Memaknai
Keamanan Nasional
Kiki Syahnakri ; Ketua Badan Pengkajian
|
KOMPAS,
17 Januari 2013
”
Begitu kata Thomas
Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat, konseptor Declaration of
Independence dan pembuat UU Kebebasan Beragama di Virginia pada akhir abad
ke-18. Kata bijak itu masih berkumandang hingga kini. Jefferson menyadari,
kebebasan individual yang jadi syarat liberalisme harus dibarengi
kewaspadaan. Apabila tidak, rakyat akan terjebak dalam konflik berkepanjangan
yang membahayakan keutuhan bangsa. Waspada berarti juga mampu melihat jauh ke
depan, memperkirakan risiko yang dihadapi sebagai akibat digulirkannya suatu
langkah strategis. Seraya mampu pula melakukan manajemen risiko agar tujuan
strategis bisa tetap terjaga. Kewaspadaan tinggi pada gilirannya akan
membangun rasa tanggung jawab.
Sejak
Reformasi 1998, Indonesia telah memasuki era kebebasan ala sistem demokrasi
liberalnya AS. Iklim kebebasan pada kenyataannya telah membuat permintaan
pada politik (kekuasaan) meningkat tajam. Peserta kompetisi politik bukan
hanya datang dari para politisi, melainkan juga dari berbagai kalangan,
termasuk cendekiawan, artis, bahkan agamawan. Sesuai hukum ekonomi,
peningkatan permintaan selalu diikuti naiknya harga sehingga mengakibatkan
tingginya biaya politik. Pada sisi lain, tingkat kedewasaan elite politik
dalam berdemokrasi umumnya masih sangat rendah. Pihak yang kalah dalam
kompetisi politik sulit menerima kekalahan (antara lain karena banyak
kehilangan uang). Akibatnya, muncul konflik politik yang melibatkan massa dan
kerap diwarnai kekerasan. Konflik politik tidak hanya bersifat antarparpol,
tetapi juga intra parpol ketika elite berebut kesempatan maju dalam
kompetisi.
Liberalisme
yang biasanya diikuti oleh kapitalisme juga membuka peluang bagi institusi
korporasi (termasuk asing) untuk turut mengatur sistem politik. Tak heran
kalau negara atau pemerintahan dalam sistem demokrasi liberal biasanya
dikendalikan oleh korporasi. Dengan demikian, tak jarang pula konflik politik
yang muncul sesungguhnya dilatari konflik antar-korporasi. Kondisi ini sangat
potensial membiaskan tujuan nasional suatu bangsa dan tujuan demokrasi itu
sendiri, yaitu ”kepentingan umum, kebaikan bersama” menjadi hanya tujuan
korporasi. Sebagai contoh, munculnya kebebasan mengeksploitasi sumber daya
alam.
John
Naisbitt (Global Paradox, 1994) menyinyalir transisi menuju demokrasi kerap
membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter ke situasi tanpa
otoritas. Globalisasi dengan mudah menyedot sebagian kedaulatan negara-bangsa
dan menyerahkannya kepada otoritas maya global. Sebagian lainnya kepada
otoritas daerah akibat otonomisasi sebagai syarat demokrasi.
Dengan
demikian, otoritas negara yang mutlak dibutuhkan untuk penegakan hukum,
pengendalian stabilitas politik serta potensi konflik menjadi lemah karena
tereduksi secara signifikan. Dalam kondisi ini, biasanya mekar masalah
primordialisme, lokalisme, dan tribalisme sehingga ancaman disintegrasi akan
membayangi dengan ketat.
Singkatnya,
sistem demokrasi liberal yang diterapkan pada masyarakat/bangsa yang belum
siap secara pendidikan dan kesejahteraan, atau kulturnya tak cocok, akan
membuat spektrum konflik jadi sangat luas dan sulit dikontrol. Terlebih bagi
Indonesia yang amat majemuk. Ironisnya, ada yang bangga Indonesia jadi negara
demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Namun, Economist Intelligence Unit (2010)
mengungkapkan, dari 167 negara demokrasi di dunia, Indonesia di urutan ke-60,
di bawah Timor Leste (42) dan Papua Niugini (59). Rendahnya peringkat ini
karena lemahnya variabel demokrasi, seperti kualitas penyelenggaraan pemilu,
apresiasi terhadap pluralitas, terutama kelompok minoritas; dan tingginya
korupsi serta kekerasan.
Dalam
bingkai membangun kewaspadaan, mengantisipasi besarnya potensi konflik serta
ancaman disintegrasi itulah seharusnya masalah keamanan nasional (kamnas)
dimaknai dan ditempatkan. Kamnas dengan ’K’ besar—mulai dari keamanan
individual dan keamanan masyarakat (’k’ kecil), sampai keamanan negara yang
di dalamnya terdapat aspek pertahanan—tidak mungkin hanya jadi tanggung jawab
satu institusi. Ia harus jadi tanggung jawab bersama secara terpadu dan
melibatkan banyak pihak. Karenanya, kita perlu kehadiran UU Kamnas yang akan
mengatur keterpaduan tersebut.
Kementerian
Dalam Negeri memperkirakan, di 2013 konflik horizontal dan komunal pada level
nasional dan daerah akan meningkat. Karena itu, perlu langkah antisipatif
agar konflik di daerah tidak meluas. Mendagri Gamawan Fauzi bahkan menilai
kondisi sosial politik di berbagai daerah sudah pada tahap mengkhawatirkan.
Indikatornya, jumlah kerusuhan yang terus bertambah sehingga dipandang perlu
menerbitkan Inpres Kamnas.
Memang
bisa dipahami jika ada pihak yang masih dihinggapi trauma karena dalam kurun
lama telah dimarjinalkan sekaligus dirugikan pemerintahan represif masa lalu.
Namun, hendaknya kini kita harus bisa memandang ke depan dengan lebih jernih,
jangan terus terjebak dalam trauma. Kita juga patut mewaspadai adanya
kelompok politik, ekonomi yang bermain di luar kepentingan nasional, yang
merasa kepentingannya akan terjegal oleh kehadiran UU Kamnas. Terkait draf
RUU Kamnas yang belakangan diributkan di DPR, penulis juga belum setuju
dengan beberapa klausul. Khususnya menyangkut fungsi Dewan Keamanan Nasional
serta formulasi ancaman karena memberi peluang dijadikan alat represif oleh
penguasa. Namun, menolak RUU Kamnas, menghapusnya dari program legislasi
nasional, adalah kesalahan besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar