Berdamai
dengan Nasib
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
|
SINDO,
21 Desember 2012
Berasal dari
bahasa Arab, nasib artinya bagian, jatah, atau sering juga dipahami sebagai
takdir: baik maupun buruk.Apa yang kita sebut nasib sesungguhnya bukan
sesuatu yang terjadi tanpa sebab, melainkan sebagian adalah produk atau
akibat dari apa yang kita lakukan.
Semesta ini,atas kasih Tuhan, bagaikan sosok ibu yang selalu memberi dan melayani kepada manusia sebagai penghuninya. Semua keperluan manusia disediakan dan dilayani oleh Bumi, sampai-sampai Planet Bumi disebut sebagai sosok ibu pertiwi. Dengan bekal kemerdekaan, nalar,tangan, dan berbagai organ tubuh lain manusia secara sangat mengesankan telah berhasil menciptakan berbagai peralatan teknis agar hidup menjadi lebih nyaman. Mobil, misalnya, sangat membantu beban kerja kaki untuk membawatubuhke mana-mana. Telepon, misal yang lain, telah membantu kelemahan telinga untuk mendengarkan suara jarak jauh,dan seterusnya. Jadi, apa yang terjadi dan kita lakukan dalam hidup ini,di sana terdapat banyak pihak yang terlibat dan ikut andil, namun peran seseorang ikut aktif dan memberi andil paling besar di dalamnya. Karena itu, ketika seseorang memperoleh nasib kehidupan, entah itu membahagiakan atau menyengsarakan, sebaiknya direnungkan, seberapa besar andil yang dilakukan dan seberapa besar yang datang dari pihak lain. Sekadar contoh,ketika seseorang mendapat musibah akibat bencana alam seperti halnya tsunami atau gunung meletus, ada faktor luar yang memang di luar dugaan dan kemampuan seseorang untuk mencegahnya. endati demikian, dalam kehidupan sehari-hari nasib seseorang akan banyak ditentukan oleh pribadi yang bersangkutan. Sampai-sampai ada ungkapan, dunia selalu membuka seribu pintu sukses,tapi hanya sedikit orang yang memasukinya. Ini menunjukkan bahwa seseorang sesungguhnya paling bertanggung jawab menentukan nasibnya sendiri. Bagi orang yang bermental pemenang dan sukses, berbagai kesulitan dan tantangan akan dilihatnya sebagai ujian dan tangga untuk naik kelas. Tak ada kesuksesan diraih tanpa kerja keras. Contoh paling nyata ada dalam dunia pendidikan. Orang yang tidak merasakan pahit getirnya mencari ilmu,maka orang itu belum pernah menjadi pembelajar yang serius. Begitu pun dalam kehidupan, saya yakin orang-orang tua yang saat ini tergolong sukses, pasti masa lalunya pernah menjalani pertarungan berat untuk mengalahkan berbagai impitan dan tantangan hidup. Tapi sangat disayangkan banyak orang tua yang justru memasung anak-anaknya untuk tumbuh kuat dengan cara memanjakan mereka.Seakan mereka memberi madu, padahal racun yang selalu disuapkan pada anak-anaknya.Hanya dengan pengalaman bekerja keras dan mampu mengatasi kesulitan seorang anak akan tumbuh jadi kuat. Sering kita kagum pada prestasi orang yang sukses dengan jabatan, kekayaan dan popularitas yang cukup menonjol dan mengundang decak kagum orang lain,namun kita tidak mau mempelajari dan menghargai proses dan perjuangan hidupnya ke arah sana. Proses panjang inilah yang mulai hilang dalam dunia pendidikan, dunia kerja, dan dunia politik.Padahal,kebahagiaan dan keotentikan hidup justru diraih dan dirasakan dalam menjalani proses itu,bukan loncat ke hasil akhir. Ibarat membangun rumah, meski dari kejauhan terlihat gagah, tinggi dan megah, jika fondasi dan pilarnya tidak solid dan kokoh pasti mudah roboh ketika ada guncangan angin besar atau gempa bumi. enomena ini juga terlihat dalam karier seseorang yang begitu cepat melejit jadi kaya dan populer dengan jabatan yang dipegangnya, namun karena tidak diraih dan dibangun secara solid dan otentik, banyak yang terjungkal dan oleng. Tidak bisa jadi tempat sandaran dan berteduh yang kokoh bagi rakyat yang memerlukan layanan dan perlindungan. Lagi-lagi ini semua tak lepas dari andil dan akumulasi perilaku yang telah diinvestasikan sebelumnya. Dengan kata lain, setiap orang pada akhirnya akan menerima nasib dari apa yang dia tanam dan perjuangkan. Karenanya, jika ada musibah dan menuai buruk dalam kehidupannya, semua itu merupakan panen dan cermin diri dari yang telah dilakukan sebelumnya secara akumulatif yang mungkin sekali kita abaikan dan lupakan. Nasib itu akan semakin dirasakan ketika seseorang telah panjang dalam menjalani dan menelusuri lorong-lorong kehidupan. Pada satu saat kita mesti menerima dan berdamai dengan nasib yang merupakan cermin dan anak kandung kita sendiri.Karenanya, jatah umur dan kecerdasan seseorang bisa saja sama, namun nasibnya akan berbeda.Di situlah makanya nasib lalu diartikan sebagai takdir, sebuah garis tangan kehidupan. Siapa yang membuat garis? Kita semua ikut membuatnya. Hanya saja,mumpung kita masih diberi fasilitas umur, sering-seringlah membaca rapor nasib kehidupan kita. Rapor yang nilainya merah diperbaiki agar menjadi biru. Berdamai dengan nasib berarti kita berdamai dan menerima diri kita sendiri, bukan hanya sibuk menyalahkan pihak lain, lalu belajar dan berusaha memperbaiki arah dan kualitas hidup ke depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar