Toleransi
terhadap Koruptor
Marwan Mas ; Guru Besar
Ilmu Hukum
|
KOMPAS,
02 Januari 2013
Makin hari korupsi kian
mengepung negeri ini. Ditandai begitu banyak kasus korupsi yang terungkap,
tetapi pengungkapan itu tidak juga membuat pejabat negara takut atau paling
tidak merasa malu.
Praktik
busuk menyelewengkan uang rakyat terus dilakukan, bahkan dengan cara-cara
lebih masif, sistematis, dan terencana. Ada sinyal kuat praktik korupsi
bertumbuh bukan lagi mengikuti deret hitung, melainkan menuruti deret ukur.
Korupsi telah jadi epidemi yang membahayakan kelangsungan pembangunan.
Belum
terlihat upaya pemerintah secara sistematis untuk menghambat pergerakannya.
Malah ada upaya menoleransi pejabat negara yang korupsi jika tidak mengetahui
kebijakan yang dikeluarkannya dilarang.
Pidato
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada peringatan Hari Antikorupsi dan Hak
Asasi Manusia Sedunia, Senin (10/12), bisa dijadikan salah satu indikatornya.
Presiden membagi dua model pejabat negara yang terlibat korupsi. Pertama,
korupsi yang memang diniati untuk memperkaya diri. Kedua, korupsi yang
terjadi karena ketidakpahaman pejabat bahwa yang dilakukannya merupakan
korupsi. Pernyataan ini bisa membuat masyarakat makin permisif.
Tak
bisa tidak, pernyataan Presiden SBY menjadi tidak produktif dan menimbulkan
kehebohan di ruang publik. Lantaran pesan tak bisa diterima nalar masyarakat
sesuai yang dikehendaki, menyebabkan komunikasi Presiden SBY gagal membangun
kesepahaman bersama untuk melawan perilaku korup. Seharusnya pidato
memperingati Hari Antikorupsi bernuansa membangkitkan semangat dan menyatukan
energi publik dan aparat hukum sebagai sebuah kesadaran urgennya menjaga uang
rakyat dari tangan-tangan jahil.
Sikap
inkonsisten yang disampaikan, di tengah negeri ini masih dibelit praktik
korupsi, setidaknya membuat publik semakin bingung. Padahal, publik selalu
diceramahi bahwa pemerintah mendukung penuh pemberantasan korupsi. Akan
tetapi, setelah salah satu menteri dijadikan tersangka oleh KPK, tiba-tiba
Presiden memberi sinyal bahwa negara wajib menyelamatkan mereka yang tidak
punya niat melakukan korupsi sehingga salah di dalam mengemban tugas.
Rupanya
Presiden SBY abai terhadap asas hukum iedereen wordt geacht de wette kennen
bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum. Apabila suatu peraturan
perundang-undangan sudah dinyatakan berlaku, maka semua orang dianggap telah
mengetahuinya. Tidak ada alasan untuk mengelak bagi yang melanggarnya. Tak
terkecuali bahwa ketentuan itu belum diketahuinya sehingga harus dikasihani
dan ditoleransi. Apalagi seorang pejabat negara diangkat pada jabatannya
lantaran dinilai cakap akan segala hal berkaitan dengan hukum dan
ketatanegaraan.
Pasal
1 Ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan ”Indonesia adalah negara hukum”, bisa
tergerus akibat dibelenggu hukum rimba. Asas hukum sebagai prinsip-prinsip
fundamental dalam penegakan hukum jadi tercabik- cabik jika setiap orang bisa
beralasan tidak mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya melanggar hukum.
Tidak ada alasan sekecil apa pun memberikan toleransi kepada pejabat negara
yang menyelewengkan uang rakyat.
Setiap
pejabat negara seharusnya kredibel, setidaknya tahu dan paham batas-batas
perbuatan yang beraroma korupsi. Maka, sungguh sulit diterima logika dengan
mengandaikan ada pejabat negara yang tidak tahu atau tidak paham bahwa
kebijakan yang dikeluarkannya melanggar hukum. Jika ada pejabat negara yang
terjerat korupsi dengan alasan tidak tahu bahwa itu dilarang, akan dibawa ke
mana negeri ini?
Cara
berpikir seperti itu justru akan membahayakan semangat pemberantasan korupsi.
Bagaimana mungkin ada pejabat pemerintah tidak tahu peraturan berkaitan
dengan kewenangannya, bahkan tidak mampu membaca godaan korupsi sehingga
terjebak kasus korupsi? Jika membenarkan pejabat negara yang melakukan
korupsi hanya dengan alasan tidak mengetahui bahwa itu dilarang, berarti presiden
kecolongan karena mengangkat pejabat negara yang tidak cakap dan tidak
kredibel.
Perilaku
korup sulit diasumsikan tanpa dilandasi kesadaran kalau kewenangannya dalam
mengelola anggaran negara telah menyalahi ketentuan yang berlaku. Boleh jadi
hanya pura-pura tidak tahu, atau bahkan akal- akalan, untuk tidak mengerti
praktik korupsi. Jika pernyataan Presiden betul-betul diimplementasi, para
pejabat korup cukup minta maaf, lalu aparat hukum memberikan ampunan karena
mereka korupsi akibat tidak mengetahui bahwa itu dilarang.
Kalaulah
maksud Presiden negara wajib memberikan pembelaan karena pejabat itu belum
tentu bersalah, tentu masih bisa diterima. Tetapi, apa mau dikata, publik
telanjur memersepsi pernyataan itu sebagai sikap Presiden memberikan toleransi
kepada pelaku korupsi.
Presiden
dianggap turut permisif terhadap kasus korupsi, seolah-olah korupsi bukan
lagi perbuatan hina dan jahat. Komunikasi Presiden yang selalu tertata dan
terukur, tetapi lagi-lagi memicu gairah produktif untuk dipolemikkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar