RENUNGAN NATAL
Semakin Beriman,
Semakin Berbelarasa
I Suharyo ; Uskup Keuskupan Agung Jakarta
|
KOMPAS,
24 Desember 2012
Sering terdengar pertanyaan seperti ini:
”Banyak tempat ibadah dibangun, ibadah dan kegiatan-kegiatan keagamaan di
negeri kita ini pun tampak semakin semarak. Namun, mengapa korupsi tidak
semakin surut, kekerasan semakin sering terjadi, masyarakat terkesan semakin
mudah terpecah belah?”
Pertanyaannya jelas, tetapi tentu tidaklah
mudah memberikan jawaban yang memadai karena di balik pertanyaan itu
tersembunyi realitas yang amat kompleks.
Sekurang-kurangnya, salah satu akar dari
masalah itu ialah indikatif iman yang tampak dalam ibadah-ibadah belum
melahirkan imperatif moral yang seharusnya terwujud dalam pola pikir dan
perilaku yang mulia.
Kalau dibaca dengan kacamata Pancasila,
Ketuhanan Yang Maha Esa belum cukup memajukan kemanusiaan yang adil dan
beradab. Belum kokoh mendasari persatuan Indonesia. Belum menjiwai kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Belum menjadi kekuatan yang mendorong orang untuk memperjuangkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Padahal, iman akan Tuhan Yang Maha Esa
seharusnya menjadi inspirasi bagi setiap dan semua warga bangsa untuk semakin
kreatif menciptakan berbagai mediasi agar terjadi transformasi sosial demi
kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Pesan Natal
Pada hari ini umat Kristiani merayakan
Natal, hari kelahiran Yesus. Di tengah-tengah bahaya komersialisasi Natal
yang dapat menjadikan perayaan ini dangkal dan hampa makna, umat Kristiani
perlu bertanya, imperatif moral apakah yang mesti disambut agar perayaan
Natal menjadi semakin bermakna dan berdaya untuk memperbarui kehidupan.
Makna dan daya ini ditentukan pula oleh
pemahaman iman yang memadai mengenai, apakah yang sebenarnya terjadi dengan
kelahiran Yesus.
Pesan Natal Bersama Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
mengajak umat Kristiani untuk merayakan Natal dengan keyakinan iman bahwa
dalam peristiwa kelahiran Yesus, Allah menyatakan kasih-Nya kepada umat
manusia.
”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal” (Yohanes 3:16).
Keyakinan iman bahwa Allah adalah kasih
merupakan buah dari kontemplasi yang membuat orang menjadi pribadi-pribadi
yang utuh dan matang serta siap menyambut imperatif moral dari iman yang
dipeluknya.
Imperatif Moral
Pentingnya keyakinan iman bahwa Allah
adalah kasih ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI. Pada 25 Desember 2005, ia
mengeluarkan ensikliknya yang pertama, yang berjudul ”Deus Caritas Est” atau
”Allah adalah Kasih”. Ensiklik ini pertama, bukan hanya dalam arti urutan
pada daftar tulisan Paus Benediktus XVI.
Dengan menulis ensiklik ini sebagai yang
pertama, Paus ingin memberikan perspektif karya penggembalaannya di dalam
gereja. Paus ingin menempatkan semua yang ia pikirkan, lakukan,
putuskan—semua karya penggembalaannya—dalam rangka mewartakan bahwa Allah
adalah kasih.
Dengan demikian, ia berharap berkembanglah
budaya kasih atau budaya hidup di tengah-tengah umat Kristiani pada khususnya
dan di tengah-tengah dunia pada umumnya.
Mengapa ini begitu penting bahkan
menentukan? Jawabannya ada dalam pengantar ensiklik itu. Di dalamnya, antara
lain, dikatakan, ”Dalam dunia, di mana nama Allah kadang-kadang dikaitkan
dengan balas dendam atau bahkan kewajiban akan kebencian dan kekerasan, pesan
ini amat aktual dan mengena” (nomor 1).
Kalau ini yang terjadi, yang akan terbangun
bukanlah budaya kasih, melainkan budaya kematian, melemah, atau bahkan
hancurnya keadaban publik yang tampak dalam berbagai gejala yang merendahkan
martabat dan merusak kehidupan bersama.
Imperatif moral yang diharapkan disambut
secara khusus oleh umat Kristiani yang merayakan Natal pada tahun ini,
dinyatakan pada akhir Pesan Natal Bersama PGI dan KWI.
Umat Kristiani diajak untuk melibatkan diri
dalam berbagai usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan,
seperti konflik kemanusiaan, perilaku intoleran, dan tindakan-tindakan yang
menjauhkan semangat persaudaraan sebagai sesama warga bangsa.
Peristiwa Natal mewajibkan seluruh umat
Kristiani untuk berperan dalam membangun persaudaraan pada tingkatan yang
berbeda-beda.
Selain itu, umat Kristiani juga didorong
agar terus berkembang dalam semangat belarasa. Dikatakan, ”melalui jabatan,
pekerjaan dan tempat kita masing-masing dalam masyarakat, kita ikut
sepenuhnya dalam semua usaha yang bertujuan memerangi kemiskinan jasmani
ataupun rohani”.
Belarasa bukan hanya tertuju kepada sesama
manusia, melainkan juga terhadap alam ciptaan. Ditegaskan, ”... kita
dipanggil untuk melestarikan dan menjaga keutuhan ciptaan dari perilaku
sewenang-wenang dalam mengelola alam”.
Perilaku tidak bertanggung jawab terhadap
alam ciptaan akan menyengsarakan bukan hanya kita yang hidup saat ini,
melainkan terlebih generasi yang akan datang. Kita sambut ajakan ini dengan
semakin kreatif mencari jalan untuk mewujudkannya.
Semoga dengan merayakan Natal tahun ini,
kita menjadi semakin beriman, semakin bersaudara, dan semakin berbelarasa.
Selamat hari raya Natal dan selamat menyambut Tahun Baru 2013 dengan penuh
harapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar