|
Laporan Akhir
Tahun Bidang Metropolitan
Jakarta Baru
dengan Wajah Lama
|
KOMPAS,
19 Desember 2012
|
Pesta rakyat digelar di
depan Balaikota Jakarta pada pertengahan Oktober 2012. Ribuan warga dan
pedagang keliling tumpah ruah di jalanan, larut dalam kegembiraan,
menyaksikan pelantikan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017.
Kehadiran
mereka secara sukarela dalam pesta rakyat yang tidak pernah terjadi di
republik ini menjadi bukti besarnya modal sosial dan politik yang dimiliki
Jokowi-Basuki. Kondisi itu harus bisa digunakan oleh Jokowi-Basuki sebagai
energi lahirnya partisipasi aktif warga dalam pembenahan berbagai persoalan
Jakarta.
Bentuk
penghargaan itu adalah menjadikan warga sebagai subyek dan bukan obyek dari
program pembangunan Jakarta. Mereka harus dilibatkan
dalam
urun rembuk warga, melalui berbagai forum sosialisasi kebijakan dan diskusi.
Masukan
mereka harus diapresiasi sebagai bagian dari bahan perumusan hingga penerapan
kebijakan dalam penanganan kemacetan, banjir, air bersih, sampah, pelayanan
kesehatan, akses pendidikan, revitalisasi warga bantaran sungai, transportasi
publik, pedagang kaki lima, penataan pasar, serta pembangunan perumahan bagi
warga miskin, dan infrastruktur.
Namun,
sayangnya dalam perjalanan dua bulan gubernur baru, warga merasa tidak puas.
Beberapa kali warga dari wilayah tertentu demo menolak penggusuran, menolak
penataan, dan sebagainya. Warga tidak sabar. Harapan mereka lahirnya ”Jakarta
Baru” seperti membalik telapak tangan. Ibaratnya, seperti orang menggigit
cabai, sekali gigit langsung terasa pedasnya. Padahal, penanganan masalah
laten ini tak mudah, butuh proses dan waktu.
Lepas
dari pro dan kontra soal tuduhan lambannya penanganan Jakarta, tidak adanya
konsep dasar dalam penanganan macet, banjir, revitalisasi warga bantaran
kali, serta lamanya pembuatan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2030, tuduhan
itu tetap tak adil.
Mereka
tidak bisa dianggap gagal atau tidak mampu menjalankan harapan. Jokowi-Basuki
baru bekerja dua bulan. Mereka pun sadar, menangani Jakarta tidak semudah
membalik telapak tangan. Banyak institusi pusat dan daerah yang memiliki
tali-temali. Berbagai aturan itu membelit, yang tidak bisa ditangani sendiri
oleh DKI.
Berkaitan
dengan beberapa masalah itu, pakar perencana kota mengusulkan agar pemimpin
baru ini merumuskan secara jelas bagaimana membangun Jakarta, apa konsepnya,
bagaimana menempatkan warga sebagai subyek dan bukan obyek, serta apa
fokusnya.
Putusan
kebijakan juga tidak bisa disampaikan sepotong-sepotong atau dilontarkan
secara door stop. Hal itu tidak hanya berpotensi memerangkap para pengambil
kebijakan, tetapi juga bisa menjadi pukulan balik dan melahirkan
ketidakpercayaan publik.
Berkaitan
dengan itu, bagaimana sekarang Jokowi-Basuki secara jelas dan transparan
membangun visi dan misi di era kepemimpinan mereka membangun Jakarta.
Bagaimana mewadahi warga DKI yang tinggal di dalamnya. Penanganan itu tidak
hanya sebatas pada pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan nonfisik
berkaitan dengan perbaikan kesejahteraan dan kesehatan intelektual warga.
Detail
persoalan ini harus bisa dirumuskan dalam RDTR yang bisa diakses dengan baik
oleh birokrat, warga, pelaku ekonomi, ataupun lembaga swadaya masyarakat. Hal
ini penting agar jangan sampai RDTR dipelesetkan menjadi ”rencana detail
tanpa rencana” karena bisa diubah setiap saat tanpa mengindahkan aturan.
Dengan
berpegangan pada RDTR itu, semua pihak bisa mengontrol dan melihat pola
pembangunan Jakarta seperti apa dalam 5, 10, atau 25 tahun ke depan. Kondisi
itu harus diawasi secara ketat agar tidak dibajak oleh para pemilik
kepentingan, terutama pemilik modal dan pengembang.
Persoalan
Jakarta memang berat dan kompleks. Jakarta memang beda dengan daerah lain di
negeri ini. Jakarta sebagai ibu kota negara memiliki segudang persoalan. Di
dalam kota ini hidup mulai dari gelandangan sampai presiden, dari pedagang
kaki lima sampai konglomerat, dari orang tak berpendidikan sampai profesor, dan
dari orang baik-baik sampai kriminalitas kelas kakap.
Karena
itu warga memilih Jokowi-Basuki memimpin Jakarta. Mereka berharap pemimpin
baru ini mampu melahirkan harapan baru. Bukan menjadikan ”Jakarta Baru”
dengan wajah lama yang kumuh, miskin, dan pengap.
Mimpinya,
Jokowi bisa membangun sistem transportasi yang baik sehingga hidup mereka
tidak habis di jalan karena terperangkap kemacetan akibat parkir liar,
transportasi tak memadai, kondisi jalan yang tidak bertambah, dan banjir.
Kepengapan
Jakarta karena sedikitnya ruang terbuka hijau, penyerobotan lahan, permukiman
kumuh yang terus menjamur, dan pembangunan superblok tanpa memperhatikan
aspek lingkungan sekitar. Akibatnya, secara psikologis warga menjadi tidak
sehat, tidak sabaran, dan mudah marah.
Tidak
heran di Jakarta sering terjadi gesekan dan konflik horizontal ataupun
vertikal. Tantangan besar ini harus bisa diselesaikan oleh Jokowi-Basuki.
Peluang pembenahan itu sangat mungkin karena mereka berdua memiliki modal
sosial dan politik yang besar. Tinggal bagaimana mereka memanfaatkannya.
Mereka berharap ”Jakarta Baru” dengan wajah baru dan bukan ”Jakarta Baru”
dengan wajah lama. Selamat bekerja Pak
Jokowi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar