Partai yang
Gaduh
Bayu Dardias ; Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol
Universitas
Gadjah Mada; Mahasiswa PhD di Australian National University
|
KOMPAS,
17 Januari 2013
Ritual menjelang pemilu
hampir selalu mirip. Seluruh partai politik, termasuk partai kecil dan partai
baru, optimistis dapat memenuhi syarat menjadi peserta pemilu saat
Undang-Undang Pemilu disahkan.
Setahun
kemudian, mereka gaduh karena tidak lolos persyaratan dan gagal menjadi
peserta pemilu. Sasaran kegaduhan adalah penyelenggara pemilu. Mereka tak
mungkin mengutuk partai pesaingnya di DPR karena telah telanjur optimistis.
Mereka juga tidak mungkin menerima begitu saja karena kehormatan dan terutama
uang telah telanjur ditanamkan.
Hanya
saja, tahun ini kegaduhan semakin menjadi. Tengoklah kegaduhan yang baru
lalu, hujan interupsi telah datang bahkan sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU)
selesai mendengarkan presentasi KPU daerah. Mirip pasar malam yang penuh
pedagang yang memasarkan dagangannya sendiri. Partai-partai yang bersemangat
menegakkan demokrasi, tetapi justru membahayakan demokrasi.
Penyebabnya
antara lain partai-partai tersebut sudah telanjur diberi hati. Dua institusi,
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) yang seharusnya meredam kegaduhan justru memeriahkannya.
Bersama
KPU, kedua institusi tersebut seharusnya bekerja sama menciptakan pemilu yang
jujur, adil, dan minim kegaduhan. Sayangnya, veto kuasa yang tersebar
menjadikan masing-masing merasa berkuasa. Ketiganya bahkan menjelma menjadi
penyelenggara pemilu; semua menjadi KPU dengan versinya sendiri-sendiri.
KPU
dan Bawaslu selalu diingatkan Ganjar Pranowo, politisi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan, jangan seperti kartun Tom dan Jerry. Namun, sejak awal
keduanya tepat dipersonifikasikan dua tokoh imajiner itu. Bawaslu adalah
kucing Tom yang selalu mencari-cari kesalahan dan kelengahan tikus Jerry, si
KPU. Tinggallah si anjing buldog, DKPP, yang selalu dibangunkan dari
kantuknya. Karena baru bangun tidur, keputusannya menjadi mimpi buruk.
Dalam
bukunya yang berjudul The Power of Institution (2003), pengamat Indonesia
yang pernah mengajar di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Andrew McIntyre,
menuliskan hal menarik tentang veto politik dan efektivitas pemerintahan.
Menurut dia, negara di mana veto politik hanya bertumpu pada segelintir
institusi menjadikan negara tersebut penuh masalah.
Sebaliknya,
negara di mana veto politik terlalu banyak, juga akan dirundung masalah. Dia
menggambarkan seperti kurva huruf V. Sumbu X merupakan veto politik dan sumbu
Y masalah. Semakin ke atas dan ke kanan, semakin tinggi angkanya. Kita
dituntut untuk menemukan titik tengah yang rendah dari masalah dan sebaran
veto yang pas.
Pemilu
kita akan dirundung bencana karena veto politik tidak hanya dimiliki KPU
sebagai penyelenggara, tetapi dimiliki secara menyebar ke dua yang lain.
Desain awal yang berusaha mengeliminasi kemungkinan KPU main mata dengan
peserta pemilu dipahami berlebihan.
Hanya
sedetik setelah KPU memutuskan 10 peserta pemilu, Bawaslu sudah menyatakan
keputusan tersebut belum final. Sebagaimana pengalaman pada seleksi
administratif, kata final didapatkan dari DKPP yang mewajibkan KPU membuat
verifikasi faktual terhadap partai yang tidak lolos seleksi administrasi.
Janggal dan jauh hubungannya dengan kode etik yang menjadi domain
kewenangannya.
Jika
belajar dari pengalaman saat verifikasi, dari 12 partai yang direkomendasikan
Bawaslu untuk mengikuti verifikasi faktual, setelah gagal di administrasi,
tidak ada satu pun yang akhirnya menjadi peserta pemilu.
Hampir
dapat dipastikan, seluruh tahapan penting di KPU akan selalu mengalami
tahapan yang sama, yakni diputuskan KPU, gugatan difasilitasi Bawaslu, dan
kata akhir ada di DKPP. Hal ini tentu mengganggu tahapan pemilu dan mengancam
demokrasi Indonesia yang
Bangsa
ini sudah memiliki pekerjaan rumah yang luar biasa besar terkait dengan
partai politik yang tidak terinstitusionalisasi dan parlemen yang tidak
mewakili rakyat. Jangankan bekerja sama dengan partai lain, faksi di internal
partai lebih sering berseteru. Parlemen kita, selain tidak pernah memenuhi
target capaian kerja sejak reformasi, juga selalu bersemangat jika studi
banding meskipun bukan negara yang tepat untuk dituju.
Hanya
saja, dalam tiga pemilu setelah reformasi, demokrasi diselamatkan oleh pemilu
yang bebas, jujur, dan adil. Secara umum hasil pemilu dapat diterima dan
menjadi pegangan untuk melangkah ke depan.
Bahkan,
dengan KPU lalu yang compang-camping, kita masih memiliki DPR yang bisa
dipertanggungjawabkan sesuai hasil pemilu. Kita juga memiliki presiden dengan
legitimasi kuat. Kita beruntung Susilo Bambang Yudhoyono menang dengan cukup
meyakinkan. Jika hasilnya hampir sama, katakanlah 51:49, mungkin bencana
Suriah bisa terjadi di sini.
Saat
ini, pemilu terancam oleh kegaduhan yang tidak perlu. Desain dan tahapan
pemilu kita tidak mengakomodasi kegaduhan yang sama untuk terus berulang.
Selain energi yang terkuras, waktu untuk seluruh tahapan pemilu juga sangat
berimpitan. Jika semua merasa saling berkuasa, bangsa ini akan binasa.
Sudah
saatnya kita hentikan kegaduhan karena kita sedang dalam ujian demokrasi. Di
mana-mana, pada saat ujian, semua harus tenang agar bisa lulus dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar