Apa
yang terjadi di tubuh Demokrat bisa jadi mengkonfirmasi teori elite klasik
ala Vilfredo Pareto (1848-1923), bahwa governing elite atau elite yang
memerintah dapat berkuasa karena menggabungkan sumber kekuasaan dengan
kelicikan sebagai sebuah cara kerja politik.
Sekuen
teatrikal politik Partai Demokrat setelah "monolog" kasus
Nazaruddin kini telah memasuki episode yang demikian baru dan mengejutkan
sejak pertemuan Majelis Tinggi Partai pada tempo hari. Lepas dari detail
strategi penyelamatan partai, termasuk soal integritas ke DPD malam lalu,
poin paling penting dari episode ini adalah pengambilalihan otoritas
eksekutif yang ada dalam struktur DPP di bawah Ketua Umum Anas Urbaningrum
melalui rejuvinasi kewenangan Majelis Tinggi, sebagaimana dalam pidato
Ketua Majelis Tinggi Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Februari lalu. Dalam
struktur organisasi partai, Majelis Tinggi, yang hanya berwenang pada
penunjukan orang di level pusat dan provinsi (AD/ART Partai Demokrat Pasal
13 ayat 5), kini bertransformasi sebagai badan eksekutor dengan kontrol
veto hampir pada semua keputusan partai.
Satu
hasil survei dengan angka elektabilitas satu digit (8,3 persen) kini
menjadi early warning system bagi
partai sekalipun, secara teoretis, perilaku memilih publik begitu
fluktuatif. Apalagi hasil survei sangat mungkin berbeda antarlembaga
tergantung metode sampling dan instrumentasi teknisnya di lapangan (bentuk
pertanyaan, cara bertanya, dan format kuesioner). Bagi para
Sengkuni-merujuk pada diskursus yang dilempar Ketua Umum Anas Urbaningrum
(AU)untuk menyebut para pembisik dalam persekongkolan faksi lawannya-survei
adalah legitimator absah setelah sidang opini yang diputar di media gagal
untuk menelanjangi otoritas dan legitimasi AU sebagai ketua umum partai.
Kini,
dalam posisi seperti ini, AU, yang seolah tak melawan, mampu menciptakan
persepsi publik sebagai korban political harassment oleh struktur kekuasaan
oligarkis para Sengkuni, dan SBY sebagai Duryodhana. Sekalipun dalam
persepsi elite Demokrat SBY adalah seorang savior atau juru selamat, kini,
dalam persepsi publik, SBY justru masuk peran antagonistik karena partai
menjadi demikian penting daripada publik keseluruhan. Dengan political
salvation (penyelamatan politis) terhadap partai secara langsung itu,
disengaja atau tidak SBY mengubah dirinya sebagai pemimpin komunitas
politik partai daripada komunitas politik bangsa. Akhirnya, periode ini
mereplikasi babak pertempuran antagonistik dalam lembaga kepartaian.
Namun,
pada saat yang sama, AU sebagai orang tertinggi dalam day-to-day politics
struktur eksekutif partai tetap mendasarkan diri pada hukum positif partai
yang berlaku-sebelum pernyataan tersangka tertera dalam surat keterangan
KPK. Seolah tanpa urat malu mendapat "panggilan" bertubi-tubi
dalam persidangan para eks pembantunya, seperti Nazaruddin dan Angelina
Sondakh, ketua umum dianggap sebagai posisi yang tak secara langsung
berurusan dengan proyek-proyek korup pengepul dana partai dan dapur
pribadi. Di sisi lain, jika kesaksian Nazaruddin benar soal invisible hand
yang dimainkan AU dalam menjarah uang negara, khususnya untuk merebut kursi
ketua umum partai pada 2010, AU dan gerbong politik yang didanainya tak ubahnya
sebentuk Kurawa.
Di
dalam glossary pewayangan Jawa, Kurawa adalah gerombolan buto yang bergerak
melawan Pandawa di bawah kendali Sengkuni sebagai penasihat Raja
Duryodhana. Namun, dalam dramaturgi on air Partai Demokrat, kita
menyaksikan Anas memimpin gerombolan Kurawa melawan arogansi Duryodhana
yang telah dititahkan (baca: dipersepsikan) oleh para Sengkuni sebagai
pembantu dekat dan pembisiknya sebagai savior
atau juru selamat bagi partai. Dalam politik, setiap perilaku, termasuk
diam dan tunduk, adalah bagian dari usaha perebutan kekuasaan karena elite behavior tak lepas dari power seeking oriented.
Pada
saat yang sama, SBY adalah makhluk politik layaknya gagasan filsuf politik
kontemporer Hannah Arendt (1906-1975) bahwa vita activa atau tindakan
manusia adalah soal kapasitasnya untuk memperebutkan pengaruh dan
menggunakannya sebagai agenda penguasaan sumber daya, seperti jabatan,
materi, gagasan, dan martabat. Singkatnya, publik justru disuguhi oleh
serial perang antagonistik antara Kurawa dan Duryodhana dalam mawacarita
sengkarut faksi dalam partai pemerintah.
Terkait
dengan hal ini, hampir semua sarjana politik sepakat bahwa partai bukanlah
sebuah entitas tunggal. Paling tidak, partai adalah sebentuk organ politik
dengan beberapa kepentingan yang saling berbenturan di dalamnya. Bahkan,
dalam banyak studi, politik intraparty,
seperti yang terjadi di Demokrat, jarang dipertontonkan dengan lugas ke
publik.
Dengan
nalar kerja kekuasaan yang otoritatif sebagaimana substansi pidato SBY
sebagai primus inter pares Demokrat, memang mudah membersihkan partai dari
aktivitas korup kader. Namun, sebagai partai dengan spektrum kepentingan
kelompok yang luas, akan sulit bagi Partai Demokrat melakukan rekonsiliasi
konflik dengan menguburkan narasi demokrasi yang ada di dalam partai.
Selain soal elektabilitas partai yang prospektif karena vote feeding atau kontribusi
elektoral oleh kekuatan figur SBY sebagai presiden, pengorganisasi partai
yang cenderung demokratis sejauh ini adalah alasan Demokrat menjadi semacam
melting pot party. Yaitu, partai yang dilihat sebagai tanah kebebasan bagi
siapa pun untuk mengaktualisasi ide dan kepentingan politiknya sehingga
mampu menarik kalangan aktivis pergerakan dan militer, pengusaha dan aktvis
buruh, serta agamawan dan kelompok liberal.
Tapi
memang, dalam pertarungan antagonistik, komunikasi elite tidak terjadi di
dalam ruang-ruang lobi dan bilik-bilik negosiasi empat mata. Sebab,
pluralitas kepentingan di dalam politik intraparty seperti yang sedang
terjadi di Demokrat adalah sebuah conditio per quam atau kondisi inheren
bagi partai sebagai sebuah organisasi kekuasaan-spektrum kepentingan yang
luas di tubuh Demokrat sebagai partai gigantis yang menyerap banyak
kepentingan sejak didirikan pada 2003-komunikasi elite justru terjadi
melalui ruang-ruang publik dalam bahasa-bahasa semiotik dan kadang
perseteruan yang sangat eksplisit. Begitu pun, sebagai partai penguasa,
bukan sebuah kebutuhan, apalagi keharusan, bagi Demokrat untuk terus
melakukan repetisi publikasi aib politik melalui konferensi pers setelah
perundingan dan negosiasi kepentingan. Sebab, dalam pidato SBY yang berisi
solusi dan poin-poin strategi political
salvation atau penyelamatan politis bagi Demokrat, pesan yang tersurat
menyimpan makna bahwa benar telah terjadi pertarungan.
Apa yang terjadi di tubuh Demokrat bisa jadi mengkonfirmasi teori
elite klasik ala Vilfredo Pareto (1848-1923) bahwa governing elite atau elite yang memerintah dapat berkuasa
karena menggabungkan sumber kekuasaan dengan kelicikan sebagai sebuah cara
kerja politik. Akhirnya, ketika sengkarut partai pemerintah menjelma
sebagai pertarungan antagonistik, publik bukan lagi sebuah ruled mass atau entitas yang hanya
diperintah, melainkan lebih sekadar entitas pasif yang hanya dilihat secara
krusial dalam tanggal pemungutan suara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar