Obama dan
Politik Islam
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas
Paramadina Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 08 November 2012
“I have come here to
seek a new beginning between the United States and muslims around the world,
one based upon mutual interest and mutual respect, and one based upon the
truth that America and Islam are not exclusive, and need not be in
competition. Instead, they overlap, and share common principles of justice
and progress, tolerance and the dignity of all human beings.“ (Barack
H Obama)
“SAYA datang ke sini
untuk mencari sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan muslim di seluruh
dunia, berdasarkan kepentingan bersama dan saling menghormati, serta
didasarkan pada kenyataan bahwa Amerika dan Islam tidak eksklusif dan tidak
perlu dalam persaingan. Sebaliknya, prinsip-prinsip umum seperti keadilan dan
kemajuan, toleransi dan martabat semua manusia, harus dijunjung bersama.“
Barack Obama akhirnya terpilih kembali sebagai
presiden Amerika Serikat (AS) setelah mengantongi electoral colleges atau
melebihi ambang batas suara 270% atau sekitar 275% jika dibandingkan dengan
rivalnya dari Partai Republik Mitt Romney yang hanya memperoleh 203% setelah
penghitungan cepat yang dilakukan CNN, Al Jazeera, Bloomberg, dan beberapa
televisi lainnya. Pemilu AS kali ini berlangsung ketat. Suara pemilih, baik
melalui popular votes maupun electoral colleges, saling kejar.
Apa ekspektasi yang diinginkan atas kemenangan
Barack Obama pada periode keduanya? Sejak kali pertama Obama didaulat menjadi
presiden AS, ada angin segar bagi bangsa-bangsa di dunia, terutama dunia
Islam. Dalam pidato yang pernah diucapkannya, Obama menyatakan penghargaan
kepada Islam dan menyebutnya agama yang agung dengan dukungan yang kuat pada
keadilan dan kemajuan.
Obama bahkan pernah secara tersendiri memuji
prestasi muslim Amerika di berbagai bidang, mulai bisnis, ilmu pengetahuan,
politik, seni, sampai olahraga. Bagi Obama, Islam di Amerika kini menjadi
bagian penting. Layaknya warga AS pada umumnya, komunitas muslim merupakan
kelompok masyarakat yang sangat dinamis dan beragam. Mereka telah ikut
memperkaya budaya Amerika.
Obama menitikberatkan harmonisasi hubungan
Amerika dan dunia Islam berdasarkan mutual respect yang damai dan tidak perlu
menggunakan cara-cara kekerasan. Dia pun berupaya memulihkan kembali citra
Amerika di dunia Islam, yang tercemar akibat perang di Afghanistan dan Irak
serta pendekatan perang melawan terorisme yang sudah kebablasan.
Pada titik tertentu, diplomasi Presiden Obama
dengan dunia Islam, sebagaimana dipegang politisi Demokrat lainnya, dalam
istilah Fawaz A Gerges (1999) disebut pola hubungan cooperative untuk
membedakannya dengan pola confrontative seperti yang dilakukan Bush. Hal itu
dibuktikan Obama, misalnya, yang menyebut secara khusus bahwa dunia Islam
harus dirangkul dan hubungannya harus berdasarkan mutual respect, bukan
kecurigaan. Ia presiden pertama yang meng ucapkan secara langsung hal itu
pada pidato inaugurasi dalam sejarah Amerika.
Pola hubungan cooperative itu pada dasarnya sangat dipegang politisi Partai
Demokrat, termasuk mantan Presiden Bill Clinton. Saat itu dia mampu menjalin
hubungan harmonis dengan dunia Islam, bahkan berhasil memediasi kesepakatan
damai Shimon Perez dan Yasser Arafat dalam konfl ik Israel-Palestina. Clinton
juga presiden AS yang pernah berkunjung dan memasuki Masjid Istiqlal Jakarta
pada 1994 karena apresiasinya yang besar.
Clinton pernah memberi ceramah di depan
parlemen Yordania di bawah judul ‘AS sebagai Jembatan di Antara Dua Sistem
Spiritual yang Berbeda’. Pada kesempatan itu, Clinton mengatakan secara
tegas, “Setiap hari di negeri kami, ada jutaan dari warga negara kami
menjawab panggilan azan untuk salat, nilai-nilai mereka selaras dengan
nilai-nilai yang terbaik dari bangsa Amerika.”
Saat muncul tesis Samuel Huntington (1993), The Clash of Civilization, politisi
Partai Demokrat memberi komentar tersendiri dalam jurnal Foreign Affairs
dengan mengatakan, “Bagaimana mungkin bangsa Amerika akan berbenturan dengan
dunia Islam, sedangkan dalam tubuh bangsa Amerika terdapat peradaban yang
pluralistis dan multikultural.”
Memang ada pihak-pihak yang yakin bahwa antara
Amerika dan dunia Islam terdapat rintangan-rintangan agama yang tak teratasi
dan halangan lainnya bagi keharmonisan hubungan di antara keduanya. Mereka
yakin kepercayaan dan budaya Amerika, tak terelakkan, pasti berbenturan
dengan dunia Islam. Namun, kelompok dengan keyakinan seperti itu jelas
keliru. Amerika tidak menganggap peradaban mereka harus berbenturan dengan
dunia Islam. Amerika menghargai Islam dan begitu juga peradaban lainnya.
Huntington sebagai pemikir Neocons yang
menggagas The Clash of Civilization
memang dianggap telah melakukan ste reo tip terhadap Islam dan Konfusianisme.
Saat itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahkan secara pribadi mengkritik
pandangan-pandangan Huntington dengan logika sederhana, tapi sangat mengena.
Saat itu Gus Dur mengatakan demikian, “Mr
Huntington, jika Anda melihat Islam, jangan seperti melihat hutan dari jarak
kejauhan, maka yang akan terlihat seluruhnya berwarna hijau.” Maksudnya, jika
melihat Islam seperti melihat hutan dari jarak jauh, Islam di situ
terkomunalisasi pada satu warna, yaitu Islam fundamentalis saja. Seperti
komunalnya warna hijau jika melihat hutan dari jarak jauh. Maka, menurut Gus
Dur, jika melihat Islam, harus masuk ke hutan itu sendiri. Di sana ada umat
Islam yang juga memperjuangkan HAM, demokrasi, dan bahkan liberalisme serta
pluralisme.
Bagaimanapun, Obama sangat mengesankan bagi
komunitas muslim Indonesia dan dunia. Bila nanti Obama datang kembali ke
Indonesia, itu diharapkan tak sekadar menjadi euforia bagi masyarakat
Indonesia. Kedatangannya harus dimanfaatkan guna terjalinnya hubungan mutual
respect yang sebenar-benarnya sehingga dapat memicu semangat perubahan bagi
negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar