Jumat, 16 November 2012

Obama dan Politik Islam


Obama dan Politik Islam
Ismatillah A Nu’ad ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
MEDIA INDONESIA, 08 November 2012



“I have come here to seek a new beginning between the United States and muslims around the world, one based upon mutual interest and mutual respect, and one based upon the truth that America and Islam are not exclusive, and need not be in competition. Instead, they overlap, and share common principles of justice and progress, tolerance and the dignity of all human beings.“     (Barack H Obama)

“SAYA datang ke sini untuk mencari sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan muslim di seluruh dunia, berdasarkan kepentingan bersama dan saling menghormati, serta didasarkan pada kenyataan bahwa Amerika dan Islam tidak eksklusif dan tidak perlu dalam persaingan. Sebaliknya, prinsip-prinsip umum seperti keadilan dan kemajuan, toleransi dan martabat semua manusia, harus dijunjung bersama.“

Barack Obama akhirnya terpilih kembali sebagai presiden Amerika Serikat (AS) setelah mengantongi electoral colleges atau melebihi ambang batas suara 270% atau sekitar 275% jika dibandingkan dengan rivalnya dari Partai Republik Mitt Romney yang hanya memperoleh 203% setelah penghitungan cepat yang dilakukan CNN, Al Jazeera, Bloomberg, dan beberapa televisi lainnya. Pemilu AS kali ini berlangsung ketat. Suara pemilih, baik melalui popular votes maupun electoral colleges, saling kejar.

Apa ekspektasi yang diinginkan atas kemenangan Barack Obama pada periode keduanya? Sejak kali pertama Obama didaulat menjadi presiden AS, ada angin segar bagi bangsa-bangsa di dunia, terutama dunia Islam. Dalam pidato yang pernah diucapkannya, Obama menyatakan penghargaan kepada Islam dan menyebutnya agama yang agung dengan dukungan yang kuat pada keadilan dan kemajuan.

Obama bahkan pernah secara tersendiri memuji prestasi muslim Amerika di berbagai bidang, mulai bisnis, ilmu pengetahuan, politik, seni, sampai olahraga. Bagi Obama, Islam di Amerika kini menjadi bagian penting. Layaknya warga AS pada umumnya, komunitas muslim merupakan kelompok masyarakat yang sangat dinamis dan beragam. Mereka telah ikut memperkaya budaya Amerika.

Obama menitikberatkan harmonisasi hubungan Amerika dan dunia Islam berdasarkan mutual respect yang damai dan tidak perlu menggunakan cara-cara kekerasan. Dia pun berupaya memulihkan kembali citra Amerika di dunia Islam, yang tercemar akibat perang di Afghanistan dan Irak serta pendekatan perang melawan terorisme yang sudah kebablasan.

Pada titik tertentu, diplomasi Presiden Obama dengan dunia Islam, sebagaimana dipegang politisi Demokrat lainnya, dalam istilah Fawaz A Gerges (1999) disebut pola hubungan cooperative untuk membedakannya dengan pola confrontative seperti yang dilakukan Bush. Hal itu dibuktikan Obama, misalnya, yang menyebut secara khusus bahwa dunia Islam harus dirangkul dan hubungannya harus berdasarkan mutual respect, bukan kecurigaan. Ia presiden pertama yang meng ucapkan secara langsung hal itu pada pidato inaugurasi dalam sejarah Amerika.

Pola hubungan cooperative itu pada dasarnya sangat dipegang politisi Partai Demokrat, termasuk mantan Presiden Bill Clinton. Saat itu dia mampu menjalin hubungan harmonis dengan dunia Islam, bahkan berhasil memediasi kesepakatan damai Shimon Perez dan Yasser Arafat dalam konfl ik Israel-Palestina. Clinton juga presiden AS yang pernah berkunjung dan memasuki Masjid Istiqlal Jakarta pada 1994 karena apresiasinya yang besar.

Clinton pernah memberi ceramah di depan parlemen Yordania di bawah judul ‘AS sebagai Jembatan di Antara Dua Sistem Spiritual yang Berbeda’. Pada kesempatan itu, Clinton mengatakan secara tegas, “Setiap hari di negeri kami, ada jutaan dari warga negara kami menjawab panggilan azan untuk salat, nilai-nilai mereka selaras dengan nilai-nilai yang terbaik dari bangsa Amerika.”

Saat muncul tesis Samuel Huntington (1993), The Clash of Civilization, politisi Partai Demokrat memberi komentar tersendiri dalam jurnal Foreign Affairs dengan mengatakan, “Bagaimana mungkin bangsa Amerika akan berbenturan dengan dunia Islam, sedangkan dalam tubuh bangsa Amerika terdapat peradaban yang pluralistis dan multikultural.”

Memang ada pihak-pihak yang yakin bahwa antara Amerika dan dunia Islam terdapat rintangan-rintangan agama yang tak teratasi dan halangan lainnya bagi keharmonisan hubungan di antara keduanya. Mereka yakin kepercayaan dan budaya Amerika, tak terelakkan, pasti berbenturan dengan dunia Islam. Namun, kelompok dengan keyakinan seperti itu jelas keliru. Amerika tidak menganggap peradaban mereka harus berbenturan dengan dunia Islam. Amerika menghargai Islam dan begitu juga peradaban lainnya.

Huntington sebagai pemikir Neocons yang menggagas The Clash of Civilization memang dianggap telah melakukan ste reo tip terhadap Islam dan Konfusianisme. Saat itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan secara pribadi mengkritik pandangan-pandangan Huntington dengan logika sederhana, tapi sangat mengena.
Saat itu Gus Dur mengatakan demikian, “Mr Huntington, jika Anda melihat Islam, jangan seperti melihat hutan dari jarak kejauhan, maka yang akan terlihat seluruhnya berwarna hijau.” Maksudnya, jika melihat Islam seperti melihat hutan dari jarak jauh, Islam di situ terkomunalisasi pada satu warna, yaitu Islam fundamentalis saja. Seperti komunalnya warna hijau jika melihat hutan dari jarak jauh. Maka, menurut Gus Dur, jika melihat Islam, harus masuk ke hutan itu sendiri. Di sana ada umat Islam yang juga memperjuangkan HAM, demokrasi, dan bahkan liberalisme serta pluralisme.

Bagaimanapun, Obama sangat mengesankan bagi komunitas muslim Indonesia dan dunia. Bila nanti Obama datang kembali ke Indonesia, itu diharapkan tak sekadar menjadi euforia bagi masyarakat Indonesia. Kedatangannya harus dimanfaatkan guna terjalinnya hubungan mutual respect yang sebenar-benarnya sehingga dapat memicu semangat perubahan bagi negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar