MAHKAMAH Agung, sebagaimana diberitakan Jawa Pos (5 Februari), membuat terobosan
hukum. Yakni, menetapkan hak-hak anak di luar nikah (nikah siri, termasuk
nikah muth'ah) berhak
mendapatkan nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak
biologisnya melalui wasiat wajibah.
Ketentuan
tersebut dimuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7/2012 hasil
pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama. Itu merupakan konsekuensi yuridis
atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam uji materiil
atas pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kepala Biro
Hukum dan Humas MA Ridlwan Mansyur menjelaskan, berdasar Mazhab Hanafi,
anak hasil zina berhak mendapatkan nafkah dari ayah biologis dan keluarga
ayah biologisnya. Ketika ayah biologis dan keluarga biologisnya meninggal,
anak hasil zina juga berhak mendapatkan pembagian wasiat wajibah yang besarnya ditentukan
pengadilan agama. Pernyataan tersebut melahirkan pengertian, terjadi
sengketa anak hasil zina dengan ayah biologis dan keluarganya, gugatan
tersebut menjadi kewenangan pengadilan agama.
Pendapat
tersebut perlu dikaji ulang dari sisi hukum materiilnya maupun hukum formal
agar menjadi jelas dan terang tanpa menodai kehormatan ajaran lembaga agama
yang dianggap sakral oleh pemeluknya. Dalam negara Pancasila, agama
merupakan bagian integral dari sistem yang mengatur ketatanegaraan dan
tidak dapat melepaskan agama dari negara.
UU Nomor 1/1974
tentang Perkawinan adalah undang-undang nasional yang mengikat seluruh
warga bangsa Indonesia yang pluralistis agar terjadi ketertiban. Hukum
perkawinan adalah hukum yang unik, spesifik tapi universal, karena semua
agama mempunyai aturan sendiri, baik secara samar-samar maupun
terang-terangan.
Harus diakui,
praktik sehari-hari menunjukkan adanya pluralisme hukum karena adanya
golongan masyarakat yang berpegang pada hukum agama atau secara utuh, hukum
nasional, maupun hukum adat. Itu bisa menimbulkan friksi. Sebagai negara
demokratis, ketika ada warga bangsa (masyarakat) yang merasa terganggu hak
konstitusionalnya atas keberlakuan suatu undang-undang, konstitusi atau UUD
1945 memberikan hak untuk menggugat atas keberlakuan undang-undang yang
dirasa merugikan.
Keberlakuan
pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 oleh Machica Mochtar dianggap merugikan hak
konstitusionalnya karena anaknya (Iqbal) sulit mendapatkan status anak sah
dari ayah sirinya. MK pun mengabulkan gugatan dia dan menjatuhkan putusan
bahwa pasal 43 ayat (1) tersebut harus dibaca: ''Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya punya hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya''.
Putusan MK
tersebut melahirkan pemahaman bahwa dalam tatanan hidup bermasyarakat tidak
ada beda kedudukan hukum antara anak sah, anak nikah siri, dan anak zina.
Sebaiknya ke Pengadilan
Negeri
Lalu, lembaga
peradilan manakah yang berwenang mengadili jika terjadi sengketeta antara
anak hasil zina dan ayah biologis serta keluarganya?
Kompetensi
absolut setiap pengadilan senantiasa didasarkan pada tujuan dibentuk dan
diselenggarakannya peradilan. Pengadilan agama di Indonesia dibentuk untuk
menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam,
berdasar syariat Islam yang diatur dengan undang-undang sebagai konsekuensi
negara Pancasila sehingga keberadaan peradilan agama bersifat khusus dan
tertentu. Asas personal keislaman dan asas hukum syariah tidak dapat
dipisahkan. Karena itu, jika muncul sengketa antara anak zina dan ayah
biologis serta keluarganya, tidak boleh hanya dipandang ''orang Islamnya'',
tapi harus pula dilihat untuk kepentingan hukum syariah atau hukum nasional.
Yang menjadi legal reasoning putusan MK untuk mengabulkan
permohonan Machica, antara lain, secara alamiah, tidaklah mungkin seorang
perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa,baik melalui
hubungan seksual (coitus) sah atau tidak. Tidaklah adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan sebagai
ibunya. Tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan
seksual tersebut lepas dari tanggung jawab sebagai seorang bapaknya.
Kelahiran yang
didahului dengan hubungan seksual adalah hubungan hukum yang di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban timbal balik, yang subjek hukumnya meliputi
anak, ibu, dan bapak. Karena itu, hukum harus memberikan perlindungan hukum
yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk anak yang dilahirkan, meski keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan.
Intinya, MK
hanya melihat hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapaknya
semata-mata karena ikatan keperdataan an sich, tidak dengan
kacamata syari. Dengan demikian, hak-hak keperdataan anak hasil hubungan
zina pun harus dilindungi dari ayah biologis dan keluarganya.
Dalam kenyataan
sejarah selama ini, tampaknya, syariah Islam, lembaga dan institusi agama
Islam, tidak memberikan hak apa pun kepada anak zina: nafkah, biaya hidup,
maupun wasiat wajibah. Walaupun, ada
pendapat yang dinisbahkan kepada pendapat Hanafiyah bahwa anak hasil zina behak
mendapatkan nafkah dari ayah biologisnya.
Syariah Islam
begitu kerasnya dalam menjaga kesucian keturunan (hifdz nashl) tersebut,
sehingga mencantumkan hukuman yang berat terhadap pelaku perzinaan, yakni cambuk
atau didera 100 kali atau dirajam (al Hadis). Karena itu, agar tidak
menodai ajaran agama dan lembaga agama (Islam), jika terjadi sengketa anak
zina dengan ayah biologis maupun keluarganya, sebaiknya penyelesaian
dilakukan di pengadilan negeri, bukan di pengadilan agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar