Anti Asing dan
Model Bisnis Hulu Migas
A Rinto Pudyantoro ; Praktisi Migas dan Penulis Buku A-to-Z
Bisnis Hulu Migas
|
SINDO,
21 Desember 2012
Pembubaran
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) yang belum lama ini terjadi salah satunya
mendasarkan pada pertimbangan bahwa BP Migas dianggap pro-asing,sehingga
menimbulkan inefisensi, akibatnya negara potensial menanggung kerugian.
Tuduhan itu sendiri masih dapat diperdebatkan. Mari dalam kesempatan ini kita
membahas posisi modal asing dalam bisnis migas.
Kembali ke Perdebatan Tahun 50-an Jauh-jauh hari sebelum putusan MK, BP Migas dan beberapa pakar telah berupaya menjelaskan dan memberikan argumen bahwa pengusahaan migas adalah kegiatan bisnis yang dilakukan oleh BP Migas mewakili negara yang dijamin pro-kepentingan nasional. Argumentasi yang digunakan adalah Pasal 4 UU Nomor 22/2001 tentang Migas yang menyatakan bahwa kekayaan sumber daya alam migas dikuasai oleh negara,yang kemudian dilimpahkan kepada pemerintah. Adapun BP Migas adalah badan yang dibentuk pemerintah untuk melakukan pengusahaan hulu migas. Sesuai UU Migas,BP Migas hanya sebagai badan pelaksana, hanya melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah. Ayat tersebut yang dianggap ampuh oleh para ahli hukum untuk menjelaskan bahwa pengusahaan migas tidak proasing, belakangan justru dianggap bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 oleh MK. Amar putusan MK sebenarnya tidak spesifik membahas pro dan anti-asing. Tetapi mencermati wawancara para hakim MK pada beberapa media dan presentasi mereka,menunjukkan bahwa pro-asing yang dipahami adalah pengusahaan hulu migas yang tidak dilakukan sendiri oleh negara dan melibatkan kontraktor asing serta menggunakan modal mereka. Perdebatan seperti ini sebenarnya pernah terjadi pada tahun 1950-an.Pada waktu itu sebagian tokoh memilih pengusahaan hulu migas dilaksanakan sendiri tanpa melibatkan kontraktor. Landasan berpikirnya, relatif sama dengan para pemohon, bahwa pengelolaan yang dilakukan sendiri akan memberikan pendapatan yang lebih besar. Selain juga penggunaan modal asing ditengarai akan menimbulkan ketergantungan terhadap asing. Semangat kemerdekaan pada saat itu sangatlah kental, sehingga menerima modal asing dapat dianggap antikemerdekaan. Justru sebaliknya, beberapa perusahaan Belanda telah dinasionalisasikan secara paksa. Namun kemudian disadari, nasionalisme yang demikian ini tidak dapat mewujudkan keinginan untuk mengeksplorasi migas yang ada di dalam perut bumi. Karena untuk melakukan lifting migas membutuhkan modal dan dana yang cukup besar dengan risiko kegagalan yang cukup tinggi. Karena itu Mohammad Hatta menyampaikan pikirannya, dengan maksud untuk memberikan jalan tengah sekaligus meyakinkan kepada masyarakat, bahwa melibatkan modal asing bukan berarti menggadaikan kemerdekaan.Yang paling penting kendali dan penguasaan sumber daya alam migas tetap berada pada negara. Modal asing harus dipandang sebagai pendukung saja. Kontrak Jasa sebagai Alternatif Selanjutnya jalan tengah sebagai perwujudan dari semangat nasionalisme yang tinggi, yang memegang teguh kedaulatan migas tetap ada pada negara, sekaligus menjamin ketersediaan modal untuk pencariaan cadangan migas diberlakukan pola kerja sama dalam bentuk kontrak bagi produksi (production sharing agreement/ PSA).Model bentuk lama seperti konsesi dan lisensi dan kontrak karya ditinggalkan dan dianggap tidak sesuai semangat Pasal 33 UUD 1945. PSA Indonesia pada waktu itu didesain dengan tiga ketentuan pokok: sumber daya alam migas tetap dikuasai negara sampai di titik penyerahan, kontraktor menyediakan modal (yang tidak terbatas sejauh yang dibutuhkan) keahlian dan menanggung risiko, dan manajemen ada pada negara/ pemerintah. PSA yang pada waktu itu dianggap sebagai jalan tengah, mampu memenuhi kesenjangan kebutuhan modal sekaligus keengganan negara menanggung risiko terhadap kegagalan bisnis, rupanya pada saat ini kembali digugat dan dianggap tidak prorakyat. Pasalnya didefinisikan oleh MK (mengacu pada penggugat UU Nomor 22/2001) bahwa yang prorakyat itu adalah kegiatan usaha dilaksanakan sendiri, tidak boleh ada modal asing. Pemahaman ini membawa konsekuensi bahwa seluruh pekerjaan pencarian dan pengembangan lapangan hulu migas harus disiapkan oleh negara/ pemerintah. Data keuangan migas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2002 hingga 2012 sebesar USD1,3 miliar dana telah dibenamkan oleh kontraktor yang hilang karena upaya mencari cadangan migas tidak menemui hasil. Artinya, negara/pemerintah harus siap untuk menyediakan dana, paling tidak sebesar USD130 juta per tahun dengan risiko uang tersebut hilang tanpa hasil. Untuk operasional,jika mengacu pada program kerja tahun 2012,setiap tahun paling tidak dibutuhkan dana sebesar USD15 miliar. Untuk kebutuhan pengembangan dua lapangan di Blok Cepu, Natuna, dan Masela, serta pengembangan Tangguh Train 3 dibutuhkan tidak kurang dari USD180 miliar untuk kira-kira pekerjaan selama tiga tahun. Bila saja keseluruhan modal tersebut telah tersedia maka pilihan pola bisnisnya menjadi lebih bervariasi.Tidak saja berhenti pada PSA.Namun juga dapat menggunakan pola kontrak jasa (service contract). Pengusahaan hulu migas dengan pola kontrak jasa, menegaskan bahwa pemilik usaha adalah negara/pemerintah. Hal ini dipertegas dan ditunjukkan dengan penguasaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh negara/pememerintah. Risiko kegagalan bisnis seluruhnya berada di negara/ pemerintah. Kontraktor adalah pekerja yang menyediakan jasa dan keterampilannya. Kontraktor diberikan fee yang wajar sesuai kesepakatan.Model seperti itu disebut juga pola bisnis kontrak jasa murni. Jika kontrak jasa dikombinasikan dengan membebankan sebagian risiko bisnis kepada kontraktor, maka model seperti itu disebut dengan kontrak jasa berisiko.Namun,kontrak jasa berisiko tidak dapat menghilangkan sama sekali risiko pencariannya minyak. Tidak seperti sistem PSA yang mampu memberikan jaminan bahwa negara/pemerintah tidak memiliki risiko sedikit pun terhadap kegagalan menemukan cadangan migas. Benci tapi Rindu Sistem perekonomian Indonesia yang saat ini sangat terbuka tidak memungkinkan lagi untuk menghindari imbas globalisasi yang diikuti dengan masuknya modal asing. Modal asing itu kemudian merembes ke mana-mana, tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Sementara itu, semangat antimodal asing, seperti yang diperjuangkan hingga munculnya keputusan MK yang membatalkan beberapa ayat terkait BP Migas,sudah pasti akan siasia jika tidak diikuti kemampuan dan ketersediaan modal sendiri. Kontrak jasa adalah salah satu alternatif solusi menggantikan PSA.Kontrak jasa lebih mencerminkan kedaulatan dan penguasaan sumber daya alam migas jika dibandingkan dengan PSA. Namun, model bisnis kerja sama menggunakan kontrak jasa mensyaratkan kecukupan modal negara/ pemerintah. Pertanyaannya, apakah negara/ pemerintah sudah cukup siap dan memiliki modal yang cukup untuk melakukan pengusahaan hulu migas? Seringkali modal asing itu tidak diinginkan, tapi senyatanya masih dibutuhkan, bahkan dirindukan. Mungkin ini yang dimaksud dengan benci tapi rindu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar