Aceng Fikri
dan Psikomasokisme Perempuan
Bhetty Nur Evan ; Penggiat Perempuan dan Pemberdayaan
|
SINAR
HARAPAN, 20 Desember 2012
Perilaku Aceng Fikri, Bupati Garut yang menceraikan Fani Oktara,
perempuan yang dinikahi siri melalui SMS dengan alasan keperawanan menuai
kecaman publik. Aceng dinilai publik sebagai pejabat yang tidak memiliki
etika moral dan sikap keteladanan.
Perilaku Aceng Fikri tersebut juga dipersepsi sebagai wujud
tindakan pelecehan martabat perempuan. Perempuan seolah dianggap
"komoditas" untuk kepentingan laki-laki. Menurut cerita, perilaku
Aceng Fikri tersebut tidak hanya tertuju kepada sosok gadis berumur 18 tahun
Fani Oktara, banyak perempuan yang menjadi korban Aceng dengan modus serupa.
Perilaku yang tidak memartabatkan perempuan dari sosok pejabat
publik, Bupati Garut Aceng Fikri oleh kalangan penggiat kesetaraan gender
dinilai sebagai wujud kekerasan sosiologis terhadap perempuan. Komnas
Perempuan bahkan menganggap Aceng sebagai sosok yang agresif melakukan
pelanggaran hak asasi perempuan (HAP).
Mendagri Gamawan Fauzi dalam rilis media bahkan menyebut Aceng
Fikri sebagai kepala daerah (pejabat publik) yang perbuatannya melanggar
etika dan aturan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Menurut Fauzi, Aceng Fikri bisa dianggap melanggar Undang-Undang
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 1/1974 tentang
Perkawinan.
Sebagai kepala daerah, Aceng bersumpah untuk menaati peraturan
perundangan (Kompas, 8 Desember 2012).
Salah satu aturan dalam UU 1/1974 adalah setiap pernikahan harus
didaftarkan kepada negara. Selain itu, Pasal 27 Huruf f UU 32/2004 mewajibkan
kepala daerah memelihara etika dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Adapun Pasal 29 Huruf e UU 32/2004 menyebutkan,
sebab-sebab pemberhentian kepala daerah adalah tidak melaksanakan
kewajibannya secara etika.
Namun, apakah semua pelanggaran ini akan menjadi poin yang
menjatuhkan Bupati Garut, Gamawan menyerahkan sepenuhnya kepada DPRD Garut.
Di sisi lain, tim Kementerian Dalam Negeri juga ikut mengecek apakah memang
ada pelanggaran peraturan perundangan.
Psikomasokisme
Perilaku Aceng Fikri yang “doyan" nikah siri kemudian
menceraikan istrinya dengan dalih "keperawanan", "kemampuan
seksualitas", dan "dalih ketidaksetiaan" adalah bentuk
psikomasokisme psikologis dan sosiologis terhadap perempuan.
Psikomasokisme adalah konstruksi kekerasan seksual terhadap
perempuan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan (pasangannya) karena
dilandasi ego eksistensi sebagai laki-laki. Kekerasan tersebut dilakukan
untuk menunjukkan bahwa perempuan lemah dan layak dijadikan korban.
Psikomasokisme psikologis adalah tindakan kekerasan terhadap
perempuan dengan merendahkan martabat perempuan dan seolah menjadikan
perempuan sebagai "komoditas" yang bisa diberlakukan semena-mena
dan dihargai dengan materi yang melanggar hak hidup perempuan. Perempuan
distandardisasi dengan regulasi moralitas yang absurd. Moralitas perempuan
dikerangkeng dalam definisi "keperawanan", "kepatuhan",
"kesetiaan", dan sebagainya, sementara para laki-laki tidak diukur
moralitasnya dengan standar “keperjakaan”, "kesetiaan", dan
"pengabdian".
Apa yang dilakukan Aceng Fikri sungguh merendahkan mentalitas
perempuan. Perempuan ditandai sebagai objek penderita kepuasaan tentang
moralitas dan seksualitas. Hal tersebut menegaskan Aceng Fikri adalah
representasi sikap patriarki kepemimpinan daerah yang sesungguhnya amoral dan
asusila.
Psikomasokisme sosiologis adalah pernyataan dan sikap
merendahkan perempuan sebagai komunitas yang seolah bisa di-niagakan untuk
kepentingan "perkawinan". Perkawinan yang tidak didasari nilai
ksetaraan, tali kasih sayang dan sikap menghargai.
Aceng Fikri menjadikan komunitas perempuan sebagai objek perbuatan
yang melanggar etika pemerintahan, hukum, dan tata kebijakan publik yang
seharusnya sensitif gender.
Harus Dilawan
Apa yang dilakukan Aceng Fikri harus dilawan dengan gerakan pro
kesetaraan gender dan pemihakan nasib perempuan. Melawan perbuatan melanggar
etika dan menindas hak asasi perempuan yang dilakukan aceng Fikri adalah
dilakukan dengan berbagai langkah strategis yakni:
Pertama, elemen gerakan perempuan perlu mendesak kepada DPRD
Kabupaten Garut, Kemendagri untuk mencopot Aceng Fikri dari jabatan publik
karena tidak bisa menjadi suri teladan pemimpin yang menghargai martabat
perempuan.
Catatan penting: jumlah pemilih perempuan dalam Pilkada Garut
yang menjadi momen naiknya duet Aceng-Dicky Candra sebagai penguasa adalah 59
persen dan diperkirakan 60 persen perempuan memilih duet Aceng-Dicky karena
popularitas dan ketampanan. Hal tersebut menunjukkan Aceng Fikri menodai dan
mengingkari "jasa" kaum perempuan.
Kedua, saat ini diperlukan standardisasi regulasi politik lokal
yang mengamanatkan pejabat publik untuk serius menghormati dan menghargai hak
asasi perempuan. Standardisasi tersebut harus definitif dan memiliki
legitimasi hukum-politik.
Ketiga, masyarakat Garut harus cerdas dan kritis, jangan sampai
terbawa retorika "keagamaan sempit" yang mempersepsikan perbuatan
nista, amoral dan menindas perempuan yang dilakukan Aceng sudah memenuhi
hukum agama. Bagaimanapun perbuatan Aceng Fikri adalah melanggar moralitas
agama, sosial, dan etika pemerintahan.
Kesadaran untuk melawan pelecehan martabat perempuan oleh Aceng
Fikri adalah sebuah problem nasional yang bersifat lokal terkait dengan
perempuan. Hal tersebut harus ditindaklanjuti sebagai kebijakan yang
melindungi hak perempuan.
Sudah saatnya konsepsi ideologi mainstreaming gender diterapkan
secara aktual, sistematis, dan mengikat pada pengambil kebijakan publik
ditingkat lokal/nasional.
Jangan sampai ada pejabat publik yang merendahkan martabat
perempuan karena perempuan dalam posisi politik elektoral saat ini sangat
penting, urgent, dan menentukan. Hormati
hak perempuan. Titik! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar