Mentalitas
Pemburu
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
KORAN
TEMPO, 19 Januari 2013
Saat ini kita memasuki era
post-modern yang berciri teknologi genome (biologi), nano (fisika), dan
informasi. Banyak hal yang dulunya dianggap "takdir" sekarang bisa
dibuat dan diintervensi, seperti kloning, teknologi ruang angkasa, dan
tanaman transgenik (semangka tanpa biji dan padi berselubung vitamin A).
Jarak geografis hampir tidak ada lagi. Dengan Internet, orang bisa bersapa
atau berdagang dengan siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Orientasi
manusia terhadap waktu pun berubah, tidak lagi bekerja 8 jam, melainkan bisa
24 jam seperti para pedagang valas. Keteraturan hilang. Agar survive di era cyber, perlu mentalitas
luwes dan inklusif, sehingga mudah beradaptasi tanpa stres.
Sayangnya, sementara dunia
beralih ke era cyber, dalam banyak
hal manusia Indonesia masih bermental pemburu, salah satunya manusia
pertanian (Sarwono, 2006). Bangsa ini punya catatan sejarah panjang di bidang
pertanian, dengan sistem sawah yang canggih, seperti Subak di Bali atau
sistem irigasi Majapahit. Di perkebunan juga demikian. Gula, misalnya. Pada
1930-an, pabrik gula kita tercatat paling efisien di dunia dan mengalahkan
gula Eropa. Proefstation, lembaga riset gula di Pasuruan yang sekarang
bernama P3GI, pernah menghasilkan varietas unggul POJ 2878 dan menjadi solusi
krisis gula saat itu. Tapi mentalitas pertanian yang maju itu kini justru
mundur lagi ke mentalitas pemburu.
Ada banyak contoh. Salah
satunya, menurut FAO (2012), dari sisi produksi, Indonesia adalah salah satu
negara penghasil sejumlah pangan utama dunia. Untuk peringkat 1-5 dunia,
cakupannya meliputi cengkeh (nomor 1 dunia), kelapa sawit (peringkat 1), palm
kernel (1), kapuk randu dan kapuk serat (1), kelapa (1), daun bawang (1),
vanili (1), lada (2), karet alam (2), kakao (2), kacang hijau (2), beras (3),
pala dan kapulaga (3), gula (3), jahe (3), alpukat (3), telur burung (3),
cabai dan paprika (4), papaya (4), kopi (4), singkong (4), mangga, manggis,
dan jambu (4), bayam (5), tembakau (5), dan kacang mete (5).
Tapi apa gunanya posisi
1-5 dunia kalau petani sejumlah komoditas itu miskin, menjadi price taker,
dan tidak membuat kita sejahtera? Ini terjadi karena kita mengekspor
komoditas dalam bentuk mentah, bukan mengolahnya jadi produk jadi. Kita ingin
cepat panen, bukan proses pendalaman (industri hilir), salah satu ciri
masyarakat mental pemburu. Potensi pertanian (perikanan, kehutanan, kelautan)
negeri ini amat besar, bisa membuat petani dan bangsa sejahtera. Itu hanya
terjadi jika kita meninggalkan mentalitas pertanian pemburu dengan menggarap
pasar dan melakukan pendalaman industri.
Indonesia adalah penghasil
kopi robusta terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Siapa yang menentukan
harga? Apakah petani, eksportir, pedagang besar, atau pedagang pengumpul?
Bukan. Penentu harga ada di London (London
International Financial Futures Exchange/LIFFE). Lalu kakao. Kita merupakan produsen kakao terbesar ketiga
dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Alam memungkinkan kita menjadi
produsen kakao terbesar di dunia. Tetapi harga komoditas ini ditentukan di New York Board of Trade. Kita juga
eksportir minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, mengalahkan Malaysia,
tapi harga CPO Indonesia justru didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala
Lumpur untuk harga kontrak berjangka. Ironi ini sudah berlangsung puluhan
tahun.
Sebagai penghasil produk,
kitalah yang paling dekat dengan kondisi-kondisi fundamental yang
mempengaruhi harga. Dengan penguasaan pangsa CPO Indonesia-Malaysia 90
persen, adalah Indonesia dan Malaysia yang layak jadi acuan harga, bukan
Rotterdam. Rotterdam tidak layak jadi basis acuan harga ekspor karena
perdagangan CPO di Eropa hanya 2,5 juta ton per tahun. Demikian pula kakao,
kopi, dan karet. Sudah seharusnya kita serius membangun pasar dan industri
hilir agar tidak diombang-ambing oleh pihak lain.
Selama ini kita terlena
hanya berproduksi, tapi tidak pernah menggarap pasarnya dan mengolahnya jadi
aneka produk turunan. Sebagai produsen utama, sudah seharusnya kiblat harga
sejumlah komoditas unggulan itu ada di dalam negeri, bukan di negeri orang.
Dengan begitu, saat ekspor, kita tak harus melakukan berbagai perhitungan
penyesuaian, mulai dari diskon harga atas kualitas produk, ongkos angkut,
asuransi, hingga kurs mata uang asing dan lainnya seperti selama ini. Sebagai
produsen utama, sudah seharusnya kita yang meraih nilai tambah dengan
memperdalam industri pengolahan, bukan negara/pihak lain.
Lebih dari setengah abad silam ekonom
Argentina, Raul Prebisch, dan ekonom Jerman, Hans Singer, sudah mengingatkan
bahwa nilai tukar riil produk primer pertanian (dalam arti luas) atas produk
manufaktur menurun secara permanen. Harga produk primer cenderung fluktuatif,
sedangkan produk jadi meningkat, paling tidak stabil. Ekonomi yang
menggantungkan diri pada produk primer menghadapi kepincangan harga yang tajam
apabila berhadapan dengan pemilik teknologi. Harga bahan mentah ditekan amat
rendah, sementara teknologi harus dibayar dengan harga supermahal. Inilah
paradoks ekonomi yang menggantungkan pada
"tebang-keduk-keruk dan jual", bukan penghiliran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar