|
Problem
Pendidikan Karakter
Haidar Bagir ; Pendidik dan Pengajar Filsafat
|
KOMPAS,
09 Januari 2013
|
Meski dalam hal keberadaan
unsur suatu kurikulum yang baik niscaya sudah bisa dibilang lengkap—baik dari
segi isi, proses, maupun evaluasi—kurikulum baru yang sedang digodok saat ini
masih perlu menjabarkan secara jelas dan lengkap tujuan yang hendak
dicapainya.
Memang, selain aspek isi,
proses, dan evaluasi, sebuah kurikulum yang baik perlu dengan jernih
merumuskan tujuannya agar tidak justru kehilangan perspektif. Tujuan ini amat
krusial untuk menempatkan semua unsur tersebut di tempatnya yang tepat dan
dalam suatu kesatuan sistemik yang saling mendukung dalam pencapaian tujuan tersebut.
Kekurangan ini pada gilirannya juga dapat mengakibatkan absennya kerangka
bagi para guru—pelaku utama penerapan kurikulum ini—untuk dapat memahami
dengan sebaik-baiknya dan seutuhnya konsep kurikulum ini.
Konkret dan Praktis
Sebenarnya, tujuan besar
(aims) seperti ini sudah tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional, yakni: ”... agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Tampil dengan mencolok di sini
bahwa pengembangan sikap (attitude) atau watak (character) serta akhlak mulia
(budi pekerti) merupakan unsur sentral di dalamnya. Semua itu sepenuhnya
terkait dengan karakter dan moral pendidikan.
Pertanyaannya, apa yang
dimaksud dengan karakter/watak dan moral pendidikan? Karakter dan nilai-nilai
moral apa saja yang perlu dikembangkan dalam diri peserta didik? Bagaimana
caranya? Bagaimana juga ia dijabarkan secara praktis dalam kurikulum?
Selama ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan suatu matriks karakter yang
hendak disasar dalam suatu pendidikan karakter (dan moralitas), yang terdiri
atas 18 unsur. Di sana terlihat masih terkesan kuat adanya ketidakjernihan
dalam memilah unsur karakter dan nilai moral yang dijadikan sasaran.
Di samping religiositas,
kejujuran, toleransi, disiplin, cinta damai, tanggung jawab, kepedulian
sosial dan lingkungan, dan sebagainya, masuk juga kreativitas, suka membaca,
dan beberapa unsur lain yang mungkin tak amat tepat dimasukkan sebagai
karakter ataupun nilai moral. Selain itu, meski secara umum telah mengenai
sasaran—dengan memasukkan pembiasaan dan keteladanan lewat budaya sekolah,
pembiasaan di rumah, dan penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler—strategi
mikro yang harus diterapkan di sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan
karakter dan moral ini, khususnya dalam aspek kegiatan ekstrakurikuler, masih
terbatas pada modus-modus konvensional. Sebutlah seperti kegiatan Pramuka,
pembuatan karya tulis, olahraga, dan sejenisnya.
Pentingnya pengorientasian
pendidikan karakter dan nilai moral kepada ranah afektif dan psikomotorik
menuntut pelibatan secara praktis dan langsung peserta didik ke dalam berbagai
kegiatan. Misalnya kegiatan penyantunan anggota masyarakat yang membutuhkan
uluran tangan mereka, aktivitas konkret pelestarian lingkungan, dialog-dialog
dan kegiatan bersama dengan berbagai unsur masyarakat yang memiliki latar
belakang yang berbeda, serta berbagai kegiatan lain yang melatih pengembangan
semangat cinta kasih dan pengorbanan.
Selain itu, pemuatan
pendidikan karakter dan moralitas ke dalam sekujur kegiatan kurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler secara integratif—bukan hanya dalam pelajaran
Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn)—menjadi sangat penting. Bahkan,
ada perdebatan mengenai apakah pendidikan karakter atau pendidikan moral
perlu dijadikan mata pelajaran tersendiri. Kalaupun gagasan ini bisa
diterima, hendaknya ia tidak mengurangi kesadaran kita bahwa aspek kognitif
(pengetahuan) pendidikan karakter dan moralitas bukanlah satu-satunya.
Bahkan, bukan merupakan aspek terpenting darinya.
Pendidikan Agama
Oleh karena itu, kita pun
perlu meminta pemerintah mempertimbangkan kembali penambahan jam pelajaran
Agama menjadi 5 jam pelajaran. Pada kenyataannya, selain untuk sekadar
pengajaran unsur kognitif pendidikan karakter dan moralitas, jam pelajaran
yang dialokasikan untuk pelajaran Agama hanya diperlukan untuk mengajarkan aspek-aspek
agama yang memang membutuhkan modus kegiatan belajar-mengajar yang bersifat
klasikal, sedikit-banyak teoretis, ataupun sebatas materi-materi hafalan
tertentu, seperti tata cara ibadah praktis dan hafalan bagian-bagian kitab
suci.
Ini pun, lagi-lagi, perlu
didukung kesadaran bahwa strategi pengajaran mesti tetap bersifat konkret dan
praktis ketimbang teoretis. Demikian pula evaluasinya harus lebih bersifat
otentik, yakni benar-benar mengevaluasi penguasaan kompetensi, yang konkret
dan praktis itu, ketimbang melalui jenis-jenis evaluasi akademik dan teoretis
seperti sekarang.
Mengingat sumber daya
mayoritas guru Agama masih perlu banyak peningkatan, baik dalam hal sikap,
pengetahuan, maupun keterampilan mengajar—khususnya di daerah-daerah yang
jauh dari kota-kota besar dan di sekolah-sekolah dengan sumber daya minim,
yang masih banyak terserak di negeri ini—penambahan jam pelajaran Agama
dikhawatirkan justru diisi hal-hal yang menjadikan kesadaran keberagamaan
siswa melulu bersifat legal-formalistik. Karena itu, cenderung sempit dan
intoleran: termasuk perdebatan fikih dan teologis yang eksklusif, mungkin
juga materi-materi sejarah Nabi yang berorientasi kisah peperangan, dan
sebagainya.
Pendidikan Estetika
Tidak kalah penting,
pendidikan karakter (khususnya pendidikan budi pekerti) dapat diselenggarakan
dengan baik melalui pendidikan seni (estetika). Pada kenyataannya, selain
sebagai sarana menciptakan kesehatan pikiran dan jiwa, serta mengembangkan
daya imajinatif dan kreativitas, pendidikan estetika adalah sarana yang
sangat efektif untuk menanamkan karakter dan moralitas. Hal ini dimungkinkan
berkat kemampuan pendidikan estetika melahirkan kelembutan hati dan
ketenangan jiwa melalui apresiasi terhadap keindahan.
Alhasil, jangan sampai
niat baik pengembangan pendidikan keagamaan, termasuk pendidikan karakter dan
moralitas, dirancang atas dorongan semangat kesalehan yang salah tempat
(misplaced pietism), apalagi salah guna (misused), sehingga malah melahirkan
karakter yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan karakter itu
sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar