Ada yang menarik dan mengena dalam tulisan Tajuk harian SINDO, Senin
(18/2). Salah satu bagian tulisan di Tajuk tersebut menyoroti tajam sikap
SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Sangat keliru ketika
seorang pemimpin berpidato berdasar asumsi bahwa masyarakat tidak tahu apa-apa.
Bukankah
merendahkan kecerdasan masyarakat itu sama dengan merendahkan akal sehat?
Benar dan tidak isi pidato SBY itu akan ditentukan oleh waktu. Sejarah akan
mencatat siapa yang konsisten dan siapa yang tidak. Demikian penggalan
tulisan di Tajuk tersebut.
Di bagian
lain,Tajuk harian SINDO juga mengkritisi pidato SBY yang memosisikan
seolah-olah pengamat, wartawan, masyarakat, serta media massa salah duga
dengan berbagai manuvernya. Benarkah soliditas di tubuh Demokrat terwujud
lewat seremoni rapimnas tersebut? Atau, jangan-jangan rapimnas hanya bagian
dari panggung depan konsolidasi semu para elite partai berkuasa ini.
Strategi Kompromi
Rapimnas Partai
Demokrat, Minggu (17/2) memang tak bisa kita lepaskan dari konteks situasi
dinamis yang berkembang. Ini mata rantai proses penyelamatan, pembenahan,
pembersihan, dan konsolidasi partai yang dipimpin langsung oleh SBY selaku
ketua Majelis Tinggi. Tentu, hak yang melekat pada SBY dengan segala macam
posisinya di Demokrat untuk melakukan proses konsolidasi partai.
Hanya, terlalu
sederhana jika dikatakan usainya rapimnas berarti juga usainya rivalitas
dan sirkulasi elite antaraktor di internal Demokrat. Apa yang dilakukan SBY
di rapimnas sebenarnya bisa kita pahami dalam tiga konteks.
Pertama, ini
strategi ZOPA (zone of possible
agreement) dalam negosiasi kehormatan antara SBY dan Anas Urbaningrum.
Dalam komunikasi politik, sesungguhnya pembacaan alur menjadi penting dalam
memosisikan narasi retoris SBY. Kita ingat, gaduhnya berita seputar
Demokrat ini dimulai dari hasil rilis elektabilitas Demokrat yang terjun
bebas hingga angka 8,3%.
Kemudian muncul
drama pengondisian “kekitaan” antar elite lewat SMS SBY yang ditunjukkan
kepada beberapa tokoh Demokrat. Bola panas bergulir saat SBY secara
demonstratif mengeluarkan delapan poin solusi. Pidato SBY saat itu, fokus
pada bahasa kuasa untuk pengendalian dan penegasan otoritas.
SBY eksplisit
menyatakan bahwa Ketua Majelis Tinggi Partai berwenang dan bertanggung
jawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Dalam konteks
yang sama, SBY meminta Anas fokus pada masalah hukum. Jika tujuannya hanya
untuk menyelamatkan elektabilitas Demokrat, SBY tentu tak perlu tergopoh-gopoh
turun gunung untuk memimpin langsung misi penyelamatan karena publik juga
tahu betapa sibuknya SBY sebagai presiden di injury time kekuasaannya.
Reaksi cepat
mengumpulkan 33 DPD se-Indonesia pun tak bisa kita lepaskan dari strategi
pemetaan kekuatan struktur partai dari pusat hingga daerah. Rekonsensus
formal secara langsung melalui penandatanganan pakta integritas menjadi
alat kendali dalam pengondisian otoritas sekaligus memuluskan rentang
kendali agar pengurus Demokrat berada dalam arus utama yang sama yakni
langgam SBY.
Tetapi, fakta
politiknya marginalisasi Anas juga tak mudah karena status hukumnya yang
tak kunjung jelas sehingga sulit mendorong rapimnas ke kongres luar biasa
(KLB). Belum ada tautan legal formal pelanggaran AD/ART partai inilah yang menyebabkan
SBY dan Anas akhirnya saling mengakomodasi.
Kedua, SBY
tentu juga melihat pergerakan opini publik di eksternal partai yang kian
hari kian resisten terhadap langkahnya terjun langsung dalam misi
penyelamatan partai. Opini keras dari publik ini terutama karena
kekhawatiran SBY tak bisa fokus mengurusi bangsa dan negara meski hal ini
juga sudah dibantah oleh SBY. Hal lain yang menjadi sorotan publik adalah
cara pragmatis pengambilan kuasa dari Anas yang dikhawatirkan menjadi
preseden buruk institusionalisasi demokrasi di tubuh partai.
Ketiga, SBY
tentu juga berhitung cermat dinamika ke depan. Jika dia mengambil cara
“perang terbuka” dengan menginisiasi sirkulasi elite yang frontal terutama
dalam pemosisian Anas, bukan mustahil justru akan memberi efek bumerang
bagi otoritas serta kehormatan dirinya sebagai figur utama di Demokrat.
Panggung Depan
Tak dimungkiri
bahwa panggung politik dalam praktiknya memiliki banyak kesamaan dengan
panggung hiburan. Sama-sama memiliki unsur dramaturgi yang menuntut orang
memainkan peran-peran tertentu. Erving Goffman (1922- 1982) seorang
sosiolog interaksionis dalam bukunya, The
Presentation of Self in Everyday Life, menyatakan, perilaku dalam
pertunjukan kehidupan kita sehari-hari menampilkan diri kita dengan cara
yang sama dengan aktor saat menampilkan karakter orang lain pada sebuah
pertunjukan drama.
SBY harus kita
pahami sebagai aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan
tujuan “pertunjukan dramanya sendiri”. Menurut konsep dramaturgis, SBY
tentu akan mengembangkan sejumlah perilaku yang mendukung perannya.
Setting, kostum, serta pesan verbal dan nonverbal selama rapimnas bertujuan
untuk meninggalkan kesan yang baik di publik bahwa tak ada apa-apa di tubuh
Demokrat.
Goffman
menyebut tindakan ini dengan istilah impression management. Dalam hal
memainkan peran, panggung politik sama persis dengan panggung
hiburan.Sama-sama menuntut penampilan prima terutama saat sang aktor berada
di panggung depan (front stage).
Di situlah publik diajak masuk ke dalam pemahaman dan alur cerita yang
dikehendaki. Rangkaian tindakan tak bebas dari alur drama yang telah
diskenariokan.
Dengan
demikian, tindakan bukanlah sesuatu yang natural, melainkan telah
dikonstruksi dalam realitas seolah-olah. Hal ini berbeda dengan situasi
panggung belakang (back stage)
yang biasanya bebas dan menjadi representasi tindakan nyata apa adanya.
Rapimnas jelas-jelas merupakan panggung depan para elite partai Demokrat
sehingga apa yang tersaji di panggung depan belum tentu menjadi
representasi kebenaran hakikinya.
Terlalu dangkal
jika mengklaim soliditas internal hanya dari rapimnas yang seremonial dan
formalistik. Dengan demikian, waktulah yang akan menguji konsistensi
Demokrat, sekaligus mengonfirmasi benarkah mereka solid atau hanya bermain
peran di panggung depan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar