Menolak
Menjadi Indonesia
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Asal Aceh
|
KOMPAS,
07 November 2012
Beberapa waktu lalu ketika melakukan
penelitian di Natuna dan Anambas—kabupaten pemekaran dari Natuna, saya
menemukan banyak hal baik yang mungkin tidak ditemukan di dalam budaya kita
pada umumnya.
Kedua kabupaten kaya
minyak dan gas (migas) ini, yang sebelumnya disebut ”Pulau Tujuh”, hidup
dalam keragaman yang sangat tinggi. Meskipun etnis Melayu adalah mayoritas,
tetapi tidak menjadi etnis dominan dan manipulatif. Etnis lain, seperti
Minang, Siak, Kampar, Bugis, Jawa, Batak, dan China, dapat hidup rukun-damai.
Mereka saling bekerja sama dalam aspek kehidupan yang luas. Agama di wilayah
ini bukan hanya enam (orang masih melupakan Konghucu sebagai agama resmi
sejak era Abdurrahman Wahid), tetapi bisa tujuh atau delapan.
Masyarakat asli
(indigenous people) Anambas bukanlah suku Melayu, melainkan suku Laut yang
tinggal di Air Sena dan Air Asuk, Pulau Siantan. Sampai hari ini sebagian
besar suku Laut masih hidup dengan agama lokal. Mereka tidak dianggap aneh
oleh Melayu Muslim. Ada yang berpindah menjadi Katolik, Buddha atau Islam,
tetapi tidak berdasarkan politik islamisasi atau kristenisasi. Mereka memilih
agama baru dengan alasan-alasan yang sangat personal.
Ketika saya menanyakan
kepada tokoh-tokoh lokal tentang sejarah konflik wilayah ini, mereka sulit
sekali mengingatnya. Hampir seumur hidup mereka tidak pernah ada sejarah
konflik berbasis agama dan etnis. Etnis China tidak mendapatkan perlakuan
diskriminatif, bahkan banyak yang duduk di pemerintahan dan politik.
Muhammad Jamil, tokoh
politik Natuna keturunan Aceh yang telah berada Bunguran (Natuna) sejak 1965
ketika Orde Lama melancarkan agresi anti-Malaysia, mengatakan, daerah ini
bebas dari segala pengaruh buruk Jakarta. Fenomena pembantaian pengikut PKI
pada 1965 atau perampasan dan pemerkosaan etnis China pada 1998 tidak pernah
jadi realitas di daerah ini.
Meski secara kultural NU,
tak ada representasi politik dominan. Ada 11 partai yang mendapatkan kursi di
DPRD Natuna dan 13 partai di Anambas, sebagian besar partai politik berhaluan
nasionalis. Momen elektoral, seperti pilkada, pun tidak pernah bergumuruh dan
luruh oleh kekerasan. ”Natuna dan Anambas bebas dari darah politik dan
permusuhan yang kerap ditemukan di Pulau Jawa,” kata Jamil.
Persis ungkapan ikonik
Natuna: inilah ”mutiara terpendam dari utara” Indonesia. Mungkin tak ada
elite Jakarta yang sudi ke daerah ini jika ia tak memiliki potensi mineral
berlimpah. Daerah ini mungkin terlepas begitu saja ke tangan Vietnam atau
Malaysia jika ia miskin. Namun, tokoh nasional, seperti Mohammad Hatta,
pernah menjejakkan kakinya ke Natuna, bahkan ketika belum mengetahui potensi
alamnya pada pertengahan 1950-an. Padahal, ada banyak hal positif yang bisa
dipelajari dari daerah ini dan bisa disumbangkan untuk Indonesia yang lebih
luas.
Saat ini politik Indonesia
diingat bersemangatkan Hobbesianism. Demokrasi Indonesia diterjemahkan
sebagai praktik menyebar fitnah dan mekanisme kompleks untuk menguntungkan
diri sendiri dan perkauman. Tidak ada harmoni dan kerukunan kecuali di ujung
retorika. Tidak ada ketulusan atas perbedaan karena perbedaan bisa merusak
iman dan mengganggu eksistensi kelompok dan golongan.
Wacana seperti ini tidak
bisa dikatakan kesalahan seluruh rakyat Indonesia. Kekaburan memaknai
Indonesia ini sesungguhnya hanya disebabkan beberapa kesalahan. Kesalahan
pertama karena sebagian besar penelitian dan penulisan Indonesia
dikonstruksikan melalui lensa miopik. Bukan hanya sarjana asing, cendekiawan
pribumi pun sering latah menyebutkan praktik dan budaya politik ”pusat”
adalah representasi Indonesia. Penelitian tentang dinamika politik Indonesia
hanya bertemu narasumber di Jakarta, paling luas Jawa.
Kesalahan kedua adalah
narasi. Narasi ”negara” lebih menawan untuk dibaca dan dimaknai, tetapi
secara bersamaan narasi masyarakat, apalagi masyarakat sipil, dianggap kurang
seksi untuk dibaca. Akhirnya penyebutan tentang Indonesia adalah yang
berhubungan dengan ”serba negara”. Belum lagi penyebutan Indonesia yang memermanenkan
limitasi temporer dan spasial, yaitu rezim yang sedang berkuasa (Simon
Philpott, Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and
Identity, 2000).
Kesalahan ketiga karena
pencampuran hal-hal ilmiah dan politik mengaburkan mana yang disebut fakta
dan opini, mana yang bisa disebut ketepatan dan mana yang bersifat
berlebih-lebihan, generalisasi, dan penyederhanaan. Ini bisa dilihat dari
wacana para politikus, demagog, fundamentalis, oportunis, dan lain-lain, yang
sifatnya elitis. Mereka membangun teori serba suram tentang Indonesia.
Padahal, Indonesia yang diteoretisasikan itu tak lebih luas dari pikiran,
tempat tinggal, dan lingkungannya.
Rivalitas di Senayan
(baca: DPR) dengan mudah disebut rivalitas antaranak bangsa. Kekacauan di
Jakarta yang kemudian menyebar melalui media arus utama sedikit banyak
langsung dipotretkan sebagai Indonesia, padahal—jika pun semua penduduk
Jakarta buruk—tidak sampai 5 persen penduduk Nusantara.
Apa yang sebenarnya
berlaku dalam wacana poskolonial bisa juga digunakan untuk mendefinisikan
Indonesia versi baru. Wajah buruk demokrasi hari ini disebabkan elite-elite
(Jakarta atau pengikut Jakarta) yang minim semangat kebangsaan, anti-
keberagaman, pikiran taklid, dan serakah berada di tengah kekuasaan. Sebagian
keburukan itu pun mengalir ke daerah-daerah. Akan tetapi, tidak semua terkena
dampaknya. Ada daerah-daerah yang sama sekali tidak mengikuti langgam
Jakarta.
Saat ini politik nasional
dipenuhi praktik serba fitnah, jegal, dan korup, tetapi ada juga
daerah-daerah yang tak suka—baik secara esensial maupun instrumental—budaya
itu. Kalau kini ”Indonesia” dikacaukan oleh praktik kekerasan atas nama
kesucian agama, kepentingan mayoritas, dan arogansi tempatan, masih ada
”Indonesia-indonesia” kecil yang mentradisikan sebaliknya. Andaikata muncul
opini ”keniscayaan Indonesia harus menjadi negara agama”, siapa pula yang
mengklaim itu sebagai keniscayaan?
Jika ada yang mengatakan
dulu politik lokal dimanipulasi oleh elite nasional, apakah ada pembenaran
elite lokal sekarang berhak memanipulasi sub-lokalnya? Nilai etis mana yang
membenarkannya? Tidak ada akar historisisme dan keilmiahan yang mengharuskan
kita takluk oleh opini entah dari mana dan untuk kepentingan siapa itu.
Kalau ”Indonesia” yang direpresentasikan
serba melarat, preman, korup, anti-perbedaan, dan monolitik, selayaknya kita
menolak ”Indonesia” seperti itu. Karena ada Indonesia lain yang masih bersih
dan otentik, yang belum rusak oleh budaya impor Jakarta dan Barat. Ia
bertempat jauh dari pusat, masih hening di tengah hiruk-pikuk, dan
mempraktikkan kebaikan berbangsa, berwarga-negara, dan bermasyarakat.●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar