Di
sana gelap di sini terang. Ketika Eropa dilanda krisis, pengusaha Aksa
Mahmud bisa memborong pesawat-pesawat kecil yang dipakai untuk bisnis
logistiknya menembus kota-kota terpencil di Papua.
Susi Air juga maju pesat, dari 22 pesawat carter kini sudah 45. Di Hilman
Restaurant yang asri di kantor pusat Susi Air di Pangandaran, suatu malam
saya menikmati makan malam bersama pilot-pilot muda Susi Air. Saya
mengabsen mereka satu per satu. Dua orang berkebangsaan Spanyol dan
masing-masing satu dari Prancis, Belanda, Finlandia, Italia, dan Selandia
Baru. Muda, gagah, disiplin, dan mulai mengerti bahasa Indonesia. Mengapa
mereka mau bekerja di Susi Air?
Harap maklum, dari 700 pegawai Susi, 200 adalah berkebangsaan asing. Jangan
salah, gaji mereka tidak besar-besar amat dibandingkan dengan gaji
mahasiswa saya yang baru lulus tentunya. Ada dua hal, yang pertama mereka
perlu jam terbang dan pelatihan yang bagus (Susi Air memiliki fasilitas
pelatihan yang baik) dan kedua, yang lebih penting, negeri mereka sedang
dilanda krisis yang membuat mereka benar-benar menjadi generasi VUCA : Volatility, Uncertainty, Complexity,dan
Ambiguity.
Lantas kalau Anda bertanya mengapa Susi Air tidak pakai pilot lokal saja, jawabannya
adalah di sini terjadi short supply.
Pasokan pilot jauh di bawah kebutuhan industri jasa aviasi nasional yang
melonjak tinggi belakangan ini. Lantas apakah generasi muda Indonesia yang
sedang menikmati aneka gadget,
gaya hidup, berangan-angan jadi wirausaha hebat, dan menikmati kemajuan
ekonomi akan terbebas dari gejolak VUCA?
Pasca-2015
Benar investasi besar-besaran sedang banjir mendatangi Indonesia saat ini
menyongsong pasar bebas ASEAN bersama mitra-mitra dagang besar lainnya pada
2015. Indonesia telah dilirik sebagai ladang baru bagi investor global.
Kalau Anda terbang rendah naik Susi Air dari Halim Perdanakusumah, Anda
bisa melihat secara kasatmata. Geliat roda ekonomi tengah bergerak di
kantong-kantong industrial estate mulai dari Bekasi hingga Purwakarta.
Data-data di BKPM juga menunjukkan kemajuan serupa di Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan provinsi-provinsi lain yang sudah siap. Persaingan antara para
pemberi kerja dan investor akan menjadi kenyataan di tahun ini. Sementara
tahun 2015 Indonesia akan memiliki presiden baru yang harus bertempur
habis-habisan menegakkan disiplin, membuang tradisi ”asal bapak senang”,
menata kembali subsidi (yang kini banyak dihambur-hamburkan kepada pihak
yang tidak berhak), meremajakan birokrasi, dan memperbaiki mutu pendidikan.
Kemudian memperkuat industri (dan menekan impor), menjalankan komitmen
moratorium ekspor tenaga kerja ke luar negeri (untuk sektor-sektor
informal) terutama di kantong- kantong TKI, mengharmonisasi hubungan
pusat-daerah, menghapus tumpang tindih yang begitu kuat antara satu
kementerian dengan kementerian lain (juga intra-kementerian), menerapkan UU
Aparatur Sipil Negara yang baru, menjalankan UU Pengolahan Sampah (yang
harus sudah dijalankan sejak tahun ini), memperbaiki kualitas penegakan
hukum, meningkatkan produksi pangan,mempercepat pembangunan infrastruktur,
mengeksekusi mati penjahat-penjahat narkotika, dan tentu saja memberantas
korupsi.
Banyak juga ya PR-nya? Itu sebabnya Indonesia tidak lepas dari VUCA
sehingga akan ada banyak kejutan yang harus siap diantisipasi sesaat
setelah presiden baru terpilih.Sampai kini Anda belum tahu siapa calon
terkuat kepala negara, apalagi kualitas menteri-menterinya. Tapi semakin
mereka menunda masalah semakin besar Volatility
(dynamic change) dan Uncertainties yang harus dihadapi
dunia usaha dan birokrasi.
Apalagi bila perekonomian Eropa membaik. Pilot-pilot asing akan kembali
pulang,padahal dari kebutuhan 1.200–- 1.500 pilot baru setiap tahun,
Indonesia hanya baru mampu menyediakan 100–150 orang. Belum lagi dana-dana
internasional yang begitu cepat berpindah. Jadi jauhkanlah diri Anda dari
pikiran kalau ekonomi membaik,semua pasti akan lebih baik. Sejarah
mengajarkan kepada kita, ledakan-ledakan besar justru banyak terjadi di
tanjakan yang berat dan di sana akan ada banyak kendaraan yang terkapar,
mogok, bahkan harus ditarik ke belakang.
FLIP
Liz Guthridge,pakar VUCA, memperkenalkan metode FLIP untuk mengantarkan
generasi-generasi baru menghadapi dunia VUCA. Dia mengatakan: ”If you stand still, you’ll fall behind.
Movement alone, however, doesn’t guarantee success.” Jadi diam saja
tidak menyelesaikan masalah. Anda perlu mitra-mitra yang tepat dan bisa
menjadi komplemen yang tangguh. FLIP adalah akronim dari: Focus, Listen, Involve, dan Personalize.
Di abad VUCA ini, menurutnya, CEO-CEO dan pemimpin yang berhasil adalah
mereka yang mampu memfokuskan pikiran dan tindakannya pada sasaran yang
berdaya hasil tinggi (Focus),
mendengarkan (Listen) siapa yang
harus didengar (yang penting-penting dan berdaya hasil tinggi), membangun
keterlibatan yang luas dengan menghapus tradisi feodalisme atau kebiasaan
bekerja pada silo masing-masing (Involvement),
dan menjalin percakapan penuh arti dengan stakeholder secara personal, bahkan massal (Personalize).
Mungkin Anda mengatakan, ”Saya sudah
FLIP kok,” tetapi saya harus menyampaikan bahwa FLIP yang sudah Anda
jalankan mungkin tidak tepat. Telah banyak suara bising yang semuanya minta
didengar di sini. Televisi saja sering mengangkat isu-isu yang tidak
penting, tetapi penuh drama sehingga seakan-akan sudah menjadi masalah
besar. Bayangkan, stasiun televisi berita (swasta, nasional) yang begitu
besar saja menurunkan berita pagi (pukul 06.00) dari Kota Medan tentang
kebakaran sebuah bengkel kecil.
Kalau kemampuan reportase dan mengangkat berita para awak media saja masih
seperti ini, bisa dibayangkan betapa kusutnya persepsi kita tentang dunia
yang kita hadapi. Demi kecil kita jadikan pegangan bahwa itu kemauan
rakyat, tuntutan orang luka batin kita anggap sebagai hal yang harus
dimenangkan. Saya juga memiliki banyak pengalaman pribadi dalam menerima
umpan balik masyarakat dari tulisan-tulisan yang saya angkat.
Sebuah organisasi guru yang sangat vokal misalnya mati-matian menolak
gagasan-gagasan saya tentang perubahan pendidikan. Anehnya saya menduga
pandangan mereka benar karena mereka adalah kumpulan guru-guru. Mereka
jugalah yang memberi umpan kepada lembaga hukum untuk menghapuskan
ketentuan bahwa negeri ini diperbolehkan merintis sekolah berbahasa
Inggris. Namun setelah saya dengarkan dan pelajari ternyata mereka sebagian
bukanlah guru.
Mereka hanya mewakili suara orang-orang iseng yang ingin eksis, ingin
didengar, ingin terlihat pandai, tetapi mempunyai goresan-goresan tajam
luka batin yang tak jelas dari mana sumbernya. Mereka telah menjadi alat
kaum losers yang takut kehilangan proyek-proyek buku atau
pelatihan-pelatihan yang biasanya bisa didapat karena buruknya sistem
pendidikan nasional. Tapi demi impresi yang besar,orang-orang seperti itu
dibiarkan menjadi member aktif dalam beberapa organisasi guru.
Bayangkan apa jadinya bila pandangan orang-orang ”sakit” diterima sebagai
masukan penting oleh lembaga hukum? Kalau para pengambil keputusan sudah
genit ingin jadi presiden, bukan masa depan lagi yang akan dibangun,
melainkan popularitas yang dapat dibaca dari ”keras-tidaknya” auman
kemarahan pada social media dan social TV. Jadi berhati-hatilah dalam
berselancar di atas papan selancar FLIP.
Pilih mana yang harus difokuskan, bebaskan pemimpin dari kegenitan populis,
pilih siapa yang harus didengar (dan perhatikan bahasa mereka), bangun
keterlibatan yang sehat, serta jalin hubungan personal (customize). Bersiaplah memperbarui
kepemimpinan. Itulah FLIP untuk mengendalikan Volatilitas,Ketidakpastian,
Kompleksitas, dan Keragu-raguan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar