas kepentingan bersama, yaitu kondisi
keamanan. Meskipun pada titik tertentu, faktor subjektif membuka celah
intervensi penguasa agar polisi tak menerbitkan izin, semisal izin untuk
kelompok atau perorangan yang mempunyai massa besar, kritis terhadap rezim
penguasa, dan kepentingan lain.
Ini yang seharusnya dihindari oleh polisi karena ia seharusnya berada
pada posisi netral di antara banyak kepentingan di masyarakat, supaya tak
ada kelompok yang merasa dirugikan hingga memunculkan gugatan regulasi izin
keramaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar