Studi Islam
dan Indonesia
Tobroni ; Ketua
Prodi Magister Islamic Studies UMM
|
REPUBLIKA,
06 November 2012
Pada 5-8 November, Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam menyelenggarakan event akademik terbesar ta hunan bagi studi
Islam, yaitu Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS) ke- 12 di IAIN Sunan Ampel
Surabaya. AICIS dihadiri para pakar studi Islam dari Per guruan Tinggi Agama
Islam (PTAI)
yang memiliki program pascasarjana se-Indonesia dan pakar dari mancanegara.
Dalam konteks pemikiran dan studi Islam, selama
ini Indonesia hanya dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai Islam pinggiran
dari poros Islam di Timur Tengah. Pandangan ini tentunya bukan saja sangat
merugikan dan tidak berdasarkan kondisi objektif Islam di Indonesia. Dinamika
Islam di Indonesia dalam berbagai aspeknya adalah yang tercepat dalam satu
dasawarsa terakhir.
Indonesia berpeluang sebagai pusat studi
Islam dunia didasari pada kekuatan yang kini ada. Pertama, Indonesia merupakan
negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang kaya akan khazanah budaya,
pengalaman sejarah, dan persoalan-persoalan yang dihadapi. Kondisi ini
menjadikan Islam di Indonesia lebih kaya nuansa, lebih dinamis, dan lebih
dekat dengan konteks.
Akulturasi Islam dengan budaya lokal dan
dengan warisan sejarah Hindu- Budha sangat kuat. Sebagai contoh, ada Islam
Minangkabau, Islam Sunda, Islam Jawa, dan Islam Bugis yang merupakan hasil
dialektika antara kearifan Islam dan budaya lokal. Akulturasi Islam de-ngan
budaya lokal teraktualisasi dalam berbagai bidang; seni budaya, pakaian,
makanan, arsitektur, dan sistem sosial.
Kedua, Indonesia kaya dengan kelembagaan
Islam. Kementerian Agama membawahi puluhan perguruan tinggi agama Islam
negeri/swasta (PTAIN/S)
serta Badan Litbang dan Diklat. Indonesia juga memiliki ratusan pesantren besar, ormas keagamaan, seperti Mu- hammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang sangat berpengaruh di Tanah Air dan di dunia yang aktif melakukan dakwah juga kajian keislaman.
Ketiga, Indonesia menawarkan paradigma dan
pendekatan yang lebih komprehensif dalam studi Islam. Studi Islam di Timur
Tengah dikenal memiliki paradigma bayani atau paradigma teologis yang kuat.
Paradigma teologis berangkat dari keimanan terhadap teks yang memiliki kebenaran
mutlak dan suci. Teks inilah yang kemudian dipahami dan ditafsirkan dengan
teks atau ayat yang lain, dengan hadis, tradisi Nabi dan para sahabat, dan
akal.
Studi Islam yang berangkat dari keimanan
ini bersifat normatif dan cenderung tekstual. Sementara itu, studi Islam di
Barat lebih dominan menggunakan paradigma burhani atau menggunakan pendekatan
scientific. Agama yang bersifat beyond
belief, yaitu kebenaran yang berbasis pada keyakinan yang adikodrati
tidak sepenuhnya dapat didekati dengan pendekatan scientific.
Dari sinilah para pakar studi Islam
Indonesia yang memiliki pengalaman studi Islam di Timur Tengah dan juga
mengambil studi Islam di Barat lantas menawarkan paradigma dan pendekatan
baru yang lebih akomodatif. A Mukti Ali (dalam Abdullah, 1989) menyebut
sebagai pendekatan scientific cum doctrine.
Paradigma ini jelas ingin meng- gabungkan antara tradisi Timur Tengah yang
dominan dan bersifat mendoktrin dengan tradisi Barat yang scientific atau bersifat ilmiah murni.
Dengan maksud yang hampir sama, M Atho'
Mudzhar (1998) menawarkan pendekatan normatif dan budaya. Pendekatan normatif
yang di maksud berangkat dari keyakinan akan kebenaran teks kitab suci,
sedangkan pendekatan budaya yang dimaksud adalah ketika teks atau agama itu
sudah bersentuhan dengan human being dan menjadi fenomena budaya.
Generasi berikutnya, pakar studi Is- lam M
Amin Abdullah (1996) dengan kon sepnya yang sangat terkenal adalah normativitas
dan historisitas. Menurut Abdullah, agama memang tidak dapat dilepaskan dari
pendekatan normativitas yang dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat
pendekatan doktrinal teo- logis.
Keempat, Indonesia pernah melahirkan
ulama-ulama Islam yang dikenal luas di dunia Islam dan menjadi ulama di Arab
Saudi. Di antaranya adalah Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Yusuf, Hamka, dan
M Natsir.
Kelima, Indonesia tergolong sering menyelenggarakan
event-event kajian Islam berskala internasional yang menghadirkan tokoh-tokoh
kajian Islam kontemporer dari berbagai negara, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah lewat Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia, maupun
diselenggarakan oleh masyarakat sendiri.
Annual International Conference on Islamic
Stu dies (AICIS) yang sekarang ini di selenggarakan juga merupakan salah satu
event penting dalam kajian Islam yang mengundang para pakar kajian Islam,
baik dari Tanah Air maupun mancanegara.
Dengan beberapa kekuatan potensi di atas,
Indonesia sangat berpeluang menjadi pusat studi Islam dunia, baik dari
negara-negara berbahasa Arab maupun non-Arab, meskipun untuk mencapai hal itu
masih banyak hambatan yang dihadapi. Hambatan itu, antara lain, menyangkut
bahasa terutama Arab dan Inggris. Hambatan lain berupa kurangnya perguruan
tinggi Islam yang memiliki atau menyediakan diri untuk international student,
birokrasi, terutama pihak imigrasi, dan keterbatasan sumber daya manusia.
Penyiasatan kelemahan tersebut perlu
dilakukan secara bertahap. Sebagai langkah awal untuk menjadikan Indonesia sebagai
pusat studi Islam untuk kawasan Asia Tenggara yang dari sisi bahasa relatif
tidak memiliki hambatan karena ASEAN
Community telah menjadikan bahasa Indonesia/bahasa Melayu sebagai bahasa
utama di samping bahasa Inggris.
Terdapat beberapa keuntungan dengan
menjadikan Indonesia sebagai pusat studi Islam. Di antara keuntungan itu
adalah: (1) Produktivitas keilmuan Islam Indonesia akan berkembang pesat dan
akan memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah keagamaan dan kebangsaan;
(2) Rangking perguruan tinggi Islam dan perguruan tinggi Indonesia pada
umumnya akan meningkat; (3)
Keuntungan secara ekonomi dan politik; serta (4) Kemajuan umat dan bangsa
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar