Jumat, 21 Desember 2012

Pilkada 2013, Berakhir Sudah Pesta Keluarga


Laporan Akhir Tahun 2012 Nusantara
Pilkada 2013, Berakhir Sudah Pesta Keluarga
KOMPAS, 21 Desember 2012


Tahun 2012 segera berakhir. Makmun Ibnu Fuad segera menjadi Bupati Bangkalan, Jawa Timur, menggantikan ayahnya, Fuad Amin. Makmun berpasangan dengan Mondir Rofii. Mereka terpilih dalam pemilihan umum kepala daerah, yang sering disebut pesta demokrasi. Selain Makmun adalah anak Bupati Bangkalan, Mondir adalah adik kandung Syafik Rofii, yang kini menjabat Wakil Bupati Bangkalan.
Makmun-Mondir dipilih rakyat Bangkalan. Undang-Undang Dasar 1945 tak melarang anak mencalonkan diri dalam pilkada untuk menggantikan ayahnya atau seorang adik maju menggantikan kakaknya. Tak ada aturan hukum yang dilanggar karena rakyat yang menjadi penentu.

Makmun tak sendirian. Tahun 2012 Ahmed Zaki Iskandar terpilih sebagai Bupati Tangerang, Banten. Ahmed menggantikan ayahnya, Ismet Iskandar, yang tak mungkin mencalonkan diri lagi. Konstitusi membatasi masa jabatan kepala daerah, juga kepala negara, dua periode.

Makmun dan Ahmed bukan orang pertama yang terpilih oleh rakyat untuk menggantikan ayah mereka memimpin daerah. Sebelumnya ada Ni Putu Eka Wiryastuti yang sejak 2010 menjadi Bupati Tabanan, Bali. Ia menggantikan ayahnya, N Adi Wiryatama, yang dua periode memimpin.

Ada juga Tubagus Iman Aryadi yang menjadi Wali Kota Cilegon, Banten, sejak 2010. Ia menggantikan ayahnya, Tubagus Aat Syafaat, yang tak bisa dipilih lagi. Di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, ada Rita Widyasari yang menjadi bupati sejak tahun 2010. Rita tak langsung menggantikan Syaukani HR, ayahnya, yang terbelit kasus korupsi tahun 2006.

Istri juga Tampil

Seperti tahun sebelumnya, tak hanya anak yang tampil sebagai penerus kepemimpinan keluarga di suatu daerah. Tahun 2010 juga memunculkan fenomena istri terpilih sebagai kepala daerah, menggantikan suaminya yang tak mungkin mencalonkan diri. Ada Anna Sophanah yang menjadi Bupati Indramayu, Jawa Barat, menggantikan suaminya, Irianto MS Syafiuddin, atau Sri Surya Widati sebagai Bupati Bantul, DI Yogyakarta, menggantikan suaminya, Idham Samawi.

Di Jawa Timur ada Haryanti Sutrisno yang menggantikan suaminya, Sutrisno, sebagai Bupati Kediri. Tahun ini Jawa Timur juga memunculkan Puput Tantriana Sari yang terpilih sebagai Bupati Probolinggo, menggantikan suaminya, Hasan Aminudin.
Di Jawa Barat tahun ini memunculkan Atty Suharti Masturi sebagai Wali Kota Cimahi. Ia terpilih menggantikan Itoch Tochija, suaminya.

Sejauh ini baru tingkat bupati atau wali kota yang jabatannya ”bisa” diwariskan kepada istri atau anak meski tetap dalam pemilihan. Belum ada istri atau anak yang menggantikan suami atau ayahnya menjadi gubernur. Tentu dalam kasus ini DI Yogyakarta harus dikecualikan.

Selain kemunculan anak atau istri yang tampil mengambil alih ”kursi” ayah atau suami, tak sedikit pula anak atau istri, bahkan suami, yang seperti dimagangkan pada jabatan politis lain. Pemilu menjadi jalan untuk keterpilihan mereka.

Desember ini, putra Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang, Ivan Sarundajang, terpilih sebagai Wakil Bupati Minahasa. Sebelumnya, Rycko Mendoza, anak Gubernur Lampung Sjachroedin Z Pagaralam, terpilih sebagai Bupati Lampung Selatan. Airin Rachmi Diany, adik ipar Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, menjadi Wali Kota Tangerang Selatan.

Dalam diskusi mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, November lalu, di Redaksi Kompas, Jakarta, Airin mengingatkan, tak ada yang salah dengan terpilihnya sanak saudara kepala daerah menjadi kepala daerah. Rakyat melihat mereka berkualitas.

Sejumlah kerabat Ratu Atut, termasuk suami, anak, dan menantunya, menduduki sejumlah jabatan politis di negeri ini. Ada pula Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo; Bupati Lebak, Banten, Mulyadi Jayabaya; Gubernur Kalimantan Tengah A Teras Narang; dan Ketua DPRD Jawa Tengah (nonaktif) Murdoko yang kerabatnya menyebar menduduki jabatan politis di daerah dan pusat.

Pesta Segera Berakhir

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan mengatakan, politik kekeluargaan yang marak di daerah berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Sebab, pemimpin baru yang masih sekeluarga bisa hanya menjadi boneka dan dikendalikan oleh pemimpin yang lama. Kejadian ini adalah bentuk nepotisme dan kolusi yang mengatasnamakan demokrasi.

Bupati Bantul Sri Surya Widati tak menampik beberapa kali meminta pendapat suaminya. Idham tentu memiliki banyak pengalaman yang bisa dibagikan. Namun, ia bukan kepala daerah boneka (Kompas, 14/11).

Joko Susanto, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, menambahkan, hukum tidak melarang pergantian kepemimpinan nasional atau daerah oleh keluarga. Namun, perilaku ini jelas merugikan rakyat. Calon berkualitas terhalang tampil sehingga bisa merugikan kelanjutan sistem pemerintahan yang baik.

Kegerahan ini ditangkap oleh Kementerian Dalam Negeri. Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, revisi atas UU No 32/2004 mengatur keluarga kepala daerah petahana tak boleh mencalonkan diri dalam pilkada berikutnya, sampai satu periode terlewati. Aturan ini diberlakukan bagi ayah/ibu, anak/menantu, suami/istri, atau kakak/adik dari kepala daerah petahana.
Usulan ini sudah dimasukkan ke dalam draf Rancangan UU tentang Pilkada, yang adalah pecahan dari revisi UU Pemerintahan Daerah. Fraksi di DPR memang belum tentu menyepakati usulan pemerintah ini. Namun, harus diakui, pengaturan itu baik untuk masyarakat.

Tahun 2013 segera tiba. Tahun ini diwarnai dengan 13 pemilihan gubernur-wakil gubernur dan lebih dari 50 pemilihan bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota. RUU Pilkada tahun 2013 akan diundangkan. Jika pembatasan terhadap keluarga kepala daerah petahana itu disepakati, tahun 2013 pesta keluarga dalam demokrasi segera berakhir. (ODY/ILO/tra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar