Telaah
Definisi Rugi PLN
Effnu Subiyanto ; Pendiri Forum Pengamat Kebijakan
Publik (Forkep),
Mahasiswa
Doktor Ekonomi Unair
|
JAWA
POS, 29 Oktober 2012
LAPORAN BPK Nomor
30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011 yang menyebutkan
bahwa PLN efektif merugikan negara sungguh mengagetkan. Disebutkan, saat PLN
dipimpin Dirut Dahlan Iskan (kini menteri BUMN), ditemukan bukti penggunaan
biaya tambahan Rp 37,6 triliun pada 2009–2011. Sebagai lembaga penilai
kredibel, BPK seharusnya berhati-hati menggunakan term rugi karena dampaknya
tidak ringan. Harus dikaji mengapa terjadi swap pemakaian BBM dan bagaimana PLN
mempertahankan kontinuitas listrik kepada masyarakat jika tidak menggunakan
BBM. Kalau bahan bakar dari gas tersedia, PLN pasti tidak akan membeli bahan
bakar lebih mahal seperti BBM. Apalagi, ada high risk dari pandangan politisi
yang haus mencari-cari kesalahan orang lain.
Dari aspek fairness,
jika BPK menemukan data menguntungkan, data tersebut sama sekali tak pernah
ditonjolkan ke publik sebagai bentuk penghargaan. Ada kecenderungan
menempatkan BPK selalu pada pihak penemu kesalahan. Lalu, siapa pihak yang
akan menilai lembaga BPK?
Bakal bengkaknya
subsidi energi listrik sebenarnya sudah dimafhumi. Tahun ini simulasi dalam
APBNP 2012 sudah melakukan prognose bahwa subsidi kepada PLN akan berkisar Rp
89,1 triliun dari semula Rp 64,97 triliun. Jadi, jika kemudian BPK menemukan
ada pembelian BBM sebesar Rp 37,6 triliun selama 2009–2011, sebetulnya hal
itu tidak mengherankan. PLN dalam berbagai rilis ke publik oleh Dahlan Iskan
ketika itu sering memberikan informasi mengenai hal tersebut.
Yang justru
mengherankan adalah sikap pemerintah sebagai pemilik dejure PLN dalam menanggapi
sulitnya posisi PLN. Beberapa kali scenario kenaikan tarif TDL berubah-ubah,
tampak jelas belum ada formulasi firm jangka panjang soal listrik. Pada Juli
2012, misalnya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mewacanakan kenaikan TDL 10
persen dan direvisi 15 persen dalam RAPBN 2013.
Akankah itu berubah
lagi dengan perkembangan baru ini? Menurut asumsi semula, dengan kenaikan 15
persen PLN diharapkan mendapatkan tambahan dana Rp 14,89 triliun. Atau, jika
tidak, negara harus membayar Rp 93,52 triliun kepada PLN untuk pembelian BBM
jenis solar high speed diesel (HSD), industrial diesel oil (IDO), dan marine
fuel oil (MFO). BBM tersebut diperlukan pada pembangkit diesel di Belawan,
Medan, dan Kalbar meski sebenarnya PLN sudah me-retrofit PLTD menjadi
generator gas.
Mahalnya operasional
PLN sebetulnya adalah buah dari kebijakan pemerintah sendiri yang salah.
Sebetulnya, kini semakin sedikit pembangkit PLN yang menggunakan BBM karena
konversi bauran energi kian diakselerasi ketika Dahlan menjadi Dirut PLN.
Sebelumnya, sangat banyak generator batu bara yang diganti dengan BBM,
demikian pula generator gas yang dihidupkan dengan BBM pula. Gas adalah
revolusi terbaru PLN dan semakin intensif dipopulerkan ketika Dahlan
memimpin. Kebutuhan gas PLN setiap tahun minimal adalah 293 tera btu (british thermal unit) atau dalam
sehari kira-kira 1,5 juta mmscfd (million
metric standard cubic feet per day) atau 802,74 bbtud (billion british ter mal unit per day)
dalam konversi satuan lain. Namun, Pertamina, PHE-ONWJ (PT Pertamina Hulu
Energi–Offshore North West Java), dan PGAS sebagai pemasok gas PLN hanya
mampu merealisasi 900 ribu mmscfd per hari.
Gas itu seharusnya
dipakai untuk energize PLTGU Tambak Lorok dengan volume minimal 150 bbtud,
PLTGU Priok (180 bbtud), PLTGU Muara Karang (90 bbtud), dan PLTGU Muara Tawar
(400 mmscfd). Masih banyak pembangkit bersumber gas lainnya seperti PLTGU di
Bali, Kaltim, dan Sulawesi Selatan.
Namun, jangan kaget
bila volume pasokan gas alam untuk PLN kian menyusut karena yang lebih besar justru
dijual ke luar negeri. BP Migas mencatat, volume ekspor rata-rata per tahun
paling tidak 43,22 persen di antara total kapasitas produksi nasional atau
3.322 bbtud. Tahun lalu malah ekspor direalisasi sampai 49,82 persen atau
4.312 bbtud. Di atas kertas, volume produksi gas nasional yang diproyeksikan
untuk memenuhi kebutuhan domestik adalah 4.366 bbtud tahun ini atau
sebetulnya sangat cukup buat memenuhi kebutuhan PLN. Namun, entah mengapa
aliran gas itu menguap begitu saja. PLN tentu saja kebingungan karena ketidakstabilan
pasokan gas akan merogoh kocek PLN semakin dalam. Dengan BBM, biaya
mendapatkan listrik akan melejit Rp 3.500 per kWh, namun dengan gas hanya Rp
600 per kWh. Dengan demikian, jika sekarang PLN defisit gas 600 ribu mmscfd
atau setara 321 ribu mmbtud, hal ini sama dengan 5.352 MW pembangkit yang
terpaksa menggunakan BBM. Ada hitungan praktis PLN bahwa gas dengan volume 60
mmbtud hanya cukup untuk energize 240 MW.
Kelangkaan gas untuk
memasok generator PLN ini harus disikapi sangat serius oleh BP Migas sebagai
regulator kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Harus ditentukan skala
prioritas, apakah ekspor lebih diperlukan atau harus menyelamatkan defisit
APBN?
Kelebihan pasokan gas
ke Singapura dari kontrak sampai 300 mmscfd demi mendapatkan harga USD 10 per
mmbtu seharusnya dicegah. Daya beli PLN mungkin hanya USD 4,9 per mmbtu.
Namun, nilai multiplier effect ekonomi karena murahnya listrik sungguh luar
biasa seperti berjalannya UMKM, koperasi, sampai pabrik-pabrik dengan buruh
ribuan. Benefit ratio dari ekspor gas tidak sepadan jika dibandingkan dengan
biaya yang diperlukan untuk mengimpor BBM dan dampaknya ke belakang dari
sektor ekonomi mikro sampai makro. Inilah yang ketika itu dalam periode 2009–2011
dilakukan PLN dengan berdarah-darah. PLN dalam apa pun kondisinya harus
mempertahankan kontinuitas listrik yang tidak boleh mati. Jika mati, target
pertumbuhan ekonomi USD 1 triliun pada tahun ini akan semakin sulit
diwujudkan. Jika hal demikian disebut rugi, sebaiknya auditor BPK perlu disekolahkan
lebih tinggi lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar