Kemdikbud dan
Kompetensi Ilmiah
Bs Mardiatmadja ; Pendidik dan Rohaniwan
|
KOMPAS,
18 Januari 2013
Berkali-kali Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (juga stafnya) tampak kurang memahami keberatan
mereka yang mengkritik ”apa yang disebut Kurikulum 2013”. Kesenjangan itu
sangat tampak setiap kali ’yang bersangkutan’ diwawancarai di televisi/media.
Berkali-kali
ia katakan bahwa keberatan itu kebanyakan hanya mengenai implementasi; maka
dapat diatasi. Andai kata keberatan-keberatan tersebut hanya tentang
implementasi, tetap harus diperhatikan. Sebab, peristiwa UU Sistem Pendidikan
Nasional menunjukkan bahwa implementasi itu justru yang langsung berkaitan
dengan praksis sekolah. Dan, sekolah bukan pertama-tama soal teori manajemen
birokrasi dan sistem persekolahan, melainkan praksis mendidik di sekolah.
Apalagi, pendidikan persekolahan dilaksanakan tidak di Senayan (Kantor
Kementerian dan Kebudayaan/Kemdikbud) dan dalam ruang ”uji publik yang
direkayasa”, tetapi dalam ”interaksi antara murid dengan guru di kelas”.
Selain
itu, implementasi yang di-”entengkan” oleh Menteri Pendidikan
Lebih
jauh lagi, implementasi yang dipandang rendah itu mencakup kemampuan guru dan
manajemen kelas dan sekolah, yang sangat menentukan pelaksanaan praksis didik
di kelas. Ini satu hal yang bagi orangtua murid dan para murid sendiri
menjadi keprihatinan harian langsung (bukan yang diteropong dari jauh dari
kantor Kemdikbud di Senayan).
Padahal,
lebih mendalam lagi, kebanyakan orang yang mengkritik ”rencana pembaruan
kurikulum” itu lebih menunjuk bukan sekadar implementasi dari ”apa yang
disebut pemaduan mata-ajar”, tetapi pada pengertian dasar yang dipakai oleh
Kemdikbud untuk memahami ”ilmu” dan ”pewarisan budaya” serta ”pendidikan budi
pekerti atas dasar iman”. Ketiganya mencakup kredibilitas Mendikbud dan para
pembantu terdekatnya, yang dalam rapat-rapat persiapan perubahan kurikulum
tidak semua diikutsertakan.
Baik
dalam rancangan kebijakan di sekolah dasar maupun di sekolah tinggi sangat
menonjol bahwa Mendikbud dan pembantunya punya paham ilmu yang terbatas
sekali. Pada awal rapat-rapat pembaruan kurikulum ditekankan bagaimana dicari
struktur kurikulum yang mendorong keterpaduan bangsa. Dalam praktiknya,
kurikulum ini menyerapkan IPA dan IPS dalam ilmu-ilmu lain, yang justru
menyiapkan perpecahan.
Padahal,
IPA dan IPS adalah ilmu-ilmu yang menegaskan bahwa dari sudut suku dan agama
apa pun, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial menghendaki cara pandang
sama. Mempelajari IPA dan IPS secara jernih dapat menguatkan persatuan lintas
suku, lintas agama, dan lintas bangsa. Dengan demikian, murid-murid kita
dipersiapkan untuk pergaulan dan persaingan internasional secara jernih.
Cara
yang dipilih Mendikbud saat ini justru mengajarkan perpecahan bangsa sejak
anak usia muda, di samping tidak sesuai dengan pengertian ilmu yang jernih.
Menteri mempersiapkan sektarianisme sejak taman bermain/TK dan SD: hal itu
akan menghancurkan kesatuan Indonesia. Di dalamnya, meremehkan perbedaan ilmu
pasti, ilmu alam, dan ilmu sosial, yang biasanya membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk dikuasai; sekarang akan disuruh dikuasai guru hanya
dalam beberapa minggu.
Kedangkalan
pemahaman Mendikbud dan pembantunya yang terdekat ini tidak hanya kelihatan
dari pencampuran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia di pendidikan dasar, tetapi
juga mencolok dalam kebijakan di tingkat tinggi. Mirip pengertian serupa,
kementerian ini mempunyai paham ilmu yang mengecoh keilmuan jernih ketika
mengumpulkan filsafat dan teologi dalam ”ilmu agama”. Tampak sekali bagaimana
Mendikbud, dan pembantu terdekatnya yang tersangkut, mempersempit paham ilmu
filsafat dan ilmu teologi menjadi sekadar alat untuk menjelaskan pokok-pokok
dangkal agama. Itu pun kerap dipersempit hanya mengenai hal-hal sekitar ritus
dan ritual.
Pemahaman
tentang etika dan moral orang beriman dikudungi menjadi sekadar rangkaian
rumus dan slogan, tanpa murid diajak mendalami argumentasinya yang mendalam.
Padahal, baik filsafat maupun teologi—sudah sejak zaman Ibn Sina—tak mau
berhenti pada praktik agama harian belaka, tetapi mau sampai ke sejumlah
pengandaian dalam mengolah pemikiran dan pengertian bakti kepada Tuhan dengan
diperkuat oleh argumentasi nonsektarian. Tujuannya justru agar para pemeluk
agama, dari agama apa pun, dapat mempertanggungjawabkan keimanannya secara
lintas budaya dan lintas agama.
Memenjarakan
filsafat dan teologi dalam ilmu agama dan praktik ritual hanyalah aksi dari
sementara orang yang mau mengerdilkan agama sebagai rangkaian pepatah-petitih
yang harus dihafalkan sehingga menjadi keyakinan yang sulit
dipertanggungjawabkan akal budi. Tentu saja agama berkaitan dengan perwahyuan
yang harus diimani. Namun, iman melampaui akal budi, bukannya bertentangan
dengan akal budi. Maka, hal itu tidaklah mau mengatakan bahwa agama tak dapat
dipertanggungjawabkan oleh akal budi walau tak mau membatasi diri hanya pada
akal budi belaka. Karena itu, murid perlu dibimbing untuk mampu
mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya sebagai orang beriman. Hal itulah
yang diolah dalam berfilsafat dan berteologi.
Dengan
demikian, jelas, bahwa di balik usaha dalam pembaruan kurikulum SD ataupun
dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 terdapat satu semangat yang sama, yakni ”sikap
anti-akal budi” dalam diri orang beragama dan akan memecah-belah bangsa ini
sejak usia dini.
Gagasan
pembaruan Kurikulum 2013 ataupun UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi
masih menunjukkan kekeliruan berpikir dari sudut ilmu mendidik. Apa yang
disebut ”Kurikulum 2013” merebut dari tangan dan pangkuan umat dan orangtua:
hak dan kewajiban mendidik kerohanian anaknya. Kalau sekolah mau tetap dalam
kewajiban kenegaraan sejati, tidak tepatlah menugasi sekolah masuk dalam
ranah religiositas dini.
Perlu
diingat, pada usia dini sampai selesainya SD, murid butuh pendidikan
holistik, yang memadukan religiositas dengan seluruh kehidupan pribadinya;
baru kemudian segi akal budi dapat secara khusus dikembangkan; dan hal itu
tidak mungkin dilakukan oleh guru di sekolah. Tidak tepatlah argumen ”bahwa
orangtua tidak mampu mendidik agama anak-anaknya”: argumen itu melecehkan
religiositas orangtua dan merebut dari lembaga keagamaan dari kewenangannya.
Tidak seyogianya pemerintah dan kaki tangannya merebut hal itu. Selain itu,
justru karena kita semua berpendapat bahwa pendidikan religius adalah
penting, maka integrasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota
keluarga mutlak perlu; tidak seyogianya direbut sekolah (apalagi oleh
kementerian dan siapa pun).
Hal
serupa dapat mencolok dalam UU No 12/2012 yang memisahkan teologi dari
ilmu-ilmu sosial yang lebih luas. Sebab, dengan demikian, Kemdikbud
memenjarakan teologi khususnya, dan filsafat agama pada umumnya, sebagai
suatu kesibukan manusia yang tidak sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Dengan
demikian, Kemdikbud ini telah melecehkan teologi (dan filsafat agama) sebagai
kesibukan yang tidak sebanding dengan ilmu-ilmu lain. Kecuali itu, pembagian
dalam UU No 12/2012 mengandaikan bahwa pelayanan keilmuan kementerian-kementerian
dianggap sama saja. Dengan demikian, sebenarnya tidak dipedulikan kompetensi
keilmuan dalam pelayanan kenegaraan. Namun, dengan begitu dapat kita nilai
kredibilitas keilmuan sejumlah petugas dalam Kemdikbud, yang berpretensi
mengawal proses didik dan pengilmuan masyarakat.
Atas
dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, rencana pembaruan Kurikulum 2013
untuk SD tidak layak dan masih harus dipertimbangkan sekali lagi. Sementara
UU No 12/2012 perlu ditinjau kembali sehingga layak menjadi pegangan gerak
akademis yang jelas kompetensinya. Apabila tidak, Kemdikbud merosotkan
perannya menjadi tak kompeten karena kesempitan paham ilmiahnya dan tidak
cukup memiliki kredibilitas yang diperlukan untuk mengarahkan proses
pengilmuan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar