Hukuman badan (penjara) dikenal sejak abad ke-15 sampai saat ini. Selama
rentang itu tidak ada perubahan filosofi yang melatarbelakangi hukuman
badan (penjara) kecuali hanya untuk membuat tobat pelaku kejahatan dan
harapan agar orang lain tidak berbuat kejahatan.
Sejalan dengan perkembangan umat manusia, terutama setelah abad humanisme
dan abad reformasi peradaban masyarakat sejak pertengahan abad ke-19,
pandangan bahwa kejahatan itu diwariskan bukan pengaruh lingkungan telah
berubah menjadi kejahatan karena pengaruh faktor lingkungan seperti
kemiskinan dan pengangguran. Lazimnya pelaku kejahatan berasal dari
golongan ekonomi lemah kecuali yang terlibat dalam organisasi kejahatan.
Sejak berabad lampau negara selalu diharapkan dapat membuat tobat pelaku
kejahatan, tetapi tidak pernah terpikirkan manfaat sosial dan ekonomi yang
diperoleh negara dan masyarakat dari kehidupan pelaku kejahatan selama
menjalani hukuman badan (penjara).
Yang menjadi perhatian hanya untuk menguatkan pandangan bahwa penjahat
bukan merupakan bagian dari masyarakat sehingga perlu diasingkan dari
pergaulan kehidupan masyarakat. Pandangan klasik di atas menempatkan pelaku
kejahatanserta- merta sebagai “sampah masyarakat”.Namun, jika kita pikirkan
jernih dan objektif pertanyaan mengenai sejauh manakah menempatkan orang-orang
di dalam penjara agar memberikan manfaat bagi masyarakat luas dan bagi
mereka sendiri, tentu akan diperoleh jawaban yang membingungkan.
Karena pandangan klasik telah telanjur dikuasai adagium ”penjahat adalah musuh masyarakat bukan
bagian dari masyarakat”. Manfaat satu-satunya menempatkan orang di
dalam penjara selama waktu yang cukup lama yang pasti pelaku kejahatan
mengalami deteriorasi fisik dan mental dan bahkan mendekati “kematian
perdata” seumur hidupnya; lebih buruk lagi berujung pada kematian.
Pertanyaan berikut adalah apakah negara dapat mengambil manfaat
sebesar-besarnya dari kondisi mereka yang menjalani hukuman badan (penjara)
dalam waktu yang cukup lama itu?
Pasti jawabannya tidak ada manfaat sama sekali, bahkan kenyataannya negara
menanggung beban ekonomi yang tinggi (high-cost
economy) karena kewajiban memelihara dan melindungi sekuat-kuatnya
kehidupan mereka selama menjalani hukuman badan (penjara). Fakta terburuk
kondisi penjara dan rumah tahanan di Indonesia, antara lain “tidur sambil berdiri” dan menu
makanan yang tidak memenuhi standar kesehatan yang diwajibkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, cenderung berpotensi membuat negara dituntut karena
pelanggaran HAM.
Semakin lama terpenjara mendiami penjara semakin tinggi biaya ekonomi yang
harus dibayar oleh pajak yang dibayarkan rakyatnya.Anggaran negara
Kementrian Hukum dan HAM sejak dulu sampai saat ini yang tertinggi berada
pada unit teknis yang mengurus penjara dan rumah tahanan daripada unit
imigrasi atau BPHN.
Pendekatan ekonomi terhadap hukum pidana berpandangan, “From an economic standpoint, the use of fines should be
encouraged. Not only does imprisonment generate no revenue for the state,
as fines do, but the social cost of imprisonment exceed those of collecting
fines from solvent defendants.” (Posner 1992) Arah politik pemidanaan
di Indonesia sejak Hindia Belanda sampai saat ini masih dikuasai oleh
pendekatan retributif (pembalasan).
Sekalipun perkembangan terkini dalam undang-undang pemberantasan korupsi
dan undang-undang perpajakan dimungkinkan pembayaran denda pidana yang
maksimal atau perampasan aset hasil tindak pidana tersebut, praktisi
penegak hukum masih tampak ragu-ragu mengutamakan pendekatan ekonomi
terhadap hukum pidana. Namun jika dipertimbangkan secara jernih dan kondisi
objektif terpuruknya situasi ekonomi dan sosial rakyat Indonesia,
sepatutnya digunakan pendekatan Posner dalam memberdayakan pendekatan
ekonomi dalam pembentukan dan penegakan hukum pidana daripada bergantung
pada “mimpi” efek jera yang didambakan masyarakat selama ini.
Gagasan “pemiskinan koruptor”
yang kini berkembang di kalangan masyarakat harus selanjutnya ditanyakan
mengenai sejauh mana kepentingan negara diuntungkan di balik gagasan
tersebut; dikhawatirkan gagasan tersebut hanya sebatas terobsesi hanya
melihat pelaku korupsi menderita secara sosial ekonomi per se tanpa
mempertimbangkan keuntungan bagi negara dan masyarakat luas. Pemiskinan
koruptor seharusnya memiliki dua aspek, yaitu aspek penjeraan di bidang
sosial dan ekonomi secara total terhadap pelaku dan keluarganya dan di sisi
lain aspek penyelamatan kerugian keuangan negara dan perlindungan korban
secara maksimal.
Kedua aspek ini telah terakomodasi dalam draf Naskah RUU Perampasan Aset
Tindak Pidana (RUU PATP) yang telah rampung di tangan pemerintah. RUU
tersebut memperkenalkan model perampasan aset tindak pidana tanpa pidana (non-criminal based asset forfeiture)
yang berbanding terbalik dengan perampasan aset tindak pidana dengan
penuntutan pidana (criminal based
asset forfeiture) yang selama ini terjadi dalam praktik penegakan
undang-undang pidana.
Filosofi model perampasan aset dalam RUU PATP dilandaskan pada prinsip
maksimalisasi, efisiensi, dan proporsionalitas. Ketiga prinsip tersebut
merupakan pendekatan ekonomi dalam politik penghukuman yang berdampak
positif dan secara signifikan sangat menguntungkan negara dan protektif
terhadap korban dan warga negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar