|
Pengelolaan
Dana Haji
Ahmad Rofiq ; Sekretaris Umum MUI Jateng, Guru Besar
Hukum Islam IAIN Walisongo, Ketua Umum Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia
- Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 20 Desember 2012
|
KOMISI VIII DPR hari-hari ini
sedang menyiapkan regulasi tentang pengelolaan dana haji. Hal itu karena
Kemenag membuka sistem pendaftaran pelaksanaan ibadah haji tiap hari (day to
day open) yang berimplikasi menambah panjang daftar tunggu (waiting list). Di
satu provinsi, daftar tunggu ada yang 15 tahun, 20 tahun, dan di Jateng 11-12
tahun. Bahkan calhaj lewat BPIH khusus, yang sering disebut haji plus, dengan
minimal BPIH Rp 62 juta terkena daftar tunggu sampai 4 tahun.
Ke mana, dan
untuk apa pengelolaan dana jemaah calhaj, yang diperkirakan menghasilkan
bunga di bank konvensional (atau bagi hasil di bank syariah) Rp 1,7
triliun/ tahun atau sekitar Rp 100 miliar/ bulan? Asumsi itu
mendasarkan pada biaya berhaji yang dulu Rp 20 juta kini menjadi Rp 25,5
juta.
Ironisnya,
dana atas nama rekening Menag yang parkir di bank-bank syariah, oleh
Kemenag dipindahkan ke bank konvensional, sebagian dibelikan surat
utang negara syariah (sukuk). Mestinya, dana calhaj di bank syariah tidak
dipindah ke bank konvensional karena dikhawatirkan tercampur dengan
riba.
Tanggal 7
Desember 2012 Komisi VIII DPR berkunjung ke Jateng guna menyerap aspirasi
terkait pengelolaan dana calhaj. Saya menyampaikan beberapa masukan agar
regulasi yang dihasilkan sesuai dengan syariah, dan dirasa adil oleh calon
haji.
Ada beberapa
poin yang perlu diperhatikan oleh anggota Komisi VIII DPR. Pertama;
kepemilikan dana jemaah calhaj. Dana BPIH di rekening Menag adalah milik
calhaj karena jemaahlah yang menyetor, dan menunggu antrean panjang. Karena
itu, bila karena sesuatu hal, calhaj menemui halangan syar'iy yang
menyebabkan tidak bisa berangkat, dana itu harus dikembalikan.
Selama ini,
ada pemahaman dana bunga (atau bagi hasil) dari dana BPIH calhaj adalah milik
Kemenag. Meskipun katanya dipakai untuk optimalisasi pelayanan haji di Tanah
Suci, tidak serta-merta dana itu halal karena pemanfaatannya tidak seizin dan
sepersetujuan calhaj pemilik uang itu. Jika Kemenag ngotot
mempertahankan pola itu harus ada kontrak tertulis yang bisa
ditandatangani saat calhaj menyetorkan BPIH ke bank.
Kedua; bila
Kemenag mau melaksanakan secara benar, kembalikan sistem dan pelaksanaan
pengelolaan dana jemaah tetap pada kepemilikan jemaah dan romor rekening
Menag hanyalah wadah semata. Saat calhaj akan melunasi BPIH sesuai daftar
tunggu, dia berhak atas bagian dari bunga (atau bagi hasil) sesuai dengan
daftar tunggu.
Contohnya,
bila tiap calhaj diasumsikan mendapat bunga Rp 1,4 juta/ orang/ tahun maka
dan jika daftar tunggunya 10 tahun, terakumulasi dana Rp 14 juta. Seandainya
biaya pelunasan ONH Rp 15 juta berarti calhaj itu hanya perlu menambah Rp 1
juta. Jika model ini diaplikasikan, BPIH di Indonesia relatif sangat
murah.
Ketiga; sudah
saatnya Kemenag memiliki komitmen untuk menerima dan mengelola dana haji di
perbankan syariah. Selain untuk meninggalkan pengelolaan dana haji secara
nonribawi, ada manfaat ganda. Bagi calhaj lebih membawa berkah karena
terhindar dari praktik ribawi.
Bank-bank
syariah pun mendapat manfaat pertambahan aset, apakah itu melalui BPIH
langsung lunas, tabung haji, atau produk dana talangan haji yang belakangan
menjadi kontroversi.
Total aset
perbankan syariah yang sejak akhir 2008 ditarget mencapai 5%, ternyata hingga
akhir 2012 masih belum beranjak dari 4,2%. Apalagi ketika banyak dana haji
ditransfer ke bank konvensional. Ironis memang.
Talangan Haji
Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) memfatwakan lewat fatwa Nomor
29/DSN-MUI/VI/2002 bahwa perbankan syariah dapat membiayai pengurusan haji
kepada mereka yang berminat, dan dapat merencanakan secara jelas bahwa pada
saat menunaikan ibadah haji, sudah tak punya tanggungan lagi ke bank. Namun
biaya ujrah (jasa) pengurusan, tidak boleh dikaitkan dengan besaran dana
talangan.
Ada 3 komentar
miring soal dana talangan haji. Pertama; soal istitha'ah. Ada yang mengatakan
haji menggunakan dana talangan belum wajib karena belum mampu. Ini pemahaman
keliru. Pasalnya bila calhaj menggunakan dana talangan di perbankan syariah,
ia menggunakan akad qardl, dan ketika berangkat haji otomatis ia sudah
melunasi, termasuk membayar ujrah kepada bank yang mengurus dan
menalangi.
Kedua; ada
yang dengan emosional menilai dana talangan haji ini diskriminatif karena
dianggap menghalangi yang mampu. Ini adalah ungkapan keangkuhan yang
menganggap calhaj yang menggunakan dana talangan dianggap tidak mampu (istitha'ah).
Hemat saya, sistem pendaftaran haji day to day open masih diperlukan, agar
distribusi kesempatan lebih merata. Dana talangan haji pun tidak perlu
dirisaukan karena calhaj yang menggunakan jasa ini, pada saat berangkat
berarti sudah melunasi.
Yang
terpenting, Kemenag perlu memahami bahwa dana BPIH adalah milik jamaah.
Karena itu perlu langkah konkret, pertama; meminta kepada calhaj agar bunga
atau dana bagi hasil itu diinfakkan atau disedekahkan ke pemerintah/ Kemenag
demi optimalisasi pelayanan ibadah atau, kedua; mengembalikan bunga atau dana
bagi hasil itu kepada calhaj yang diperhitungkan pada saat calhaj akan
melunasi BPIH. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar