Senin, 21 Januari 2013

Musim Semi Manufaktur


Musim Semi Manufaktur
Roos Diatmoko ;  Anggota DRN Transportasi 2007-2011
KOMPAS, 19 Januari 2013



Kinerja ekonomi Indonesia tetap cerah sekalipun laju ekonomi Asia melambat. Kini, kinerja ditopang dengan bangkitnya industri manufaktur yang tumbuh 6,8 persen sejak 2011.

Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan industri manufaktur pada 2013 mencapai 7,1 persen meskipun dihadapkan pada persoalan kenaikan upah minimum, kenaikan tarif listrik, dan sejumlah tantangan lain. Kontribusi industri manufaktur tetap terbesar, yakni 24,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Industri manufaktur mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan produktif. 
Sektor industri manufaktur Indonesia mendapat apresiasi Bank Dunia dan diprediksi berpeluang bangkit lagi. Bagi investor industri manufaktur, Indonesia berpotensi sebagai pasar domestik yang besar dan tumbuh sekaligus lokasi produksi berbiaya rendah. Investasi asing di industri manufaktur semester I/2012 mencapai 1,2 miliar dollar AS, meningkat 62 persen dari 2011. Total investasi 12 sektor industri manufaktur mencapai Rp 72,57 triliun atau naik 56,94 persen.

Sektor industri manufaktur menjadi pendorong utama pertumbuhan yang berkualitas, cepat, dan stabil bagi perekonomian secara keseluruhan. Dibandingkan komoditas primer, produk industri manufaktur lebih tahan terhadap volatilitas harga pasar internasional. Makin besar peran manufaktur terhadap PDB, kondisi ekonomi akan stabil.

Kelas Menengah

Stabilitas ekonomi Indonesia 2012 masih baik. Namun, dengan penurunan ekspor akibat melemahnya harga komoditas primer andalan, terjadi defisit neraca transaksi berjalan. Dalam World Trade Report 2012 terlihat tren grafik ekspor menurun dan impor meningkat tajam pada akhir 2011. Dalam laporan BI triwulan III/2012, defisit transaksi berjalan membengkak sampai 2,4 persen dari PDB. Salah satu alasan, meningkatnya impor barang modal berupa pesawat udara.

Ketika pemerintah kesulitan menyiapkan dana investasi 3 persen dari PDB untuk infrastruktur, defisit transaksi berjalan hampir menembus angka yang sama. Bila defisit transaksi berjalan melebihi 3 persen dari PDB, daya tahan ekonomi Indonesia bakal terganggu. Dengan adanya akselerasi pembangunan infrastruktur melalui Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, impor barang modal bakal melesat. Bagaimanapun, investasi harus diimbangi peningkatan produktivitas dan daya saing ekspor. Pemerintah harus membenahi ketimpangan struktur industri. Struktur industri manufaktur masih timpang ke dalam untuk konsumsi pasar domestik.

Menurut proyeksi McKinsey, terdapat tren peningkatan kelas menengah Indonesia dari 45 juta orang pada 2010 menjadi 135 juta orang pada 2030. Para investor dan importir akan berkompetisi berebut pasar potensial kelas menengah Indonesia. Produktivitas dan nilai tambah industri manufaktur juga dianggap penting.
Berdasar laporan McKinsey November 2012, Indonesia termasuk 15 besar negara manufaktur dunia ditinjau dari kontribusi nominal nilai tambah manufaktur. Pada 2010, Indonesia di peringkat ke-13, di atas Spanyol dan Kanada. Tahun 2000, Indonesia peringkat ke-20. Dalam kurun 10 tahun, meski dikritik mengalami proses ”deindustrialisasi”, Indonesia naik 7 tingkat.

Seperti halnya negara berkembang lain, Indonesia memiliki potensi industri manufaktur padat karya. Seharusnya, dengan sumber daya manusia produktif melimpah, Indonesia dapat mengikuti peta jalan industri China, Korea Selatan, dan Jepang. Selain kontribusi industri manufaktur di atas 20 persen PDB, peran industri manufaktur untuk ekspor perlu didongkrak sampai dengan dua pertiganya.

Soal strategi ekspor yang masih lemah, Indonesia harus berbenah. Menurut laporan perdagangan dunia 2012, Indonesia hanya berada di urutan 26 eksportir dunia (201 miliar dollar AS) dan urutan 28 importir dunia (176 miliar dollar AS). Pada 2011 itu, posisi Indonesia yang masuk negara G-20 dan peringkat ke-15 dalam hal PDB justru berada di bawah Malaysia.

Selain daya saing ekspor lemah, dalam laporan Bank Dunia disebutkan adanya missing middle. Hilangnya lapisan menengah ini disebabkan jumlah usaha kecil yang kurang proporsional menurut standar internasional. Usaha kecil dengan karyawan 5–19 orang sangat mendominasi, yaitu 93,4 persen dari jumlah perusahaan. 

Tumbuhnya kelas menengah dituntut menjadi pelopor produktivitas dan nilai tambah bagi perusahaan menengah (20-100 karyawan) yang berjumlah 5,1 persen saja.

Kurva Belajar

Terdapat lonjakan impor barang modal dan bahan setengah jadi untuk sektor transportasi. Meningkatnya infrastruktur bagi konektivitas koridor ekonomi disusul kebutuhan impor sarana transportasi. Biaya transportasi di Indonesia berkisar Rp 238,6 triliun. Dampaknya, neraca transaksi untuk produk sarana transportasi berteknologi tinggi rentan defisit. Terbukti, impor 230 pesawat udara oleh maskapai nasional Lion Air saja menyedot devisa 22,4 miliar dollar AS.

Demikian pula di sektor angkutan laut, impor kapal meningkat. Sejak asas cabotage diterapkan 2005, armada kapal nasional tumbuh 92,3 persen dengan tambahan 11.620 kapal sampai 2012. Pelayaran internasional berpeluang tumbuh karena Indonesia jadi eksportir dan importir terbesar ke-8 dunia menggunakan kontainer menurut World Shipping Council. Sayangnya, kinerja sebagian galangan kapal nasional tenggelam dalam kerugian.

Di darat, industri otomotif tumbuh luar biasa dinamis hingga melampaui batas angka 1 juta mobil dan hampir 9 juta sepeda motor. Untuk otomotif, skala merupakan penentu daya saing sehingga hanya industri merek global yang berperan. Pasar otomotif skala raksasa dengan mobil di atas Rp 200 triliun dan sepeda motor sekitar Rp 40 triliun per tahun. Selain subsidi BBM, sektor transportasi berperan sebagai penyedot devisa paling boros.

Saatnya membangun infrastruktur yang soft berbentuk kebijakan dan regulasi. Berbagai hambatan berupa biaya logistik yang mahal, penerapan insentif pajak yang tidak adil, dan biaya modal yang mahal harus dikikis. Peraturan impor barang bekas yang diterapkan dalam krisis ekonomi yang lalu juga layak dicabut. Sebaliknya, diperjuangkan dukungan produk nasional.

Ketika kelas menengah menikmati budaya konsumtif, keberpihakan pada produk nasional sulit ditegakkan. Untuk barang modal saja, para eksekutif kerap berseberangan dengan industri manufaktur. Bukannya memperketat devisa impor, sebaliknya produk nasional diperketat. Alasannya, catatan pasokan produk nasional minim, mutu belum terbukti, dan jadwal terlambat.

Kurva belajar yang diperlukan bagi industri manufaktur nasional langka. Sayangnya, saat ada akselerasi pembangunan infrastruktur, justru satu persatu produk nasional terhenti. Produk yang telah mendapat penghargaan rintisan teknologi seperti sepeda motor Kanzen, bus Komodo, dan kereta KRDE gugur bertempur di negeri sendiri.
Bagi industri manufaktur nasional sektor transportasi, musim semi untuk siapa? Semoga Ibu Menteri Mari E Pangestu sebagai kandidat pimpinan WTO bisa ikut berjuang menyemaikan produk nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar