Sabtu, 17 November 2012

Pemaknaan Tirakat untuk Bangsa


Pemaknaan Tirakat untuk Bangsa
Ahmad Izzuddin ;  Dosen Pascasarjana IAIN Walisongo,
Pengasuh Pesantren Mahasiswa Daarun Najaah Semarang
SUARA MERDEKA, 16 November 2012


SEBAGIAN dari kita baru saja memperingati malam 1 Sura, dan saat ini kita menapak  bulan Asyura, Sura, yang dilafalkan oleh orang Jawa: Suro. Sudah mentradisi, tiap memasuki tahun baru Islam (awal bulan Muharam) sebagian muslim membaca doa akhir dan awal tahun. Ritual itu sejatinya bisa untuk merevitalisasi kadar keimanan, melebur dosa tahun lalu, sekaligus membuka lembaran baru dengan aktivitas yang lebih baik. 

Dalam tradisi akulturasi budaya Jawa, muslim Jawa tak hanya memanfaatkan momentum penyambutan tahun baru itu untuk membaca doa akhir dan awal tahun tapi juga dengan menggelar atau melakukan tirakat atau laku. Hal itu merujuk klasifikasi Clifford Geertz bahwa masyarakat Jawa terdiri atas kaum santri, priayi, dan abangan. 

Ada laku ngumbah keris (ritual mencuci keris), tapa (bertapa/ bersemedi), kungkum (berendam di air yang mengalir), dan sebagainya. Termasuk membuat bubur oleh sebagian masyarakat Jawa atau upacara tobat (Minangkabau: tabuik). Ini semua karena ada keyakinan bahwa  Sura (Muharam) membawa berkah dan kasekten/ kadigdayan (kesaktian/ kekuatan).Tidak berlebihan bila banyak orang menunggu kedatangan bulan itu, terutama pengamal tirakatan atau laku tersebut.   

Dalam konteks kekinian, kedatangan tahun baru Hijriah 1434 H sangat tepat bila kita manfaatkan sebagai momentum tirakatan bagi bangsa, dengan melakukan muhasabah (introspeksi) kadar keimanan. Artinya sudah baikkah kadar keimanan kita selama ini kepada Allah? Kadar ’’keimanan’’ kepada negara dan bangsa? Apakah kita masih berbuat zalim kepada sesama dan alam? 

Semua itu mengingat begitu banyak musibah menimpa bangsa ini. Sebagaimana pesan Allah terkait dengan cerita kaum Saba yang mestinya mendapat banyak berkah namun karena berpaling (tidak bertakwa dan berbuat zalim) maka Allah menggantinya dengan musibah (Surat Saba’, 15-16). Pesan ini selaras dengan pernyataan Alexis Careel bahwa jika pengabdian kepada Allah disingkirkan dari tengah kehidupan masyarakat hal itu berarti menandatangani kontrak kehancuran sendiri.  

Momentum Sura

Sura adalah nama bulan pertama dalam penanggalan Jawa, yang sekarang berprinsip asapon  tidak lagi aboge. Asal-muasal almanak Jawa (yang juga disebut kalender Saka) itu dari kalender Jawa Hindu yang mendasarkan pada peredaran matahari (kalender Syamsiyah). Namun sejak 1043 H/ 1633 M, bertepatan dengan 1555 tahun Saka, Sultan Agung  mengasimilasinya dengan mendasarkan pada peredaran bulan sehingga menjadi kalender Qomariyah, dan selanjutnya menjadi kalender Jawa Islam. (Alfred A Knopt,h.282-284). 

Istilah Sura dalam kalender Jawa (Muharam dalam kalender Hijriah) berasal penggalan sabda Nabi ’’Asyura Yaumul Asyir’’. Asyura sebenarnya hari ke-10 pada bulan Muharam, dan pada tanggal tersebut ada banyak mitos terkait dengan kemukjizatan para nabi. 

Peristiwa Religius

Hal itu diperkuat oleh hadis yang menyebut,’’ Asyura adalah hari raya kemenangan para nabi sebelum kamu semua’’. Menurut Hasan al-Fayumy dalam Nazhat al-Majalis, Sura atau Asyura berasal dari kata asya nurron  (hidup dalam cahaya Allah). Arti itu berpijak pada banyaknya mitos dari para nabi yang terjadi pada 10 Muharam. 

Al-Shohib al-Jawahir al-Makiyyah menceritakan sejumlah peristiwa religius yang terjadi pada 10 Muharam, yakni Allah menciptakan manusia pertama, yaitu Nabi Adam sekaligus memerintahnya menetap di surga, penciptaan bumi dan alam seisinya, lalu mendaratnya kapal Nabi Nuh di Gunung Al-Judy setelah banjir bandang yang menenggelamkan dunia, dan penyelamatan Nabi Ibrahim oleh Allah dari kobaran api. Kemudian, penyelamatan Nabi Yunus dari perut ikan besar setelah beberapa hari di dalamnya, penyembuhan Nabi Ayub dari penyakit kulit yang sangat parah yang menimpanya sejak lahir, penyembuhan penyakit mata Nabi Yakub, pertolongan Allah dengan cara ’’membelah’’ lautan supaya Nabi Musa dan kaumnya bisa lewat, dan ’’menautkannya’’ kembali sehingga menenggelamkan Raja Fir’aun  dan pasukannya. 

Jadi, tidak berlebihan pula bila banyak hadis yang isinya menganjurkan muslim untuk berpuasa pada hari itu. Ada hadis menyebutkan,’’ Barang siapa berpuasa pada hari Asyura maka Allah mencatatnya sebagai ibadah haji seribu kali, umrah seribu kali, memberi pahala bagai seribu orang mati syahid, dan masih banyak lagi’’. 

Mitos-mitos itulah yang kemudian menguatkan bahwa Muharam atau Sura, Asyura, adalah bulan keramat dan bisa membawa berkah. Pemaknaan yang lebih luas, bulan itu tepat untuk memulai tirakat atau menggelar laku , sebagaimana dilakukan baik oleh kaum santri maupun muslim Jawa (kejawen).
Merujuk pada banyak mitos tersebut, kiranya tidaklah berlebihan bila pada awal tahun baru Hijriah 1425 H ini kita jadikan momentum muhasabah (introspeksi) dengan melakukan ’’tirakat’’ supaya benar-benar membawa berkah bagi bangsa dan negara ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar