Pesantren dan
Budaya Islam
Abdurrahman Mas’ud ; Kepala Puslitbang
Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian
Agama RI
|
REPUBLIKA,
18 Januari 2013
Sebagai warisan budaya
Islam di Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan kebudayaan
Islam itu sendiri. Hal ini terkait dengan corak dasar peradaban Islam
yang memuliakan pendidikan. Serta pola keislaman di Indonesia yang memusat di
dalam proses pendidikan. Oleh karenanya, pendidikan tidak menjadi proses
didaktik an sich, melainkan mode of being dari keberislaman.
Sejak masa pertama
Madinah, tradisi keilmuan telah terbentuk melalui mun culnya sahabat-sahabat
yang menciptakan spesialisasi pengetahuan. Misalnya, Abdullah ibn `Abbas yang
ahli da lam bidang penafsiran Alquran, Abdullah ibn Mas'ud yang menjadi ahli
fikih, serta Zaid ibn Tsabit yang mencatat dan menghafalkan Alquran. Satu
abad kemudian, muncul tujuh ahli fikih di Makkah dan Madinah yang menjadi rintisan
sistem mazhab.
Tradisi keilmuan ini
hadir di Nusantara. Seperti diketahui, Islam yang hadir di kepulauan ini
adalah Islam yang telah dikembangkan di Persia dan kemudian anak Benua India
yang berorientasi kuat pada tasawuf. Inilah yang menjelma gelombang Islamisasi
di abad ke-13 yang menjadi akar pertama pesantren.
Gelombang ini bercorak fikih-sufistik, di mana pengajaran atas syariah
berjalin- kelindan dengan pendalaman tasawuf.
Maka, di abad itu
kitab fikih-sufi stik seperti Bidayah
al-Hidayah karya Imam al- Ghazali telah menjadi tren di
Nusantara. Di kisaran abad itu pula (ke-16) terjadi `pemurnian tasawuf'
melalui kritik al- Raniri atas ajaran `Wujudiyah' Hamzah Fansuri, serta
hukuman atas Siti Jenar oleh Dewan Walisongo. Akar keislaman ini yang
disempurnakan oleh gelombang Islamisasi kedua abad ke-19 oleh `jaringan ulama
Jawi'.
Jaringan ulama ini
merupakan putra-pu-tra terbaik bangsa yang belajar di Mak- kah dan mendirikan
pesantren setelah pulang ke Tanah Air. Nama-nama besar ini meliputi Kiai
Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Ghani
Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang, dan Kiai Khalil
Bangkalan.
Jaringan ulama ini
membawa tradisi baru, yakni pendalaman ilmu fikih secara tuntas melalui
pengembangan alat-alat bantu seperti ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, ilmu
hadis, dan tidak lupa ilmu akhlak. Hal ini tecermin dalam karya para ulama
tersebut, misalnya Sabil al-Muhtadin karya Tuan Guru Arsyad Banjar, Nur
al-Zhalam karya Kiai Nawawi Banten, dan seterusnya.
Merekalah yang
mengenalkan pendalaman bahasa Arab beserta cabang- cabang ilmunya di
pesantren. Pada titik ini, pendalaman atas ilmu fikih secara tuntas tetap
dilambari oleh pengamalan fikih-sufistik di dalam laku kehidupan.
Maka, ulama seperti Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai Mahfudz Termas tidak dikenal
sebagai guru tarekat atau tokoh sufi , melainkan sebagai sarjana Islam yang
memiliki kapasitas keilmuan sangat tinggi.
Hanya, meskipun para
ulama tersebut merupakan `ulama syariat', akhlak sufistik tetap menjadi
pegangan utama dalam pengamalan Islam. Penguasaan atas ilmu syariat dan
pengamalan fikih-sufistik ini merupakan gabungan gelombang Islamisasi abad
ke-13 dan ke-19 yang melembaga di dalam pesantren (Abdurrahman, 2004:
214--227).
Subkultur Islam
Dengan demikian, pesantren
merupakan produk paripurna Islamisasi Nusantara. Bahkan, sebagai lem baga
pendidikan, ia merupakan kesinambungan dari lembaga pendidikan Mandala era
Hindu-Buddha. Kata pesantren pun diambil dari bahasa Sansekerta, sashtri
(pengkaji kitab suci Hindu), yang bertransformasi menjadi santri.
Oleh karena itu,
pesantren merupakan perwujudan kultural Islam sebagai hasil dari proses
pribumisasi Islam. Perwujudan kultural ini merupakan pertemuan antara ajaran
normatif Islam dan tradisi spiritual Hindu-Buddha. Tentu pertemuan ini telah
terislamkan, sehingga corak spiritualitas Islam bersifat syar'i sebagaimana
terlihat di dalam corak fikih-sufi stik. Pola kultural ini tidak terlepas
dari model dakwah Walisongo yang memang telah menggerakkan pribumisasi Islam.
Dari sini terlihat cikal-bakal pesantren yang didirikan oleh Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, dan Sunan Giri di Giri Kedaton.
Dari pola kultural ini
maka pesantren menjelma sebagai sub-kultur yang unik, independen, sekaligus
bisa memengaruhi kultur mainstream. Dalam kaitan ini terdapat tiga keunikan
yang menjadi karakter dari sub-kultur pesantren. Pertama, asketisisme
(zuhud). Ini me rupakan nilai khas pesantren yang menempatkan kualitas
spiritual sebagai nilai utama.
Kedua, perilaku unik
yang lahir dari nilai unik di atas. Berdasarkan asketisisme, para santri
kemudian mencintai ilmu-ilmu agama dan mencintai ahli ilmu agama (kiai).
Dengan demikian, asketisisme pesantren akhirnya bersifat ilmiah. Ketiga,
kepemimpinan unik yang lahir dari nilai dan perilaku unik. Kepemimpinan
unik ini diperankan oleh kiai, yang bukan pemimpin administratif, melainkan
moral-intelektual. Hal ini mendasar, sebab kiai telah memandatkan
kepemimpinan administratif kepada lurah pondok yang berfungsi sebagai
eksekutif pengatur organisasi. Dalam kaitan ini, kepemimpinan kiai sering
menjadi `oposisi kultural' bagi kepemimpinan negara.
Segenap gambaran di atas menunjukkan lanskap luas pesantren sebagai bagian
dari sub-kultur Islam di Indonesia. Pola pendidikan di dalam pesantren
merupakan pola keislaman di Nusantara yang memusat dalam proses
pendidikan. Pemahaman ini yang perlu dimiliki oleh para penggagas
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren, yang kini marak dibicarakan. Sayangnya,
logika di balik RUU ini telah menempatkan pesantren, murni sebagai lembaga
pendidikan yang akhirnya membutuhkan `dukungan struktural' dari negara. Jika pun dibutuhkan "penanganan pemerintah", hal ini perlu
didasarkan pada penghormatan.
Penempatan pesantren an sich sebagai lembaga pendidikan
akan mencerabut khazanah bangsa ini dari akar budayanya dan, tentu saja, akar
kemanfaatannya bagi republik ini. Hal ini mendasar, sebab pesantren merupakan
fondasi utama bagi Islam moderat, toleran, dan rahmatan lil `alamin yang berperan sebagai pembentuk kebangsaan
Indonesia. Seperti di ketahui, para ulama pesantrenlah yang merumuskan
nasionalisme Islam yang kompatibel dengan negara-bangsa, demokrasi, dan
kemodernan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar